Sekali lagi, sore itu William pulang dengan tanah di sekujur tubuhnya. James bergegas menyiapkan air hangat.
"Apa yang baru saja kau lakukan?" tanya Harry. Keningnya berkerut melihat William yang biasa tampak bersih kini berpenampilan seperti budak.
"Aku belajar membuat tembikar dari para pengrajin di pasar. Mereka sangat keren! Aku harap aku bisa membuatnya lebih sering lagi," jawab William bersemangat.
"... Kau pergi ke pasar?"
Mendengar nada ketidaksukaan Harry, William buru-buru menambahkan, "Whoa, sebelum kau marah lebih jauh. Aku membuatkanmu ini!"
Sebuah kalung dengan tali hitam murahan dilambaikan di depan wajah Harry. dahinya semakin berkerut.
"Tidakkah kau lihat? Aku membuatnya sendiri untuk pertama kali. Ini cukup sulit kalau kau tahu. Bahkan para pengrajin terkesima. Kau harus tersanjung," celoteh William merujuk pada taklik yang dimasukkan pada tali.
Taklik atau bandul itu berwarna perak seolah dicat tangan profesional. Cukup rata dan rapi. Bentuknya persegi panjang dengan tulisan kecil yang berantakan, s-u-n, berarti matahari.
"Kalau kau tiup, ini akan bersuara seperti peluit. Keren kan? Sesekali kau bisa menyamar menjadi polisi kalau kau bosan," William terkikik, "Tapi karena terbuat dari tanah yang aku panaskan sendiri, ini akan lebih mudah pecah dibanding besi. Aku harap kau menjaganya dengan baik."
Lelaki itu berlalu setelah menggenggamkan kalung itu. Harry dapat mendengar William bersenandung riang dengan langkah kakinya yang riang seperti menari. Tanpa dapat ditahan, seulas senyum terukir.
"Buatkan tempat untuk bocah itu bermain tanah."
"Baik, Tuan."
Lima tahun berlalu, Harry masih mengenakan matahari itu dibalik setelannya.