2

61 4 0
                                    


Kalau bukan karena pertanyaan Papi nya tadi, Ciel juga nggak bakal ingat kalau satu minggu lagi sudah ulang tahunnya yang ke-17.

Ciel sangat suka saat ulang tahunnya dirayakan dengan cara yang sangat mewah dan hanya mengundang tamu-tamu pilihan. Akan ada banyak kado-kado mahal yang diterimanya, dan juga beberapa doa tulus dari orang-orang tertentu yang sangat berarti untuk Ciel.

Terlepas dari itu semua, masih ada hal yang mengganggu pikiran Ciel. Salah satunya adalah tentang kepulangan kakaknya dari Kanada besok pagi, juga menjadi salah satu alasan kenapa Ciel nggak mau ikut pulang ke Jakarta hari ini.

Hubungan Ciel dengan Diara, kakaknya—bisa dibilang tidak begitu baik. Sejak kecil, Ciel sudah terbiasa tidak terlalu akrap dengan kakak perempuan yang berbeda tujuh tahun dengan Ciel itu. Menurut Ciel, cara Maminya memperlakukan mereka berdua lah yang menjadi salah satu alasan kenapa Ciel tidak bisa bersikap biasa saja kepada Windi. Tapi meskipun begitu, ada alasan lain yang menjadi poin utama kenapa Ciel sangat membenci Diara.

"Ciel?"

Ciel menoleh ke belakang, mendapati Opanya sedang berdiri di ambang pintu balkon, tempat dimana Ciel duduk sekarang.

"Opa belum tidur?"

"Masih belum. Opa boleh duduk disitu juga?"

"Nggak boleh."

Meskipun Ciel menolak, Opa tetap duduk disebelah Ciel lalu merangkul bahu cucunya.

"Disini dingin tau. Opa masuk aja."

"Sudah tau dingin, kenapa malah duduk disini? Sendirian pula, nggak takut kesurupan kamu?"

"Kesurupan, kesurupan deh. Bodo amat."

"Sembarangan."

"Opa."

"Kenapa, hm?"

Ciel diam, tidak langsung menjawab.

"Ada apa, Ceciel?"

"Opa lebih sayang aku atau Kak Diara?" Adrin sepertinya sadar kalau Opa sedikit kaget dengan pertanyaannya yang tiba-tiba itu. "Eh, tapi kalo Opa nggak mau jawab, ya nggak papa juga, aku cuma asal nanya aja tadi."

"Ada yang mengganggu pikiran kamu?"

"Banyak."

"Masih muda kok udah banyak pikiran, fokus dulu sama sekolah kamu, jangan biarkan kepala cantik ini pusing sama hal yang nggak penting, ya."

Ciel melingkarkan lengannya di perut Opa.

"Kalo ada yang ganggu atau jahatin cucu kesayangan Opa, bilang sama Opa ya, nanti Opa sendiri yang bakal kasih pelajaran."

"Belum sampai Opa kasih pelajaran nih, udah aku bikin berlutut duluan dia di depan Opa buat minta maaf karna udah gangguin cucu kesayangannya, percaya deh."

Opa terkekeh, lalu menyubit pelan hidung Ciel, "Kamu ini memang mirip sekali dengan Mami-mu, nggak heran lagi."

"Mirip gimana? Kita itu jauh Opa, baik fisik ataupun watak, jauhhh. Aku sama Mami itu selalu ada di kubu yang berlawanan, kita nggak akan pernah cocok dalam hal apapun. Dari pada Mami, aku rasa aku lebih mirip sama Papi kalo diliat-liat."

"Opa hanya lihat dari sudut pandang Opa saja, sifat kamu ini sebelas-dua belas sama Mami kamu. Dulu, waktu masih remaja, masih labil-labilnya, Mami kamu juga gini—"

"Gini gimana?"

"Ya sama seperti kamu gitu, mana mau dia dengarkan orang lain kalo nggak sesuai sama hatinya."

This Love Is Worth The Fight Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang