Risha memandang buku didepannya dengan kosong. Semenit kemudian ia menggeleng.
Tidak seharusnya ia seperti ini. Risha harusnya fokus untuk mempelajari bab baru pelajaran Biologi besok senin. Ia tidak boleh terus melamun seperti ini.
Namun tidak bisa. Beberapa kali mencoba, pikirannya kembali melayang pada kemarin sore.Risha kira, saat dirinya membantu bunda untuk membuka pintu depan dan bertemu Santya adalah bagian terburuknya. Seseorang disekolahnya pasti mengira, ada sesuatu antara dirinya dan Firly sampai ia ada berada dirumah lelaki itu.
Tapi tidak.
Saat bunda datang lalu memeluk Santya yang entah kenapa menangis, mengirim isyarat dari lirikan matanya menyuruh Risha pergi dari mereka berdua, ternyata mengalahkan ke-khawatirannya akan hal yang seharusnya ditutupi.
Risha melimpir ke dapur, satu-satunya tempat yang baik untuknya. Namun itupun tidak benar.
Jarak antara ruang keluarga dengan dapur tidak sejauh itu meski luas dua ruangan itu saja hampir setara dengan sepetak rumahnya. Sayup-sayup Risha mendengar ucapan mereka, bunda dan Santya.
Sungguh, Risha tak berniat menguping. Tapi kedua telinganya masih berfungsi dengan baik. Ia mendengar sebaris kalimat yang diselingi isak tangis dari Santya.
"Bunda-hiks, Tya-tya sendirian sekarang.."
"stt, tenang sayang. Cerita kalau kamu udah siap, okey. Bunda pasti dengerin."
"Mama s-sama papa berantem-hiks ninggalin Tya sendirian dirumah. Tya gak tau mau kemana lagi kalau gak kesini.."
"lho sayang.. Kamu tentu bisa kesini, kan udah bunda bilang gimanapun hubungan kamu sama Firly, kamu tetap anak bunda.. Udah, mungkin mama-papa kamu cuman lagi bingung aja.."
"t-tapi, sekarang bunda ada Risha, disini.."
"sttt, udah yaa.. Mau ada siapapun disini, tetap gak akan bisa gantiin kamu. Kamu tetap nomor satu buat bunda.."
Risha tidak tahu apa yang salah dari ucapan bunda yang satu itu, tapi setelahnya dia berjingkat pergi untuk mengambil ranselnya kemudian pergi dari rumah itu.
Risha merasa nyeri di sudut hatinya.
Risha menarik nafasnya dalam. Ia mencoba menarik kembali fokusnya yang melayang. Menatap buku paketnya lamat, mencerna berbaris kalimat yang disusun disana.Tapi Risha tetap tidak bisa. Sampai kesadarannya menipis dan ia tertidur dengan pikirannya yang gamang.
Yang ia mengerti, rasa tak suka hinggap pada hati Risha saat ini.***
Sama dengan Risha, Firly juga kesulitan fokus malam itu.
Padahal Firly tidak tahu apa yang salah pada dirinya. Rasanya, hari minggunya ini ia lalui dengan sebaik-baiknya. Namun malam ini nyaris berbanding terbalik dengan siang tadi. Hatinya resah tanpa alasan.
Untuk ketiga kalinya, ia mengubah mode laptopnya yang tadi sempat 'tertidur'karena terlalu lama didiamkan. Padahal besok pagi ada tugas presentasi perorangan. Dan Firly belum menyiapkan apapun sebagai bahan materinya.
Lelaki itu berguling, mengambil ponselnya yang berada di nakas. Ia mungkin butuh sedikit penyegeran, beberapa game offline yang sudah ia unduh aplikasinya sudah pasti menjadi jawabannya.
Alih-alih menekan ikon salah satu permainan yang ia punya, jempolnya malah mengetuk aplikasi berbalas pesan. Jarinya men-scrolling ke bawah, dan berhenti tepat di pada satu kontak dengan display gambar setoples kukis coklat yang terisi setengahnya. 'Risha Xi a.1' adalah id nama yang ia buat.
Firly sempat tercenung, kenapa pula ia mencari kontak gadis itu yang sudah tertimbun dengan kontak temannya yang lain. Membuka perpesanan mereka, tanggal terakhir mereka berbalas pesan adalah lebih dari dua minggu yang lalu. Rasanya, jempolnya gatal sekali untuk mengetik pada keypadnya membentuk serangkai kata untuk ia kirim.
Namun hanya 'Risha?' yang ia tulis dan itu sudah terkirim.
Firly langsung membanting pelan handponenya. Tak mengerti sampai ia tak sadar mengirim pesan itu.
Tiba-tiba pikirannya mengawang pada satu hari sebelumnya. Risha dengan raut wajahnya yang kencang seperti menahan segumpal emosi.
Tiba di rumah gadis itu, Risha juga langsung masuk ke dalam rumah saat ibunya mengucap terima kasih kepadanya. Tidak banyak obrolan yang mereka buat, tapi keabsenan Risha saat itu benar-benar terasa untuknya.
Jujur, ia merasa terganggu, meski sedikit. Ingin mengurung kembali dirinya dalam kamar, tapi bundanya bersikeras untuknya membawa Santya berjalan-jalan. Mantannya itu tidak pulang ke rumahnya, justru ia menginap dan baru pulang tadi sore.
Terasa getar dari ponselnya, Firly langsung bangkit mengambil handponenya.
Untuk mendapati notifikasi iklan dari salah satu aplikasi online shop yang di unduh bundanya.
Ia kembali mendesah pasrah,
Risha membuatnya kacau hanya karena menunggu gadis itu membalas pesannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Risha
Teen FictionSaat diam berubah sayang. Saat bisu menjadi rindu. Kisah klasik, dari mereka yang dipermainkan oleh rasa. Romansa muda yang mengisi monoton keduanya. Sayangnya, tidak ada yang tahu akhir apa yang mereka dapatkan. Sebatas hukuman dari keterlamba...