4

0 1 0
                                    

Taman sekitar jadi pilihan Firly saat ini.
Dan Risha tidak keberatan dengan itu.

Setidaknya ia dapat menikmati semilir angin sore dengan tawa riang anak-anak yang bermain di lapang sana. Itu cukup menetralkan rasa takut akan sosok yang duduk disampingnya.

Tapi ia tak punya banyak waktu untuk menunggu lebih lama. Pasalnya si kakak ketua osis-Firly tidak membuka suara barang sedikitpun setibanya mereka disana. Padahal katanya ada yang harus mereka bicarakan.

Takut-takut ia berkata pelan, "kak...?"

Firly menoleh sekilas, "jadi gimana sama ajakan gue?"

Ajakan untuk jadi pacarnya?
Dibanding ajakan, Risha rasa lebih seperti sebuah perintah yang tidak menerima penolakan.

Terdengar decakan dari lawan bicaranya. "Gue tahu nggak seharusnya ngelibatin lo dalam masalah gue,"
Risha merasa tali yang mengikat dadanya seperti mengendur. Itu membuatnya lega.
"-tapi lo harus dan cuman lo yang bisa bantu gue."

Kini, Risha merasa beban lainnya seberat 1000 ton lebih hinggap ke pundaknya.

"kalau lo sangat keberatan seperti itu, lo bisa anggap hubungan ini ada hanya untuk didepan orang tua gue. Dan gue akan bayar sebagai upah jasa lo."

Risha tak lagi menyetujui ungakapan si pelit bicara yang disematkan pada pria didepannya. Firly terlalu banyak mengoceh, saat Risha masih mencerna pembicaraan mereka. Setidaknya sampai sebelum bagian 'bayar upah jasa lo'.

Risha tidak terima untuk itu. "aku akan bantu kalau aku bisa bantu. Tapi sepertinya aku gak bisa bantu kakak buat yang satu ini. Nggak sekalipun kakak ngeluarin semua kekayaan kakak buat bayar aku. Maaf."

Bukan rahasia umum kalau seniornya yang satu itu selain tampan, juga seorang yang sangat kaya raya. Dari selentingan kabar yang sering Risha dengar, ayah firly adalah seorang wakil rakyat independen yang berjaya.  Lainnya, beliau mempunyai usaha Furniture yang bahkan barang dagangnya sudah terkenal sampai negara tetangga.

Tapi Risha tidak sepicik itu. Ia tahu ia hidup dengan serba seadanya. Ibunya bahkan membuka sebuh warung kecil untuk biaya hidup mereka sehari-hari. Ibunya juga yang mengajarkan bahwa tidak semuanya dapat dinilai dengan uang. Ada yang lebih berharga daripada itu seperti: ketulusan, berbuat baik dan jujur.

Dan baginya sendiri, bantuan dalam bentuk jasa seperti kasusnya kali ini tidak dapat dihitung dengan banyak nominal angka nol dibelakang. Jika Risha bisa membantu, maka ia akan membantu. Semampunya.

Sadar jika ucapannya menyinggung penolongnya, Firly mencegah langkah gadis itu yang akan pergi. "sorry, gue gak bermaksud buat nyinggung lo."

Risha yang masih merasa kesal, mampu melayangkan tatapan sinis pada Firly. Ia menuntut sebuah penjelasan akan ajakan padanya tadi pagi.

"well, lo bisa anggap ada paham kolot yang dipercaya sama nyokap gue. Di keluarga gue ada satu kepercayaan, kalau setiap remaja lelaki harus punya pasangan buat nasib baik dimasa depan. Gue tahu itu aneh, dan gue pribadi gak percaya sama itu."

"tapi nyokap nggak. Setelah hubungan gue yang berakhir beberapa bulan lalu, bunda gue selalu ngejadwalin pertemuan dengan anak cewe dari kenalannya. Gue risih dengan itu."

"kalau gitu, kakak bisa ajak teman cewek kakak, atau nerima asal cewek yang dikenalin sama kakak kalau kakak emang semuak itu." timpal Risha menyambut gelengan cepat dari Firly.

"gue nggak bisa karena kebanyakan mereka adalah anak teman bunda gue, dan juga bunda punya kriteria tertentu setiap gue ngenalin cewek."

"maksud kakak aku menuhin kriteria yang bunda kakak punya, gitu?" tanya Risha terkejut. Dan semakin terkejut kala menerima anggukan tegas dari Firly.

"gue mohon sama lo."

Risha tak ingin percaya tapi ia baru saja melihat dengan mata kepalanya sendiri, kakak dingin dengan wajah datar andalannya memasang raut memelas kepadanya.

Memang tidak sedramatisir tokoh yang mengemis bantuan, namun sorot matanya melunak-meski tetap mengintimidasi- dan kernyitan tipis di dahi dengan jejak lukanya cukup merubah imej Firly.

Namun Risha tidak bisa. Tidak jika itu mengambil alih fokusnya akan mimpi yang sudah ia rancang sejak kecil. Melirik sekilas ke arah Firly yang masih memelas kepadanya, ia kembali meragu. Ia sudah bilang akan menyanggupi jika bisa. Dan.. Diluar dari ketakutannya, ya dia bisa.

"Risha.."

Lama ia bergulat dengan pikirannya sendiri, sampai Risha mencapai titik akhirnya.

"berapa lama?" Tanyanya pelan.

"sampai gue lulus, mungkin. Nggak tentu."

Risha mendesah berat. Untuk kemudian mengangguk pelan.

Firly memang memohon kepadanya, tapi Risha tak kuat dengan intimidasinya sekalipun itu sudah meluruh.
Sedikit.

RishaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang