Kembali pada rutinitas sehari-hari Mingyu, datang pada jam 5 pagi. Hari ini dipakainya baju berwarna hitam, celana training berwarna senada, dan jaket biru gelap, tak lupa dengan topi hitam sebagai tambahan.
Sudahlah serba gelap, ditambah tertutup pula. Lengkap sudah syarat untuk Mingyu menjadi seorang pembunuh yang berkeliaran mencari mangsa atau pencuri yang sedang memantau suatu rumah untuk dibobol.
Masuk ke dalam kantor pos, semua pekerja yang sudah melakukan pekerjaannya nyaris berteriak setelah melihat setelan Mingyu. Hampir saja Mingyu dikira seseorang yang akan menghabisi nyawa mereka jika saja Mingyu tak bilang, "Ini aku, Mingyu."
Seokmin menengok saat mendengar dumelan pekerja yang mengata-ngatai Mingyu. Seokmin pasang wajah masam, mewajarkan kekhawatiran pekerja saat melihat pakaian Mingyu yang seluruhnya gelap.
"Kau berniat menjadi pembunuh berantai?" cibir Seokmin, matanya menatap Mingyu tak suka. "Kau kira kau keren berpakaian seperti itu? Kau terlihat seperti orang yang sedang melayat," tambah Seokmin.
Inilah sifat negatif dari sifat rajin Seokmin. Seokmin mudah sekali melontarkan sindiran, bahkan di depan wajah orang yang sedang ia sindir. Beruntung Mingyu sudah kebal, walau diawal mereka kenal sudah terkena cibiran Seokmin.
"Pakaianku yang terakhir kupakai untuk pergi kuliah dan ku cuci. Masih lembab, daripada masuk angin mending kupakai baju seadanya," balas Mingyu, tak Seokmin tanggapi. Hanya bibir Seokmin yang bergerak menirukan ucapan Mingyu.
"Oh, iya-"
"Pagi!" Sapaan ceria seseorang mengalihkan perhatian Mingyu dan memotong ucapan Seokmin. Mendapati Chan, kepala Mingyu mengangguk sebagai balasan. Kali ini Chan pakai kacamatanya yang dia beli menggunakan kartu kesehatan, menambah kesan culun pemuda yang gagal masuk universitas itu.
"Wah, Hansol? Tumben sekali," heran Mingyu ketika melihat wajah pemuda blasteran itu muncul dari balik pintu kantor pos. Tatap muka antara Mingyu dan Hansol bisa dihitung jari karena Hansol memilih untuk mengantar di komplek yang letaknya lebih dekat dengan kantor pos, otomatis Hansol tak perlu khawatir tentang batas jam mengantar surat, jam 2 siang.
Dengan santai dan terkesan tidak ada energi, Hansol angguki apa perkataan Mingyu. Kaki panjang pemuda blasteran itu berhenti tepat di samping Mingyu. Hansol gulung lengan bajunya, "Aku dibangunkan lebih awal oleh ibuku, itu saja." Mingyu terkekeh mendengar alasan Hansol datang awal.
"Sudah ku pilah. Kanan untuk Mingyu, kiri untuk Hansol, tengah untuk Chan," ucap Seokmin, mulai merenggangkan punggungnya yang kaku karena terlalu lama duduk. Mingyu raih bagiannya, sempat bersiul dan melirik Seokmin. Setelah Seokmin mengangguk, Mingyu masukkan semua suratnya ke dalam tas.
"Ah, Kak Seokmin, apakah ada surat untuk Hong Jisoo?" Pertanyaan Chan membuat Mingyu tertawa dalam hati. Surat Jisoo ada di dalam tasnya berbentuk gumpalan, terkadang menjadi serpihan kecil.
Sebelum mendengar jawaban Seokmin yang pasti berkata bahwa dia tak melihat surat untuk Jisoo, Mingyu balikkan badannya. Dia tinggalkan kantor pos dengan perasaan sumringah, memikirkan interaksi selanjutnya dengan pemuda manis yang mencuri hatinya.
***
Mingyu berhentikan sepedanya tepat di depan rumah Jisoo. Seperti biasa, Jisoo menunggu di pondok masih lengkap dengan seragam sekolahnya. Jisoo lebarkan senyum, menghampiri laki-laki berkulit tan itu.
Jisoo buka pagar rumahnya untuk Mingyu, cukup untuk mengatakan bahwa kehadiran Mingyu diterima dengan baik oleh Jisoo. "Terima kasih," ucap Mingyu, menunggu Jisoo untuk menutup pagar rumahnya, kemudian berjalan ke arah pondok. Sudah tersaji dua gelas jus dingin dan beberapa buah-buahan, berhasil membuat perut Mingyu yang senyap menjadi berbunyi.
Mingyu dudukkan dirinya di alas dingin pondok itu, ia buka topi dan jaketnya. Cuaca jam 1 siang kali ini berbeda, lebih berangin dan sinar matahari tak memancar langsung. Cuaca berangin ditemani jus dingin, perpaduan yang sangat cocok.
"Silakan dinikmati," suruh Jisoo yang paham bahwa Mingyu menunggu perintah dari tuan rumah. Mingyu ucapkan lagi salah satu kata ajaib kemudian menenggak jus buatan Jisoo. Setelah tersisa 3/4 bagian, Mingyu bersiap buka suara, jika saja pertanyaan Jisoo tak terlontar.
"Kak Mingyu, kau kemana kan suratku?"
Bak terkena serangan jantung, Mingyu terdiam membeku. Tangannya yang memegang gelas terambang, lidahnya kelu tak bisa menjawab. Pikirannya mendadak tergantikan oleh layar hitam.
"Kak Mingyu, jawab aku. Kau kemana kan suratku?" ulang Jisoo. Maniknya menatap langsung ke mata Mingyu. Tak lagi Mingyu lihat binar di mata Jisoo, hanya ada kesedihan.
Layar hitam yang memenuhi pikirannya berubah menjadi suara Seokmin, suara yang bertanya bahwa dirinya mengabaikan perasaan Jisoo dan lebih mementingkan perasaannya. Mingyu mulai berpikir bahwa ia adalah bajingan yang tak tahu malu. Ia melukai perasaan Jisoo dengan mengutamakan perasaannya.
"Aku tanya kepada pelayan bibiku, dia tak mau menjawab tentang orang tuaku. Jadi kutanya tentang surat, dia menjawab bahwa dia selalu mengantarkan surat ke kantor pos setiap hari, tapi tak ada satu pun yang berada di genggamanku sejak kau yang mengantar suratku.
"Hanya dua kali surat yang kau antar dapat aku baca, sisanya tidak. Kemarin juga aku sadar bahwa surat yang kau tak ingin aku antar adalah suratku. Kau kemana kan suratku, kak?" ulang Jisoo, mendesak Mingyu agar menjawab.
Mingyu letakkan gelasnya, situasi ini membuatnya tertekan. Mingyu merupakan orang yang tidak bisa di desak. Desakan membuat pikirannya buram, jujur adalah satu-satunya opsi. "Maaf." Hanya satu kata yang terucap dari Mingyu dengan kepala tertunduk. Jisoo balas senyum getir. Sudah bisa di tebak apa yang terjadi.
"Kau buka, kan suratku? Isinya sama dengan sebelumnya?" tanya Jisoo. Walau tertunduk, Mingyu mengangguk. Tangan Mingyu bertaut, menyalurkan perasaannya yang bercampur aduk.
Tiba-tiba Jisoo berdiri. Kakinya meraih sandal rumahan miliknya dan berkata, "Aku butuh waktu." Kepergian Jisoo dari hadapan Mingyu tak bisa membuat Mingyu menengok. Ada rasa tak pantas saat Mingyu ingin melihat ke arah pemuda yang suratnya ia sembunyikan.
Mingyu tertunduk membisu, apakah hal yang dilakukannya salah? Semua hal di hadapannya yang awalnya menggiurkan menjadi biasa saja. Sinar matahari yang kian lama menjadi terik membakar beberapa bagian dari kulit Mingyu yang tak tertutupi helai kain.
Dunia seakan tak mendukungnya untuk bersedih, seolah mengingatkannya bahwa itu memang salahnya. Otak Mingyu terus merapalkan kalimat bahwa semuanya adalah salahnya.
Renggang. Satu kata yang sudah cukup menggambarkan hubungan Mingyu dan Jisoo. Bulan dan matahari yang awalnya sedekat malam menjelang pagi, sekarang sejauh siang menuju malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Surat di Tahun 2006 | MinShua
Fanfiction[Seventeen BxB Fiction] Kim Mingyu x Hong Jisoo *** Pekerjaan yang sudah hampir punah kini merupakan pekerjaan utama Mingyu. Mingyu, si perantau di kota lain demi kelangsungan pendidikan bekerja sampingan sebagai tukang antar surat mengingat orang t...