10. Akhir

148 22 0
                                    

Tangan Mingyu terlipat di atas meja dengan kepalanya yang tenggelam di lipatan tangannya. Kepalanya berat seolah-olah ditimpuk batu besar. Bukan tentang kuliah yang dipikirkannya, melainkan tentang Hong Jisoo.

Sebagai seseorang yang minim pengalaman dalam hal romansa, Mingyu membutuhkan saran. Tidak apa-apa bila tidak ahli, setidaknya dari seseorang yang berpengalaman dalam masalah asmara. Hanya ada satu nama yang terlintas di benak Mingyu.

Seokmin. Seokmin pernah menjalin kisah cinta di umurnya yang ke 21 tahun, namun berakhir kandas karena ditinggal kawin. Seokmin yang ingin memapankan diri kalah dengan duda berkepala tiga pemilik perusahaan tambang.

Disinilah Mingyu sekarang, duduk dengan setelan baju lengan panjang berwarna putih, celana kargo coklat, dan topi berwarna hitam. Kepalanya terbaring di atas meja layaknya seorang anak anjing yang sedang terkulai lemas.

Mingyu menunggu manusia yang berada di dalam dapur selesai dengan segala urusannya. Sengaja ia datang pada jam 4 pagi agar kerjaan temannya tak terganggu, walau hatinya yang terganggu karena gundah memikirkan pemuda manis itu.

"Bangun. Jangan tidur di meja tempatku bekerja atau kepalamu ku siram menggunakan kopi ini." Mendengar perkataan pedas dari Seokmin, Mingyu tegakkan kepalanya. Setelah kepala Mingyu tak menghalangi setengah dari mejanya, Seokmin sodorkan segelas kopi yang dibuat instan.

Mingyu genggam gelas itu menggunakan dua tangannya, menatap wajahnya yang terpantul di kopi. Begitu terus sampai Seokmin sendiri memutar bola mata, jengah melihat kelakuan Mingyu yang uring-uringan tak jelas.

"Jika tak ada yang ingin kau bicarakan, pergi. Badanmu besar, dan seleher mu hampir setengah dari mejaku tertutupi," ketus Seokmin. Ia muak melihat Mingyu yang nampak ingin bercerita, namun tak satu kata pun terlontar dari mulutnya. Bagaimana ia bisa menjawab semua kegelisahan Mingyu jika Mingyu sendiri tak buka suara?

Dengusan keluar setelah Seokmin mengeluh pada Mingyu. Tangannya terlipat, menunggu Mingyu untuk bicara. "Jisoo..." gantung Mingyu. Suaranya seperti menghilang di ujung kalimat.

"Kenapa?"

"Dia tahu aku yang menyembunyikan suratnya." Mendengar hal itu, Seokmin lirik Mingyu melalui ekor matanya. Sekarang dia tahu kenapa Mingyu gundah gelana bak orang yang berada di akhir bulan memikirkan apa yang harus dimakan.

"Lalu?" tanya Seokmin menuntut kelanjutan.

"Dia bilang dia butuh waktu, dia tinggalkan aku di pondoknya. Biasanya dia akan menemaniku hingga aku selesai dengan jamuannya," sambung Mingyu dengan suara lemah seperti tidak makan sebulan.

Seokmin menyanggah, "Tapi, itu memang salahmu, kan?" Walau wajahnya menyertakan keberatan, Mingyu mengangguk. Bagus jika Mingyu sadar bahwa itu salahnya. "Kau sudah minta maaf?" tanya Seokmin. Hadiah dari pertanyaannya adalah anggukan lemah Mingyu.

Seokmin seruput kopinya demi menghilangkan rasa kering di lidahnya. Seokmin sendiri bingung mau memberi saran apa mengingat dia tak pernah mengejar seseorang. Gadis yang dia cintailah yang mengejarnya, dia hanya membalas cintanya walau tetap berakhir sebagai tamu undangan.

"Coba kau datangi rumahnya. Bicarakan baik-baik. Aku tidak bisa memberi saran lebih. Kalian tidak memiliki hubungan, jadi komunikasi lah satu-satunya jalan." Mingyu mendengus tanpa semangat, ia masih bingung apa yang harus diucapkannya pada Jisoo. Apakah hanya kata maaf lagi? Atau penjelasan yang tak diminta Jisoo?

"Kau antar terlebih dahulu surat lain, aku beri sedikit agar kau bisa selesai sekurang-kurangnya jam 8 pagi. Setelah itu bicara padanya dan kembali agar bisa kau ceritakan padaku apa reaksinya," saran Seokmin, meraih tumpukan surat untuk Mingyu, dibaginya menjadi dua bagian yang tak rata, dan yang lebih sedikit ia serahkan pada Mingyu.

"Terima kasih," cicit Mingyu. Ia bangkit dengan langkah berat, meninggalkan kantor pos di jam 5 kurang 15 menit. Dalam hatinya, ia berdoa agar diberi kelancaran. Ia benar-benar mengharapkan reaksi Jisoo yang bagus.

***

Sepeda Mingyu berhenti tepat di depan rumah Jisoo. Rumah yang selalu asri dan hijau. Rumah yang selalu nampak hidup. Jam 9 pagi, seluruh surat yang Seokmin berikan sudah ia antar. Tangannya memegang surat untuk Hong Jisoo.

Raut datarnya menatap surat itu, kemudian beralih ke pagar rumah Jisoo. Mingyu perhatikan lamat-lamat saat ia melihat sebuah rantai dengan akhiran gembok. Alisnya bertaut karena kebingungan. Semakin bingung pula ketika ia melihat sebuah kertas yang dilipat tertempel di pagar. Ditariknya kertas itu untuk dibaca.

Halo, Kak Mingyu.

Jika kau membaca ini, itu berarti aku sudah pergi. Pergi dari kehidupanku yang tak pasti.

Maaf. Aku lelah. Aku cukup kecewa saat tahu bahwa kau dengan sengaja menyembunyikan semua suratku. Cukup kecewa pula bahwa aku menyukaimu. Tapi aku sudah memaafkanmu atas segala hal walau masih kecewa. Maaf tentang orientasi seksualku. Percayalah aku takkan kembali. Maaf telah menyukaimu.

Tolong bilangkan pada Kak Chan bahwa aku kembali ke kota asalku. Terima kasih atas gelangnya. Akanku pakai selalu sebagai kenangan. Terima kasih atas interaksi selama ini.

Hong Jisoo.

Mingyu mendengus getir. Kertas berisi tulisan Jisoo diremasnya. Matanya memanas bak disiram air mendidih. "Apakah aku benar-benar dimaafkan? Harapanku adalah kau disini, di hadapanku. Apanya yang dimaafkan jika aku belum menjelaskannya padamu? Aku juga menyukaimu, bocah," tanya Mingyu, bertanya seolah-olah Jisoo ada di hadapannya.

Hatinya semakin lama semakin diremas kuat seakan ingin memeras darahnya. Dingin dari betapa siapnya awan menumpahkan muatannya pun semakin menusuk Mingyu. Kepalanya merasakan butiran hujan yang awalnya rintikan menjadi semakin deras.

Tanah perlahan dibasahi oleh hujan, begitu pula tubuh Mingyu yang mulai dihantam derasnya hujan. Mingyu berdiam diri, menatap ke rumah Jisoo yang ternyata sudah tak ada kehidupan di dalamnya.

Air mata Mingyu luruh bersama derasnya hujan yang melewati wajahnya. "Aku akan mencarimu, meminta pembuktian dari perkataanmu. Mari bertemu kembali, Hong Jisoo. Mari bertemu kembali dan menjadi pasangan."

Di lain sisi, seseorang terduduk meratapi jendela yang dibasahi hujan. Tangannya mengusap tangan yang lain, tangan yang dilingkari sebuah gelang berhiaskan bulan sabit kecil.

Tangannya yang dilingkari gelang menggenggam kertas berkualitas tinggi. Surat itu telah dibaca berulang kali. Setengah hatinya mantap meninggalkan kota kecil penuh kenangan, walau setengah hatinya merana harus meninggalkan pria yang dia cintai.

Kepalanya menunduk, menatap kertas yang ia genggam. Senyum getirnya mengembang saat melihat gelang pemberian Mingyu. Walau begitu, tetap ia elus gelang itu. Jisoo menyandarkan kepalanya ke belakang, matanya perlahan terpejam seiring dengan air matanya menetes.

"Maaf dan selamat tinggal, Kim Mingyu."

[✓] Surat di Tahun 2006 | MinShuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang