Bisa dikatakan, Risha adalah salah satu siswa cemerlang disekolahnya. Semua nilainya selalu baik. Guru-guru juga sering memuji Risha yang cekatan. Teman-teman sekelasnya sering menjadikan Risha sebagai bank jawaban setiap tugas.Apalagi konsentrasi peminatannya adalah Ilmu Pengetahuan Alam. Yang bisa dibilang adalah kelasnya anak-anak 'berotak' meski sebenarnya tidak. Risha tak setuju dengan diskriminasi jurusan sekolah seperti itu. Ia percaya setiap orang memiliki keahliannya dibidang masing-masing. Ada jalan tersendiri untuk setiap orang menuju kesuksesannya, dan itu tidak bisa dipukul rata dengan membandingkan nilai Matematika dan Kimia, misalnya.
Seperti Risha. Ia tahu minatnya kepada ilmu sains cenderung besar ketimbang ilmu lainnya. Maka setiap ada tugas prakarya-terutama menggambar, ia kelimpungan.
Dari jaman belajar mewarnai di PAUD sampai-setidaknya kelas 1 SMA ini, paling Risha mendapatkan nilai 79, maksimal. Melampaui KKM memang, tapi terhitung kecil dibanding teman-temannya yang selalu mendapat nilai 80 sebagai nilai terkecil.
Sabtu itu masih berlanjut. Risha yang ingat mendapat tugas menggambar sketsa, dengan malu terselip takut meminta Firly mengajarinya. Ia sanggup mencari persamaan fisika untuk menjawab soal semalam suntuk. Namun mencari ide menggambar barang semenit, itu cukup membuat kepalanya berdenyut pusing.
Begini rencananya, ia akan meminta Firly menggambar contohnya dan setelahnya Risha akan menggambar ulang gambar tersebut. Tentu tanpa diketahui si pemilik.
Disaat seperti ini, Risha akui ia akan memakai cara apapun untuk mendapat nilai 80 pada tugasnya. Termasuk mencontek-hal yang sebenarnya sangat Risha hindari.
"oke, pertama apa temanya."
Risha berkedip sekali. "umm bebas, kak."
"kalau gitu lo mau pake tema apa?"
Kepalanya langsung berdenyut nyeri mendengar pertanyaan itu. Kepalanya berpikir keras; apa yang harus ia gunakan? Sketsa wajah, monumen atau pemandangan.
Risha putuskan untuk menggeleng. "belum tahu, kak." ucapnya diakhiri dengan menunjukan deretan giginya yang rapih, alias nyengir.
Tanpa banyak bicara, Firly merebut pensil dan kertas gambar Risha ditangannya. Sambil bersila, ia mulai menyoret tipis kertas putih itu tanpa kesusahan berarti.
Tidak seperti dirinya yang akan nenghabiskan berlembar-lembar kertas hanya untuk membentuk garis sebuah lingkar-itu apel.
Lelaki berwajah datar itu menggambar dua buah apel lengkap dengan tangkai dan daunnya. Salah satu apelnya terlihat tidak utuh, seperti bekas menggigit.
Yang membuar Risha takjub adalah bagaimana Firly yang menggerakan pensilnya secara leluasa. Seperti tak takut membuat kesalahan pada gambarnya. Seperti pria itu, pensil dan kertas gambar adalah satu kesatuan yang bertakdir.
Tidak sampai 15 menit, Firly sudah menyodorkan kertas itu kepada Risha. Risha menerimanya dengan takjub, karena demi apapun apel berwana abu itu terlibat sangat nyata. Ia bisa membayangkan seberapa realnya lukisan Firly-jika ia melukis apel.
Guratanya rapih, pun dengan gradasinya dari gelap ke terang yang sangat natural."biasa aja kali. Kayak gak pernah liat gambar apel aja."
Tanpa sadar Risha menggeleng. "ini bagus banget, kak. Sumpah. Aku simpan ya.."
"-ahh iya. Makasih kak udah mau nyontoin gambarnya." Risha buru-buru berucap saat teringat. Ia mengusap gambar itu dengan lembut saat pintu kamarnya terjeblak membuka, tiba-tiba.
Itu bunda dengan seringai jahilnya.Risha tahu setelah 4 kali datang kesini.
"lagi ngapain nih. Anteng banget berduaan di kamar." betul, digunakan untuk menggodanya jika sedang berdua dengan Firly.
Padahal ini pinta bunda dari lelaki itu
Risha mencoba menahan ronanya saat tahu apa yang terjadi. "lagi ngegambar, bun. Ica tadi minta ajarin kak Firly buat bantuin.""bunda seneng ngedengernya. Gitu dong, Ca. Jangan segan buat minta ajarin Firly kalau kamu emang kesusahan." bunda menegakan kembali tubuhnya yang tadi bersandar pada ambang pintu. "kalau udah selesai, bunda tunggu dibawah ya. Kalian juga jangan lama-lama berduaan dikamar kayak gini, gak baik tahu. Takut setan lewat."
Kali ini Risha benar-benar memerah. Tak sanggup mengelak saat godaan itu kembali bunda layangkan. Toh, wanita hampir kepala empat itu sudah berbalik pergi. Meninggalkan Risha yang malu, dan Firly yang tidak peduli.
Ia lupa, laki-laki yang satu ruangan dengannya ini memang memiliki kepekaan yang minim. Wajar jika ia masih memasang wajah datarnya.
Risha berdehem sekali. "kalau gitu aku turun duluan ya kak.." ijinnya sambil merapihkan barang-barangnya yang ia keluarkan tadi.***
Firly merasa tertarik dengan wajah cerah Risha saat menerima gambarnya. Apalagi saat binaran itu menatap iris gelapnya, rasanya pikirannya yang mumet sedikit teralihkan. Itu membuatnya lebih baik.
".. Aku simpan ya." Firly tak mengerti apa yang spesial dari kalimat sesederhana itu. Rasanya tidak ada.
Tapi kenapa itu membuatnya sangat senang, apalagi saat Risha mengusap gambarnya dengan lembut.
Firly memalingkan muka mencegah perubahan ekpresinya terlihat. Tidak, ia tidak bisa membiarkan Risha melewati teritorialnya. Namun ia menoleh kearah yang salah. Tepat ia sedang mencoba mengulum senyumnya, wujudnya bundanya tertampil sempurna setelah pintu itu terbuka.
Jelas saja, senyum jahil ibunya itu ditunjukkan kepadanya.
Firly tak pernah terpengaruh dengan godaan bundanya-setidaknya setelah ia putus dengan Santya. Pengendalian dirinya tidak pernah kacau selama durasi itu. Tapi kini saat melihat wajah malu Risha, ia juga terbawa.
Firly mencoba mengatur raut wajahnya kembali, sekali gagal saat bundanya mengedip jahil kepadanya. Risa tidak tahu karena ia sedang menunduk namun-bolehkan ia mengumpat pada wanita yang melahirkannya.
Sial! Ini benar-benar memalukan.
Setelah bundanya pergi ia mencoba menahan raut wajahnya-tak berekspresi seolah tidak bereaksi apapun. Barulah setelah Risha pergi dari kamarnya, Firly dapat bernafas dengan bebas. Gila, debaran jantungnya menggila sampai 3 kali lipat. Firly terengah seperti sudah berlari mengelilingi lapangan utama sekolahnya.
Firly menggeleng kencang. Tangannya beberapa kali menepuk pipinya, mencoba menyadarkan diri.
Tidak, ia tidak bisa. Risha tidak boleh terlibat jauh kedalam kehidupannya.
Kiranya ada 30 menit sampai Firly yakin ia mampu mengendalikan dirinya lagi. Ia keluar, mereka ulang langkah Risha.
Namun belum genap Firly menginjak anak lantai paling bawah, ia berpapasan dengan Risha yang berjalan naik ke atas.
Kontan, tangannya mencekal satu tangan Risha, menghentikan langkah gadis itu.
"mau kemana?"Dari pandangan Firly, wajah lembut gadis itu sedikit mengeras. Sudut matanya tampak menajam kendali ia sempat terkejut karena ulahnya.
"a-aku mau pulang."
Firly sedikit mengerut saat mendengar suara gentar Risha. Tapi ia tak mengejar saat gadis itu melepaskan tangannya untuk kembali berjalan. Toh, ada kunci mobil di ruang keluarga. Firly akan memakai itu untuk mengantar Risha pulang. Firly tak ingin ambil pusing.
Namun saat ia menginjakan kakinya di ruang berkumpul itu, ia cukup terkejut dengan eksistensi seseorang yang sudah lama tidak ada di rumahnya.
Terlebih gadis itu kini berada didalam pelukan bundanya, dan sedang menangis.
"kamu gak perlu mikir yang aneh-aneh, Santya. Kamu tetap yang terbaik dan gak akan pernah terganti. Udah ya sayang." ucap bundanya seperti sedang menenangkan.
Yang jadi pertanyaannya, sejak kapan Santya berada dirumahnya? kenapa gadis itu menangis? kemudian apa yang sebenarnya gadis itu bicarakan dengan bundanya?
Terlebih, apakah semua ini ada hubunganya dengan sikap Risha tadi?
KAMU SEDANG MEMBACA
Risha
Teen FictionSaat diam berubah sayang. Saat bisu menjadi rindu. Kisah klasik, dari mereka yang dipermainkan oleh rasa. Romansa muda yang mengisi monoton keduanya. Sayangnya, tidak ada yang tahu akhir apa yang mereka dapatkan. Sebatas hukuman dari keterlamba...