Mi - Sepenggal Masa Lalu

25 3 2
                                    

Author POV

Tubuh Raihan meluruh sesaat setelah mendengar dokter mengatakan Winda dalam kondisi kritis. Ia hanya memikirkan keadaan orang yang sangat ia cintai. Bahkan melupakan Hillary yang kini ada disampingnya. Hillary tidak berhenti menangis sejak tadi. Sedangkan Raihan, mengacak rambutnya frustasi menahan semua rasa amarah dan kecewa. Ya, dia kecewa pada dirinya sendiri yang gagal menjaga Winda. Ia hanya berdoa agar tidak kehilangan orang yang dia sayang untuk kedua kalinya karena dirinya.

Telpon berdering menandakan panggilan masuk dengan nama Lilian yang tertera.

"Kak Rai, kakak dimana sekarang. Lilian nyusul sama Ken."

"UGD Rumah Sakit Cempaka Putih."

"Kakak tenang saja, acara masih berjalan kondusif. Tamu undangan tidak sadar pergantian pemain. Ken melakukannya dengan baik." Mendengar perkataan Lilian, ia menoleh ke sisi kirinya, tempat Hillary berada. Orang yang seharusnya berada diatas panggung saat ini.

"Bilang sama Ken, selamat dari kakak. Hati-hati dijalan."

"Kakak yang sabar, ya. Kak Winda pasti gak kenapa-kenapa." kata Lilian sesaat sebelum Raihan memutuskan sambungan. Ia benci kata-kata menenangkan itu. Dulu, ia percaya dengan kata-kata itu. Namun sejak kejadian 2 tahun lalu, ia sangat membencinya.

Kejadian ini sungguh menjadi tamparan keras baginya. Membuka luka lama yang belum kunjung terobati sama saja bunuh diri.

"Saudara Raihan, pasien meminta untuk bertemu." Ujar salah satu suster yang baru saja keluar dari ruangan. Raihan segera bangkit setengah berlari memasuki ruangan UGD, tempat Winda berada. Tidak peduli betapa kacau dirinya saat ini, bahkan kedua orang tua winda yang sejak tadi didalam atas permintaan Winda yang tampak setengah sadar.

"Winda, kamu dengerin aku. Gak perlu maksa buat ngomong kamu harus kuat. Kamu gak lupa, kan, bulan depan kita bakal nikah. Sesuai dengan permintaan kamu. Aku mohon kamu kuat." Digenggamnya tangan Winda sembari mengucapkan kata-kata tersebut. Pandangannya sudah mengabur akibat airmata yang dibendungnya.

"A.ku ba...ik. Jangan kha...watir." Ujar Winda terbata-bata. Benturan yang dialami Winda bukanlan benturan ringan. Sungguh ia bersyukur masih diberi kesempatan menatap mata lelaki yang dicintainya dari dulu sampai detik ini.

"Berhenti mencoba membuatku tidak khawatir. Bilang sakit kalau kamu ngerasa sakit. Aku bakal nemenin kamu." Air mata yang lolos beitu saja dihapusnya kasar.

"Tahan ya sayang, aku gak mau kehilangan kamu. Cukup Darian saja." Ia menatap mata Winda dalam. Mata sendu yang sedang berjuang menahan sakit akibat pendarahan hebat.

"Jaga Hill... A..ku men..cintaimu." dengan segenap kekuatan yang masih tersisa, Winda mengatakan kata-kata yang membuat Raihan terenyuh. Bukan ini yang Rai mau. Dilihatnya butiran bening tersebut mengalir dari wajah Winda mengantarkannya hingga menutup mata.

"Hey, Win. Bangun. Jangan seperti ini. kau membuatku takut. Aku tahu kamu tidak akan pergi dari aku." Raihan melihat alat detak jantung Winda yang semakin lemah. Dokter yang menangani Windapun memberi instruksi agar Raihan menjauh karena respon Winda semakin pasif.

Seketika kaki Raihan lemas. Tubuhnya meluruh di lantai. Ia berharap ini hanya mimpi buruk dan akan terbangun setelah ini.

"Winda aku mohon bertahanlah. Beri aku waktu untuk menjawab, aku juga mencintaimu." Air mata raihan tumpah saat itu juga.

Lilian yang datang tepat saat melihat sang kakak dibawa keluar oleh suster yang bertugas, bergegas menghampiri Raihan yang sangat kacau dan menangis. Tak kuat melihat sang kakak begitu rapuh saat ini, ia memegang bahu Raihan dan memeluknya dalam. Ikut menangis dalam pelukan Raihan. Seakan berbagi kesedihan. Tidak perlu kata-kata. Karena Lilian merasakan semua yang Raihan rasakan.

Way Back Into MelodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang