8

3 2 0
                                    

"Dari tadi gue perhatiin, kayanya lemes banget muka lo, Cel?"

Jendral dan Ray ikut memalingkan wajahnya kearah Ciel karena pertanyaan Sophi barusan, dan benar saja, Ciel hanya mengaduk-aduk baksonya yang masih utuh tanpa minat sama sekali.

"Lagi ada masalah?" Jendral menghentikan pergerakan tangan Ciel dengan mendorong sedikit mangkok bakso Ciel menjauh agar Ciel menghentikan kegiatannya yang lama kelamaan bisa merubah bakso itu menjadi bubur.

"Banyak."

"Nggak abis-abis masalah lo, ada aja." Celetuk Ray yang berhasil mendapatkan lirikan tajam dari Ciel.

"Nilai gue lagi jelek—"

"Gue udah tau kalo itu." Potong Sophi.

"Dengerin dulu! Mami tau kalo nilai gue jelek, terus uang saku gue deh yang jadi korban." Ciel menunduk lesu.

"Lo nggak dikasih uang saku?" Tanya Ray.

"Dikasih sih, tapi cuma setengahnya."

"Lo nggak pernah mau pas gue ajak belajar bareng."

"Bukan nggak mau, Jen. Cuma... gue lagi nggak mood aja waktu lo ngajak."

Jendral menghela nafasnya, sudah hafal dengan kelakuan Ciel.

"Uang jajan lo dipotong setengah juga masih kebanyakan, Cel. Tapi ini emang saat yang pas buat lo tobat deh kayanya, kurang-kurangi menghabiskan harta kedua orang tua, cobalah sedikit banggakan mereka dengan prestasi-prestasimu, i know you can do it, girl." Sophi menepuk-nepun pundak Ciel dan langsung di tepis oleh pemiliknya.

"Ngaca!"

Sophi benar-benar mengambil kaca kecil yang selalu dia simpan di sakunya, lalu mematut wajahnya, "I see an angel."

"Gila." Gumam Ray.

Ciel sudah tidak mempedulikan Sophi, hanya akan membuang energinya jika dia terus saja meladeni cewek itu.

"Makan dulu bakso lo, ini gue yang traktir." Jendral mengembalikan mangkok bakso Ciel ke tempatnya semula.

"Gue masih mampu kok kalo cuma buat beli bakso doang."

"Gapapa, hari ini gue mau traktir, hemat-hemat uang lo. Nanti kalo butuh bilang aja, kalo gue ada pasti gue kasih kok."

Ciel terdiam karena ucapan Jendral, lalu memegang kedua pundak Jendral. "Jen, jadi pacar gue yuk."

Mendengar itu, Jendral terbatuk-batuk. "Cel—"

"Kalo lo nggak mau, seenggaknya angkat gue jadi adek lo, please, gue bener-bener harus hidup sama lo sampek tua nanti, jangan pernah tinggalin gue ya, Jen. Kalo nggak, kita nanti besanan aja deh, gue rela."

"Halah! Kayak anaknya Jendral mau aja punya mertua modelan lo." Sophi menyambar.

"Diem lo, ini masalah keluarga, orang luar nggak berhak ikut campur."

"Keluarga tai kucing." Gerutu Sophi.

Mereka berempat serempak menoleh ke arah pojok kantin saat didengarnya ada ribut-ribut yang cukup membuat seluruh penjuru kantin tertarik untuk melihat.

"Ngapain tuh?" Tanya Ciel.

Sophi mengangkat kedua bahunya, "Kok gue tadi kayak denger suaranya Sasha ya?"

Ray menghela nafas, "Siapa lagi? Lo berdua kan ada disini."

"Eh! Eh! Maksud?" Sophi menatap tajam Ray.

"Di sekolah ini, yang suka bikin ribut kalo nggak Sasha sama gengnya, ya pasti lo berdua. Nggak ada lagi."

Dibilang seperti itu, Sophi dan Ciel hendak protes, tapi seketika mereka sadar kalau yang dibilang Ray tidak sepenuhnya salah, tapi tetap saja, mereka merasa kesal dituduh seperti itu.

This Love Is Worth The Fight Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang