Suara kertas dibolak-balik terdengar kasar. Tangan kirinya membolak-balik sebuah buku pelajaran, sementara tangan kanannya mengetukkan ujung pulpen ke kepalanya. Angin yang menerbangkan sedikit poninya pun ia abaikan.
Segelas air putih dengan beberapa balok es tak tersentuh. Embun dari es yang mencair pun mengalir, membasahi tikar yang menjadi alas dari pondok kayu rumahnya. Matahari tepat di atas kepala, namun pemuda itu tidak berkeringat sama sekali.
Pemuda yang seragamnya masih setia menempel di tubuhnya itu berusaha fokus terhadap apa yang ada di hadapannya. Matanya setia mematung di buku pelajarannya, mencoba mencerna apa yang dituliskan dalam buku itu.
Matematika. Itulah buku pelajaran yang sedang ia buka. Duduk di pondok yang tertutup pohon rindang tak bisa membuatnya fokus. Pikirannya masih setia terbelah menjadi dua.
Tugas matematikanya yang membingungkan dan surat selanjutnya yang akan diantar.
Jisoo masih bimbang, kenapa tak ada surat yang diantar? Jisoo tak tenang ketika ia tak mendapat surat. Jisoo butuh kepastian. Jika ada satu surat lagi, dia bisa membuat keputusan untuk tetap tinggal atau pergi dari kota kecil ini.
Menyerah, kepala Jisoo tertunduk. Tubuh yang awalnya melengkung karena terduduk mengerjakan tugas tanpa meja berubah menjadi berbaring menghadap ke arah pagar. Tatapannya menatap nanar pulpen yang ia genggam di tangan kanan.
Angin berhembus kuat, menciptakan rasa nyaman di bawah terik Sang Surya. Rambutnya diterpa angin, rasa kantuk mendera, apalagi setelah mengerjakan tugas yang cukup menguras pikiran sembari berpikir tentang orang tuanya. Nyaris saja mata rusa itu terpejam jika Jisoo tak menyadari seseorang yang berlalu di depan rumahnya.
Mata rusa itu terbuka lebar, dengan cepat duduk dan mengayunkan kakinya untuk memasang sandal rumah berwarna krem. Setelah terpasang, dibawanya kedua kakinya berlari sampai di balik pagar.
"Kak Mingyu!" panggil Jisoo. Kedua tangannya ditumpukan pada pagar rumahnya, kepalanya menatap punggung lebar Mingyu. Dalam tatapannya sudah terlihat bahwa Jisoo berharap laki-laki itu berbalik.
Benar saja, nama yang dipanggil memberhentikan sepedanya, kemudian membalikkan badan. Jisoo melambaikan tangannya, menyuruh Mingyu mendekat. Mingyu menuruti, memutar arah sepeda berkarat itu menuju ke rumah Jisoo.
Sampai di depan rumah asri itu, Mingyu turun dari sepedanya. Tangannya langsung berada di atas kepalanya tepat setelah topinya terlepas untuk membenarkan rambutnya yang sedikit panjang.
Jisoo bukakan pagar rumahnya, mempersilakan Mingyu masuk. "Masuk dulu, Kak, tunggu di pondok," ajak Jisoo sopan. Jisoo tak melupakan jarak yang harus dibuat karena Mingyu termasuk golongan orang asing.
Yang termasuk orang dekat bagi Jisoo adalah keluarganya dan orang-orang yang diizinkan orang tuanya masuk ke dalam rumah. Maka dari itu Jisoo sambut Mingyu untuk duduk di pondok yang tak kalah nyaman dari dalam rumahnya.
"Eh, tak apa?" tanya Mingyu bingung. Jisoo lontarkan senyuman yang memberitahukan bahwa Mingyu benar-benar diizinkan masuk. Mingyu bawa kedua kakinya melangkah masuk ke dalam rumah kecil dengan pekarangan luas yang menjadi idaman bagi orang-orang kota besar.
Ditinggal orang tuanya tak membuat Jisoo malas. Jisoo selalu sempatkan dirinya untuk menyiram bunga, mengganti pot-pot tanaman, atau menyapu halaman dari daun-daun kering, menendang jauh kesan bahwa rumah ini tak ditempati orang mengingat Jisoo menghabiskan hampir setengah harinya di sekolah.
Jisoo masuk ke dalam untuk menyajikan beberapa makanan ringan serta secangkir teh setelah melihat Mingyu meluruskan kakinya dengan punggung bersandar di pondok rumahnya.
Tak butuh lama semua itu tersaji dan Jisoo bawa menggunakan nampan. Mingyu turunkan kakinya agar Jisoo bisa duduk dan meletakkan nampan yang dia bawa.
"Terima kasih," ucap Mingyu dibalas dengan senyuman oleh Jisoo. Diletakkannya cangkir berisi teh dan sepiring kudapan ringan di hadapan Mingyu.
"Pasti lelah, ya? Istirahatlah sejenak disini," ujar Jisoo.
Mingyu mengangguk, menyesap sedikit teh hangat buatan Jisoo. Setelah cangkir teh kembali mendarat di alas pondok, Mingyu tatap manik gelap milik Jisoo. Ada perasaan tersirat yang bisa Jisoo baca.
Rasa bersalah.
"Maaf, Jisoo. Masih tak ada surat yang bertuju ke namamu," kata Mingyu. Sekarang Jisoo tahu kenapa Mingyu melemparkan senyuman merasa bersalah, Mingyu merasa bersalah karena tak membawa surat yang ia tunggu-tunggu.
Senyum getir Jisoo mengembang, dengusan pun terdengar. Dengusan yang mengasihani dirinya. Apakah bibinya melupakan dirinya? Apakah orang tuanya tak mengingat dirinya?
Jisoo lelah. Lelah menanggung rasa rindu yang menggebu. Ia hanya memiliki kedua orang tuanya, ditinggal sendirian tentu membuatnya rindu. Sudah setahun orang tuanya tak kembali, setahun itu pula Jisoo tinggal sendiri.
Keperluan hidupnya terpenuhi menggunakan tabungan ayahnya yang sangat banyak yang diharapkan Jisoo menggunakan semua tabungan itu sampai mereka kembali. Hanya itu pesan mereka di sebuah kertas tempel ketika Jisoo yang baru berumur 16 tahun terbangun tanpa kehadiran kedua orangtuanya.
Bayangkan, seorang pemuda 16 tahun menyambut paginya tanpa orang tua. Sudah 1 tahun berlalu pun orang tuanya tak kunjung kembali.
"Aku... lelah menunggu satu surat lagi. Surat terakhir ini akan menjadi alasanku pergi dari sini. Aku benar-benar butuh kabar dari orang tuaku. Aku rindu kepada kedua orangtuaku," lirih Jisoo. Kepalanya tertunduk dalam, membiarkan air matanya jatuh membasahi celana sekolahnya.
"Boleh aku usap bahumu, Soo?" Jisoo mengangguk lemah dan tangan Mingyu mendarat di bahunya. "Tak apa, tunggulah sebentar lagi. Aku juga rindu pada orang tuaku, walau aku berbeda karena aku perantau. Kau anak yang kuat, kau hebat. Setahun tanpa tahu kabar asli orang tuamu, benar-benar hebat."
Jisoo pertama kali membuka diri selain dengan Chan, tanpa tahu Mingyu lah yang menyembunyikan suratnya dengan alasan agar Jisoo tak pergi. Mingyu tentu bersalah melihat ekspresi sedih Jisoo, namun beri ia waktu agar dia bisa lebih dekat pada pemuda ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Surat di Tahun 2006 | MinShua
Fanfiction[Seventeen BxB Fiction] Kim Mingyu x Hong Jisoo *** Pekerjaan yang sudah hampir punah kini merupakan pekerjaan utama Mingyu. Mingyu, si perantau di kota lain demi kelangsungan pendidikan bekerja sampingan sebagai tukang antar surat mengingat orang t...