A short story of KazuHoku.
Bagi Kazuma, ada seseorang yang seperti bintang untuknya. Dia terlalu indah, tetapi tidak mungkin untuk tergapai oleh tangannya. Sementara dirinya hanya seperti angin, yang kehadirannya bisa dirasakan tanpa pernah terlihat...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
🌺🌺🌺
Tak peduli jari-jari tangannya masih bergetar hebat, Kazuma memaksakan dirinya untuk keluar dari toilet restoran. Pandangannya buram karena sisa air mata yang ditahannya mati-matian agar tidak lolos keluar. Rasa sesak itu masih tertinggal, kepalanya berdenyut karena menahan sakitnya. Hanya dia tidak boleh terlihat lemah di hadapan banyak orang, terutama di hadapan Hokuto.
Langkahnya cepat menuju ke meja tempat Hokuto dan Fujiwara berada. Sahabatnya memandang khawatir, tapi Kazuma sangat tahu jika tidak ada yang bisa ia lakukan selain pergi dari tempat ini secepat mungkin. Dia tidak bisa menahan rasa sesak itu untuk kedua kalinya. Maka tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Kazuma menyambar tasnya dan mengabaikan panggilan Hokuto.
Sepertinya langit di Meguro sedang akrab dengan namanya hujan, yang sebenarnya cukup disyukuri oleh Kazuma. Percikan air dingin itu mengenai rambut dan menyapu lembut wajahnya. Entahlah, sepertinya mereka sedang bersekongkol untuk membasuh rasa sakit itu.
Langkah cepat terdengar di belakangnya, lalu sebuah tangan menariknya untuk berhenti.
"Tunggu!"
Kazuma memejam, mengatur napasnya. Ini terlalu berlebihan di pandangan orang lain. Dengan sangat perlahan Kazuma menarik tangannya, seolah-olah takut jika tangan yang menggenggam pergelangannya akan terluka. Dia berbalik, hatinya jatuh saat melihat wajah pias Hokuto.
"Apa kau baik-baik saja?" Suaranya begitu pelan, mengundang rasa dingin di tengkuk Kazuma.
Dia tersenyum, mengingat tersenyum adalah keahliannya pada saat-saat seperti ini. Kazuma menuntun dirinya sendiri yang diikuti Hokuto untuk berteduh.
"Aku tidak apa-apa," katanya.
Hokuto menggeleng, jelas tidak bisa menerima jawaban itu. "Apa kau sakit?"
"Tidak. Aku baik--"
"Persetan dengan itu, Kazuma!" Suara Hokuto yang meninggi secara tiba-tiba membuat atmosfer di sekeliling mereka berubah tegang. Perlahan, kedua mata Hokuto memerah. Kazuma ingin menyangkal jika Hokuto akan menangis, pasti itu karena angin yang bertiup sedikit kencang beberapa saat lalu.
"Berhentilah mengatakan kau baik-baik saja padahal kenyataannya kau tidak!"
"Kenapa kau meninggalkan Fujiwara?"
Hokuto mengerang. "Jangan mengalihkan topik!"
Kazuma tahu tidak ada yang bisa dia lakukan saat Hokuto sudah di ambang batas kesabaran. Dia akan meledak, seperti kembang api di langit musim panas. Tidak bisa dibantah. Jadi yang dilakukannya hanya menunduk, menatap tetesan hujan pada air yang menggenang.
"Tidak ada yang perlu kau khawatirkan," jawab Kazuma pada akhirnya.
Tentu saja dia yakin bahwa jawaban itu sama sekali tidak memuaskan hati sahabatnya. Bahkan sekarang Hokuto tertawa, tawa hambar yang membuat Kazuma tak sadar menggigit bibirnya. Ini tidak akan berakhir baik, pikirnya.