Mingyu melirik dari ekor matanya ketika melihat Chan melintasinya dan pergi dari kantor pos mengendarai vespa berwarna hijau lumut. Pemuda itu sudah kembali, namun tak berkata apapun. Sekedar menyapa saja tidak.
"Ya ampun, Chan, kau sombong sekali," cibir Mingyu ketika mendengar vespa Chan distarter. Hanya sebentar sebelum dia kembali abai dan memasang wajah datar, tugasnya berhenti di 80% dan ia kehabisan ide dalam mengerjakan tugasnya. Tentu saja suasana hatinya menjadi buruk kembali.
Nampaknya suasana hati Mingyu bisa diatur oleh tugas. Bila tugasnya selesai, dia akan senang seakan menjadi orang kaya baru. Begitu pula sebaliknya, bila tugasnya belum selesai, dia akan memasang raut datar lebih ke arah raut kesal di setiap waktu.
Seokmin hanya bisa menghela nafas ketika melihat wajah Mingyu. Seakan tak mandi dibuat Mingyu pada wajahnya. Debu, minyak, dan lain-lain nampak masih menempel pada wajah rupawan Mingyu. Seokmin tak mau berkomentar, takut temannya yang satu itu mogok berbicara dengannya.
"Antarkan ini pada nama-nama biasa," ucap Seokmin seraya meletakkan surat-surat di tangan Mingyu. Mingyu baca secara teliti dan cepat nama penerima serta alamatnya. Tugasnya sudah selesai, Seokmin pun membalikkan badan.
Baru saja membalikkan badan, nama Seokmin dipanggil oleh Mingyu. "Seokmin, ada yang kurang," lapor Mingyu. Matanya bahkan masih terpaku pada benda tipis berbentuk persegi panjang itu.
Seokmin memutar matanya selaras dengan tubuhnya. "Apanya yang kurang? Itu sudah aku susun ke delapan nama berbeda seperti yang kau minta," balas Seokmin, berusaha sabar.
Kerutan di dahi Mingyu semakin lama semakin dalam. "Kurang satu," ucap Mingyu yakin.
Kesabaran Seokmin mulai menguap. "Aku sudah memilihkannya untukmu! Xu Minghao, Boo Seungkwan, Yoon Jeonghan, Choi Seungcheol-"
"Hong Jisoo. Surat Hong Jisoo mana?" Seokmin langsung terdiam. Ada apa dengan temannya ini? Kenapa Mingyu tiba-tiba bertanya tentang surat beratas namakan Hong Jisoo itu?
"Beri aku surat dengan nama penerima Hong Jisoo," ulang Mingyu pada Seokmin yang mematung. Seokmin mematung bukan tanpa alasan, namun ia sedang mengingat dimana atau pada siapa ia serahkan surat itu.
"Tapi, surat itu sudah kuberikan."
Mingyu mengerutkan dahinya, "Maksudmu?"
"Surat itu sudah kuberikan pada Lee Chan," jawab Seokmin membuat mulut Mingyu menganga, syok. Mereka berdua terdiam saling bertatapan. Mingyu menyalurkan rasa kesalnya, sementara Seokmin menatap Mingyu dengan tatapan aneh.
Mingyu menghentakkan kaki kirinya, "Kenapa kau berikan padanya?!" Mingyu berteriak penuh kekesalan. Berbeda dengan Seokmin yang ikut kesal tapi dikarenakan Mingyu yang malah seperti menyalahkannya.
"Dia sudah kembali tadi pagi! Katamu kau hanya mau mengantar ke delapan nama berbeda!"
"Libur apa yang hanya memakan 2 hari?! Aku bahkan cuti seminggu penuh!"
"Mana aku tahu, bodoh!" dongkol Seokmin. Tak dipedulikannya hal lain, Mingyu pergi dari kantor pos dengan menaiki sepeda tuanya, mengabaikan teriakan frustasi Seokmin yang berteriak bahwa tasnya tertinggal.
Masa bodoh dengan tasnya, ia ingin menghampiri rumah Hong Jisoo terlebih dahulu. Biarlah dirinya bolak-balik, ia penasaran apakah Chan sudah mengantar surat itu.
***
Sepeda Mingyu berhenti tepat di depan pagar putih pekarangan rumah Jisoo, tepat di belakang vespa hijau lumut milik Chan. Mata Mingyu menyipit saat melihat Chan yang santainya meluruskan kakinya dan duduk di pondok kecil rumah Jisoo.
Kaki Mingyu dengan cepat bergeser ke samping untuk bersembunyi setelah turun dari sepedanya ketika melihat si tuan rumah keluar, membawa nampan berisi dua gelas teh hangat.
Dari celah semak-semak itu bisa Mingyu lihat Chan tersenyum dan berkata terima kasih pada Jisoo yang membalas senyum manis. Jisoo pun mengambil tempat duduk di samping Chan.
Orang-orang yang berlalu lalang untuk berjoging hanya mengabaikan Mingyu karena badan jangkung itu tertutup bayangan pohon yang tumbuh di perkarangan rumah Jisoo. Mingyu pun nampaknya harus bersyukur bahwa orang-orang tidak menyadarinya.
"Ini suratmu," kata Chan sembari menyerahkan surat sama seperti yang Mingyu antar kemarin.
"Terima kasih..." balas Jisoo tersenyum. Kali ini yang Mingyu lihat dari balik semak-semak adalah senyum lebar dan tulus, berbeda dari senyum kecil namun ragu yang diberikan Jisoo pada Mingyu.
Mingyu jadi penasaran, apa hubungan mereka berdua? Mereka terlihat dekat, apalagi ketika Chan tanpa sungkan meraih jemari Jisoo.
"Mereka masih tidak ada kabar, ya?" Dahi Mingyu mengerut, 'mereka'? Semakin bingung pula Mingyu saat dia melihat bahu Jisoo bergetar. Senyum tulus itu berubah menjadi senyum getir.
"Ya... Surat yang aku terima selalu ditulis oleh kakak dari Ibuku... Aku muak melihat tulisan yang sama. Aku butuh kabar langsung dari orang tuaku," jawab Jisoo. Dapat dipastikan pemuda itu menangis melihat dari betapa dalamnya kepala itu tertunduk.
Tangan Chan mengusap bahu Jisoo, "Jika sudah lelah menunggu, kembali ke kota asalmu, Soo. Kau tak selamanya harus disini. Kota besar bisa membantumu mencari kabar kedua orang tuamu."
"Aku akan menunggu hingga satu surat lagi. Hanya satu. Jika surat-surat itu masih berasal dari sumber yang sama, aku menyerah dan akan kembali ke kota asalku," final pemuda itu sembari mengusap kasar air matanya. Mendengar pembicaraan keduanya membuat pertanyaan semakin memenuhi pikiran Mingyu.
Keadaan apa yang kini dialami pemuda yang mencuri hati Mingyu itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Surat di Tahun 2006 | MinShua
Fanfic[Seventeen BxB Fiction] Kim Mingyu x Hong Jisoo *** Pekerjaan yang sudah hampir punah kini merupakan pekerjaan utama Mingyu. Mingyu, si perantau di kota lain demi kelangsungan pendidikan bekerja sampingan sebagai tukang antar surat mengingat orang t...