🌺🌺🌺
Gerimis di musim gugur adalah salah satu hal yang Hokuto suka. Kedamaian dan kesejukan yang dibawa setiap tetes air itu membuatnya tersenyum lebar. Dia mengulurkan tangan, air dingin dengan lembut mengenai telapak tangannya. Sementara itu, ada seseorang yang mengulas senyuman saat melihat tingkah laku Hokuto di depan sana. Angin yang menerpa, membawa aroma chocolate cosmos yang begitu Kazuma kenal dan tanpa diketahui oleh siapapun, aroma manis itu bisa membuat Kazuma tenang.
Dia mengeluarkan payung dari dalam tas, dan saat ingin mendekati Hokuto yang sudah jelas tidak membawa benda itu, Kazuma berhenti. Seseorang sudah menarik Hokuto pergi, menggunakan satu payung untuk menaungi keduanya yang kini berjalan menjauh dari Kazuma. Tidak ada yang bisa dilakukannya selain diam dan melangkah seorang diri. Entah perasaannya saja atau memang udara sejuk sudah berubah menjadi lebih dingin sehingga hatinya berdesir aneh.
Dalam diam, Kazuma berjalan pelan di belakang mereka. Mengamati berbagai ekspresi Hokuto saat berbicara dengan pemuda bernama Fujiwara Itsuki itu. Kazuma tahu jika keduanya dekat satu sama lain, bahkan Hokuto terlihat lebih ekspresif saat bersama Itsuki. Memperhatikan keduanya tanpa sadar membuat Kazuma bernapas lebih berat. Tiba-tiba saja paru-parunya terasa sesak ketika Kazuma mencoba menarik napas panjang. Dia terbatuk, tenggorokannya tercekat.
Seharusnya tidak seperti ini.
Kazuma mempercepat langkah. Tangannya bergetar, membuatnya mencengkeram payung lebih erat dari sebelumnya. Jarak aman yang Kazuma jaga di antara dirinya dengan Hokuto yang bersama Itsuki kini terkikis. Oksigen terasa semakin susah memasuki paru-parunya, dia terbatuk hingga menyita perhatian Hokuto ketika Kazuma berlalu melewatinya.
“Kazuma?”
Kazuma mendengar, tentu saja. Namun, yang dia lakukan hanyalah menyingkir dari hadapan Hokuto secepat mungkin sebelum anak itu mengetahui seberapa pucat wajahnya sekarang. Beruntung, tempat tinggal Kazuma tidak terlalu jauh dari sekolah. Tangannya bergetar hebat saat berusaha memasukkan kunci pintu, butuh sepersekian detik sampai pintu kayu itu terbuka. Kazuma menjatuhkan tasnya ke lantai dan berlari ke kamar mandi karena rasanya dia ingin muntah. Dadanya seperti terhimpit oleh sesuatu, dia terbatuk dan merasakan sakit yang membuat matanya memanas.
Perlahan-lahan rasa sesak itu memudar, napasnya tersengal. Kazuma melihat pantulan dirinya di dalam cermin di atas wastafel. Wajahnya pucat dan terlihat kacau dengan rambut berantakan yang menempel di dahi akibat keringat dingin. Anak itu keluar dari kamar mandi lalu duduk di sofa. Kazuma berusaha mengatur napasnya, matanya terpejam untuk beberapa saat ketika pintu rumahnya terbuka begitu saja.
“Kenapa kau mengabaikan—astaga, Kazuma!”
Hokuto buru-buru menghampiri sahabatnya yang terduduk di sofa dengan kondisi yang mengkhawatirkan. Wajah Kazuma seperti kehilangan warnanya dan bibir itu pucat. Hokuto mengulurkan tangan dan menyentuh dahi Kazuma, tetapi suhu tubuhnya begitu normal.
“Apa yang terjadi? Kenapa kau diam saja kalau kau sakit, hah?!”
Netra cokelat tua itu menggelap, kelopak matanya sayu saat terbuka. Meski demikian, Kazuma mengulas senyum dan menggeleng lemah saat mendapati Hokuto menatap khawatir ke arahnya. “Aku tidak apa-apa.”
“Aku bukan anak kecil yang akan tertipu hanya dengan kalimat aku tidak apa-apamu itu, Kazuma! Ayo ke dokter!”
“Tidak,” sergah Kazuma saat Hokuto hendak membantunya berdiri.
“Apa kau bodoh atau apa?!”
Kazuma ingin menjawab iya, tapi hanya berakhir dengan senyuman dan kembali menyandarkan tubuh lelahnya di sofa. Jujur, Kazuma tidak mengerti mengapa semua ini terjadi sekarang. Dia belum pernah mengalami sesak yang menyakitkan seperti tadi sebelumnya. Beberapa waktu lalu, setelah napasnya sedikit terasa berat Kazuma memeriksakan diri, dan dokter bilang jika memang ada sedikit flek pada paru-parunya. Tidak ambil pusing, Kazuma hanya menuruti kata dokter untuk menghabiskan obat yang sudah diberikan. Dia membaik, dan baru kali ini rasa sesak yang jauh lebih menyiksa kembali datang.
“Baiklah jika kau tidak mau pergi ke dokter. Aku akan di sini dan pulang setelah makan malam nanti. Apa kau punya bahan makanan di dalam kulkas?”
“Eh?”
Hokuto mengembuskan napas lelah, sahabatnya yang satu ini kadang bisa menjadi lambat dalam berpikir. “Kau tidak mungkin memasak makanan untuk makan malam, jadi aku yang akan memasak. Kaa-san tidak akan khawatir, dia tahu jika aku pulang larut pasti sedang berada di rumahmu.”
Kali ini penuturan Hokuto membuat mata Kazuma terbuka sempurna. “Kau menggunakan namaku sebagai alasan pulang terlambat?”
“Maaf,” cicit Hokuto seraya tertawa pelan ketika dia bangkit dan langsung menuju ke dapur kemudian mengobrak-abrik isi kulkas Kazuma.
Kazuma tidak pernah bisa menebak jalan pikiran Hokuto yang ajaib. Dia mungkin menjadi matahari untuk orang lain karena keberadaannya yang seringkali mencerahkan suasana. Namun, bagi Kazuma, Hokuto seperti bintang di langit malam. Ia begitu indah dan menenangkan untuk ditatap, akan tetapi terlalu jauh untuk disentuh. Sementara Kazuma sendiri tidak tahu menganggap dirinya sebagai apa di alam ini. Mungkin ia tak lebih dari sekadar angin yang berembus tanpa bisa dilihat secara nyata.
Kazuma membenci fakta ini, fakta di mana Hokuto adalah orang yang ingin dia hindari sekaligus lihat secara bersamaan. Fakta yang sebenarnya membuat Kazuma terkadang bingung mengapa dia merasa demikian.
🌺🌺🌺
Satu mangkuk bubur daging cincang dan omurice sudah tersedia di meja makan. Keduanya adalah menu makan malam yang dimasak Hokuto untuk mereka berdua. Bedanya, Kazuma mau tidak mau harus memakan bubur yang dari aromanya terlihat sedap itu. Meskipun matanya tak lepas dari memperhatikan omurice milik Hokuto.
“Kau tega sekali,” tutur Kazuma lirih.
Hokuto tersenyum jahil. “Bubur milikmu aku buat dengan sungguh-sungguh, Kazuma. Aku menjamin rasanya lezat.”
“Tapi aku ingin omurice.” Kazuma merajuk, bibirnya cemberut tanpa sadar.
Hokuto tertawa melihat ekspresi marah sahabatnya, menurutnya wajah itu terlihat lucu. “Kau sedang sakit,” ujarnya. “Aku tidak tahu kau sakit apa, tapi pencernaan orang sakit berfungsi tidak terlalu baik. Jadi bubur adalah makanan yang tepat untukmu sekarang.
Kazuma tersenyum simpul mendengar penuturan Hokuto, dia kelihatan seperti ibunya yang akan cerewet jika Kazuma melayangkan protes akan sesuatu. Pada akhirnya, Kazuma menurut dan memakan buburnya dengan patuh. Rasa gurihnya begitu pas, mulutnya yang sempat terasa pahit kini melahap bubur itu dengan suka rela. Hokuto tidak pernah mengecewakan dalam urusan masak memasak. Berbeda sekali dengan dirinya. Mungkin jika Hokuto tidak datang malam ini, Kazuma akan meringkuk di sofanya karena menahan lapar dan terlalu lemah untuk sekadar membuat mi instan.
“Na, apa kau keberatan jika aku membicarakan sesuatu?”
Kazuma mengalihkan atensinya dari mangkuk bubur kepada pemuda berwajah manis di hadapannya. Dia mengangguk, tanpa sadar berusaha menduga-duga apa yang akan Hokuto bicarakan dengannya.
“Kau tahu Fujiwara Itsuki dari kelas 3C, kan?”
Oh, jangan ini.
Kazuma mengangguk lagi. Hokuto memutar-mutar sendoknya di atas piring, terlihat seperti orang ragu-ragu di mata Kazuma atau mungkin saja Hokuto sedang mencari kata-kata yang tepat untuk dikatakan.
“Dia menembakku.”
Sunyi.
“Dua hari yang lalu,” ungkap Hokuto tanpa berani menatap lawan bicaranya.
Kazuma menatap meja kayu di depannya dengan tersenyum. “Lalu?”
“Aku takut kau akan memarahiku karena seorang remaja laki-laki menyatakan cinta kepadaku.” Hokuto mengatakannya dengan penuh kehati-hatian. Dia takut akan respon Kazuma, tapi yang dia dapatkan hanyalah dehaman dari sahabatnya.
“Kazuma?”
“Se-selama kau bahagia dengan apa yang kau pilih, Hokuto. Aku tidak akan marah.” Kazuma berusaha mengatur napasnya agar terlihat lebih normal karena tanpa sepengetahuan Hokuto, rasa sesak itu kembali menyiksa.
Dia menjatuhkan sendoknya dan pergi ke kamar mandi begitu saja. Mengabaikan panggilan Hokuto, Kazuma mengunci pintu dan menyalakan kran air di wastafel serta shower di atas bath up-nya. Tubuhnya terhuyung dan dia terjatuh. Dadanya terasa begitu sesak, jauh lebih sesak dari sebelumnya sehingga membuat Kazuma terbatuk berkali-kali. Kedua matanya kembali terasa panas dan berair, hingga dia terbatuk sekali lagi dan menangis. Puluhan kelopak bunga kosmos putih menjadi saksi jika waktunya di dunia ini mungkin saja tak lama lagi.
🌺🌺🌺
KAMU SEDANG MEMBACA
WIND AND STAR
FanfictionA short story of KazuHoku. Bagi Kazuma, ada seseorang yang seperti bintang untuknya. Dia terlalu indah, tetapi tidak mungkin untuk tergapai oleh tangannya. Sementara dirinya hanya seperti angin, yang kehadirannya bisa dirasakan tanpa pernah terlihat...