Gelap.
Haus.
Pegal.
Di atas merupakan tiga kata pertama yang dipahami William begitu dirinya sadar, setengah sadar. Ia mendapati dirinya di kamar Harry dengan keadaan terikat dan telanjang.
Cih, Davonte memang tidak berbeda dengan Calhoun. Pria itu akan memaksanya melayani nafsunya. Tubuhnya hanya akan dipakai seperti barang.
Menilai keadaan sekitar yang tidak ada siapa pun, William mencoba melepaskan rantai di kedua kakinya yang menyambung ke tiang tempat tidur. Rantai itu tidak pendek, Ia masih bisa bergerak bebas bahkan sampai membuka pintu kamar yang rupanya tidak terkunci.
Lorong depan kamar Harry kosong. Tidak ada siapa pun. Beberapa penerangan diletakkan di dinding. Melihat dari letak bulan, sepertinya ini belum sampai tengah malam, namun dimana semua orang?
William tidak dapat melangkah lebih jauh. Rantai sialan itu hanya bisa membawanya paling jauh tiga langkah keluar, jadi Ia kembali dan duduk di lantai sebelah kaki ranjang. Tangannya sibuk berusaha melepas besi yang siapa pun tahu kualitasnya bernilai puluhan golden.
Sial.
Mengapa hidupnya selalu berakhir jauh dari rencana? Ia hanya ingin hidup yang biasa saja. Menjadi petani yang menanam labu dan lobak atau menjadi potter yang membuat tembikar setiap hari seperti mimpinya dulu harusnya bukan hal yang sulit bukan?
Tapi memang mustahil untukmu.
Hutang tiga ratus lima puluh golden yang dipinjam orang tuanya untuk berjudi dan berpesta membuat semuanya tidak pernah mungkin. Ia masih ingat dirinya yang berusia sepuluh tahun dibangunkan dan didandani hanya untuk diantar ke rumah Si Iblis Calhoun.
Ia tidak suka ketika tangan-tangan itu menyentuhnya, menjamahnya paksa. Mereka semua tertawa ketika ia menangis, memohon berhenti. Ia benci dengan respons tubuhnya yang mengkhianatinya. Ia ingin membuang tubuhnya.
"Kalau kau pergi, aku ikut."
Kalimat yang menghentikan William dari keinginannya untuk melemparkan diri ke derasnya arus sungai bekas badai semalam. Vasant berdiri di sebelahnya tanpa gentar. Tubuh ringkihnya yang hanya berbalut baju bekas pelayan kusam menapak yakin.
William terduduk. Rasa malu melingkupi dirinya. Ia masih lebih beruntung, kenapa harus mengeluh? Impian kembali menghampirinya, Ia dan Vasant akan pergi jauh dari semua ini dan hidup bahagia.
Semua menjadi semakin mustahil.
Vasant entah di mana sedang dirinya kembali terjebak di kehidupan pelacurnya. Ia tidak ingin hidup seperti ini lagi. Ia harus mencari Vasant dan membuat kehidupan mereka membaik. Untuk pertama, Ia harus bisa melepaskan rantai sialan ini yang semakin Ia coba lepas semakin memberi luka.
"Wow, kau sadar lebih cepat dari dugaan."
Lagi-lagi Harry muncul ditemani Harold. William yang terduduk frustrasi sampai tanpa sadar menangis bergerak meraih kerah Harry.
"Lepaskan aku bajingan!"
"Telingaku masih berfungsi dengan baik, tidak perlu berteriak sayang."
"Lepaskan aku!" William semakin meradang. Ia kalap hendak meninju pria di hadapannya namun sayang dihadang dengan mudah.
"Jangan habiskan tenagamu untuk sesuatu yang tidak penting. Bagaimana kalau kau gunakan untuk melayaniku?" goda Harry sambil mencoba menciumnya. William refleks mundur, sayang tersandung dan jatuh tengkurap di kasur.
"Oh, jadi kau ingin langsung dimasuki? Boleh saja, aku sudah lama ingin menanam penisku dalam lubang kecilmu."
Pinggang William ditarik ke atas dan dipukul. Suara benturan telapak tangan dan pantat terdengar. Beberapa kecupan, Harry bubuhkan di punggung lembut itu.