2. Nama yang Sama

158 32 0
                                    

Selagi kakinya berjalan memasuki kantor pos, jemari Mingyu membuka sela dompetnya dan memasukkan uang yang baru saja didapatnya. Uang itu merupakan kiriman dari orang tuanya. Bisa untuk membayar sewa kamar dan keperluan kuliahnya. Keperluan sehari-hari biarlah gaji mengantar suratnya yang mengambil alih.

Mungkin kalian bingung kenapa Mingyu tinggal di kota kecil untuk pendidikan, apakah di kota itu ada universitas? Jawabannya, tidak. Mingyu tinggal disitu karena kota universitasnya memiliki biaya hidup yang tinggi.

Jaraknya memang lumayan jauh dari kota universitasnya, namun mau tak mau harus Mingyu jalani daripada stres memikirkan cara mengatur keuangan. Mingyu tidak mau aliran listrik kamarnya diputus karena dia tidak membayar sewa listrik.

Asap rokok tercium, menandakan Mingyu sudah di dalam kantor pos. Sesekali Mingyu menepi, membiarkan orang lewat yang terburu-buru. Tugasnya masih ditahap 80% jadi, khawatir pun tidak Mingyu rasakan karena batas pengumpulan tugasnya masih ada seminggu lagi.

"Tidurmu nyenyak?" tanya Seokmin. Bukan tanpa hal bertanya seperti itu, namun wajah Mingyu yang cemerlang dan tersenyum lebar sedikit aneh bagi Seokmin, walau bukan pertama kalinya ia melihat hal itu.

Semua orang di kantor pos mengakui bahwa Mingyu itu sebenarnya tampan, jika saja tugas tidak menghantam jam tidurnya. Wajah lesu tanpa semangat yang selalu dilihat pekerja di kantor pos. Tanpa cemerlang di wajahnya, aura tampan Mingyu seakan sirna.

Semuanya diam-diam mencuri pandang terhadap wajah Mingyu, apalagi tubuh tinggi itu dibalut kaos berlengan pendek berwarna kuning dan celana kain berwarna krem. Tak lupa dengan sweater putih dan sepatu sepak bola yang menjadi hadiah ulang tahunnya, Mingyu tidak terlihat seperti pengantar surat karena terlalu tampan.

"Ya, tugasku sedikit lagi selesai," jawab Mingyu, cengar-cengir membuat Seokmin memasang wajah masam. Aneh bukan melihat Mingyu yang biasanya lesu tiba-tiba melempar senyum kesana-kemari seperti orang gila.

Seokmin meletakkan surat-surat yang sudah ia pilah di atas tangan Mingyu yang mengadah. Mingyu membaca nama penerima surat-surat itu, "Tidak apa-apa bukan jika bertambah beberapa nama seperti kemarin?"

Mendengar itu, senyum Mingyu luntur. Seokmin merusak suasana hatinya yang bahagia. "Aku sedang senang bukan berarti kau bisa melimpahkan semua surat ini padaku," cibir Mingyu. Seokmin tahu Mingyu sengaja meliriknya dengan ujung mata agar terkesan sinis.

"Hansol masih demam dan Chan masih belum kembali, siapa lagi kalau bukan kau? Lagipula itu masih kuatur, tidak semua surat kusuruh kau antar. Kau mau mengantar semua surat ini?" kesal Seokmin. Mingyu tidak memiliki kerjaan lain di setiap pagi selain memancing kekesalannya.

Mingyu mendengus lalu memasukkan surat yang diberikan Seokmin ke dalam tas selempangnya. Ia pun meninggalkan kantor pos dengan mengendarai sepeda tuanya.

***

"Boo Seungkwan sudah... Xu Minghao... Juga sudah!" Mingyu sedikit memekik senang setelah memasukkan surat dengan nama penerima Xu Minghao ke dalam kotak surat.

Pekarangan itu selalu sepi saat Mingyu mengantar surat beramplop putih itu, namun setiap Mingyu kembali untuk mengantar surat lagi, kotak surat itu berada dalam kondisi kosong. Cukup menandakan bahwa orang yang bernama Minghao ini sibuk sehingga rumahnya selalu sepi, namun tetap setia menanti surat yang dikirim.

"Nah, mari pulang pada pemilikmu," monolog Mingyu pada surat yang ia pegang. Ia gerakkan sedikit demi sedikit sepedanya sembari melihat ke sekitar. "Rumah Hong Jisoo... Nomor 26 Blok B... Dimana kah kau..."

Mingyu pun menemukan rumah yang menjadi tujuan terakhirnya dalam waktu cepat mengingat dia kemarin sudah pernah mengantar surat ke rumah ini. Bila sebelumnya Mingyu tak mendapati siapapun di teras rumah itu, kini mata Mingyu menangkap seseorang yang sedang terduduk bersandar di sebuah tiang penyangga pondok kecil.

Bisa Mingyu lihat bulu mata lentik itu bergerak mengikuti kedipan si pemuda berambut hitam pekat. Pemuda itu sedang membaca buku yang nampaknya buku fiksi. Berbalut kaus hitam yang kontras dengan kulit putihnya lengkap dengan celana pendek kain berwarna krem nampaknya berhasil memikat perhatian Mingyu. Sadar diperhatikan, manik gelap itu pun beradu dengan manik Mingyu.

Mingyu menelan ludahnya sedikit kasar ketika melihat pemuda itu berjalan mendekatinya. Demi menghilangkan rasa canggung yang datang entah darimana, Mingyu pun membuka suara. "Hong Jisoo?"

"Aku sendiri... Tapi, boleh aku bertanya?" tanya pemuda yang dipastikan bernama Jisoo itu. Pemuda itu juga menerima surat yang diberikan Mingyu.

"Bertanya apa?" balas Mingyu. Dapat Mingyu rasakan bahwa pemuda di hadapannya ini sedikit tertutup, suara yang Mingyu dengar seperti ragu dan tidak percaya diri.

"Dimana Kak Chan? Biasanya dia yang mengantar surat dari orang tuaku. Aku ingin berbicara padanya," cicit Jisoo. Mingyu sedikit terkejut karena Chan ternyata mengenal Jisoo.

"Ah, anak itu sedang mengambil cuti. Mungkin kau merasa asing padaku, tapi aku Kim Mingyu, rekan Lee Chan. Aku kemarin mengambil cuti ketika dia bekerja, sehingga ketika waktu cutiku selesai, aku yang mengantar suratmu dan Chan mengambil libur. Jika kau mau, kau bisa bicara padaku. Akan ku sampaikan padanya," jawab Mingyu.

Kini yang Mingyu lihat adalah pucuk kepala Jisoo. Tercium wangi lembut yang menguar dari surai hitam pekat itu. Pemuda itu hanya mengangkat kepala ketika bertanya, saat Mingyu menjawab pemuda itu memilih untuk menundukkan muka.

"Uh... Baiklah, terima kasih telah mengantar suratku, Kak Mingyu." Jisoo mengangkat kepalanya, melontarkan senyum kecil yang entah kenapa terasa begitu manis. Bak terkena serangan jantung, Mingyu hanya bisa terdiam membeku sampai punggung sempit itu memasuki rumah berukuran sedang dengan cat krem.

Sekarang Mingyu percaya akan yang namanya cinta pada pandangan pertama. Cinta yang dialami Seokmin beberapa tahun lalu.

[✓] Surat di Tahun 2006 | MinShuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang