Bab 5

335 17 2
                                    


“Semenjak Mas ketemu sama dia di restoran jepang langganan kita tiga bulan yang lalu, itu pertama kali kami makan bersama.”

Aku terbelalak, bukankah itu hari di mana aku tak datang makan malam romantis dengan Mas Ezran karena Laras tiba-tiba demam tinggi? Tega-teganya suamiku malah memilih makan dengan Sinta saat putrinya dibawa ke Rumah Sakit.  Waktu itu ponsel Mas Ezran katanya mati makanya tidak bisa kuhubungi saat ingin membatalkan janji dan memintanya untuk menyusulku menemani Laras.

Tiba-tiba saja terbayang bagaimana Mas Ezran dan Sinta makan dengan bahagia, sedangkan saat itu aku sedang panik menemani Laras. Bahkan, diri ini sampai putus asa untuk menghubungi Mas Ezran.

“Tega kamu, Mas ... apa salahku sama kamu? Di mana letak kekuranganku? Tak cukupkah mencintai satu wanita yang setiap waktu selalu ada menemanimu di rumah? Menjadi tempat pulang saat kamu lelah? Bahkan, tetap menemaimu di kondisimu yang hampir terpuruk beberapa tahun yang lalu? Itu aku, Mas. Aku ...,” gumamku dengan suara lirih.

“Bahkan, demi membahagiakanmu, aku tak segan-segan tampil cantik agar Mas Ezran senang. Adakah pelayanan yang kurang dariku, Mas?”

Mendengar ucapanku, Mas Ezran menatapku sendu. Ada kilat penyesalan di manik matanya. Kuharap iya. Diri ini ingin suamiku sadar dan mengurungkan niatnya untuk menikah kembali dengan Sinta.

“Kamu sama sekali tidak punya kekurangan apa pun. Ini semua salahku. Diam-diam aku tertarik kepada Sinta. Apalagi, setiap saat kamu terus saja memujinya di depanku. Rasa kagum itu mulai tumbuh setiap harinya. Sinta wanita yang mandiri, hangat, cantik dan perhatian. Mas juga kasihan dengan nasibnya yang harus menderita karena mantan suaminya. Sinta butuh sosok yang bisa melindunginya, Ras,” gumam Mas Ezra sambil menunduk.

Suamiku itu terlihat enggan hanya untuk sekedar menatapku kini. Aku tahu, dirinya mulai gugup. Akan tetapi, aku tak menyangka Mas Ezran bisa gamblang bercerita kalau dia mengagumi Sinta sudah lama? Apalagi mendengar alasannya. Aku merasa bodoh, tak menyangka karena hal tersebut bisa membuat hati Mas Ezran mendua.

“Ya Allah, Mas. Kamu mengagumi wanita selain aku? Kenapa harus Sinta Mas? Kenapa? Dia sahabatku. Bahkan, hubungan kami sudah seperti saudara kandung,” rintihku dengan bahu yang mulai naik turun. Dada ini sesak membayangkan hati Mas Ezra yang telah terbagi. Kasihnya bukan sepenuhnya milikku kini. Ada nama wanita lain yang tersemat di bilik lain hati suamiku.

“Maafkan aku, Ras ...,” cicit laki-laki bergelar suami di sampingku ini. Dia sama sekali tak berani memandang wajah ini. Mas Ezran hanya menganjur napas beberapa kali.

“Sekarang aku minta Mas Ezran memilih salah satu dari kita. Aku tidak mau dimadu dan takkan sanggup melakukan itu. Aku minta Mas untuk memutuskan sekarang juga. Jika, Mas Ezra pikir aku akan menerimanya begitu saja. Itu salah. Seorang Rasti lebih baik mundur dari pada harus berbagi suami dengan wanita lain. Apalagi, itu Sinta.”

Kutekan Mas Ezran agar sesegera mungkin mengambil keputusan. Suamiku ini mengangkat wajahnya menatapku. Matanya melotot seakan tak percaya dengan apa yang barusan kukatakan. Ia menggelengkan kepalanya beberapa kali.

“Mas takkan mau menceraikanmu, Sayang. Mas sangat mencintaimu. Tak bisakah kamu menerima Sinta menjadi madumu? Mas janji akan jadi suami yang adil,” ujarnya penuh keyakinan. Namun, aku hanya bisa tersenyum getir.

“Adil? Mas bilang akan adil? Yakin bisa? Bagaimana versi adil menurut Mas?”

“Mas akan memberikan nafkah untuk kalian yang rata, bahkan untuk Laras akan berikan anggaran yang berbeda. Kita bisa membagi waktu untuk bersama dan menginap,” jelasnya.

“Apa cuma itu yang Mas Ezran pahami tentang adil dalam berpoligami? Bagaimana hatimu, Mas? Apa kamu akan menjamin akan adil kepada kami?”

“Bahkan, dengan menutupi hubungan kalian selama ini, aku sangsi bisa percaya pada janjimu, Mas. Pokoknya aku minta sekarang Mas Ezran memilihku atau Sinta wanita murahan yang layak disebut sampah. Wanita tak tahu malu yang sudah berani menggoda suami orang!”

Kulihat wajah Mas Ezran membesi ketika mendengarkan hinaanku untuk gundiknya. Ada kilatan kecewa dan kemarahan di mata suamiku. Bukankah harusnya aku yang marah padanya? Akulah yang jadi korban di sini bukan dia!

“Cukup, Ras! Jangan pernah mengucapkan kata-kata kasar seperti itu lagi untuk Sinta. Dia wanita yang baik! Sinta masih menganggapmu sahabat. Makanya sebelum pulang tadi, dia meminta Mas agar bicara baik-baik denganmu. Sinta takut kita bertengkar,” seru Mas Ezran dengan nada yang mulai meninggi.

“Bukankah itu yang diinginkan Sinta? Bukankah dia ingin kalau kita berpisah, Mas?” Aku tertawa sinis sambil memandang tajam suamiku.

“Mana mungkin seperti itu, Ras. Sinta menginginkan aku jujur kepadamu tentang hubungan kami. Ras. Kalau Mas mau, kami bisa menikah dengan diam-diam. Tapi itu tidak, kan? Kami masih menganggapmu. Kau harus tahu, bagi laki-laki tak ada salahnya menikah kembali meski tanpa restu dari istri!”

Mataku membeliak tak percaya. Inikah kata hati suamiku sebenarnya? Bahkan, dia tak merasa bersalah sedikit pun atas rasa sakit yang dia goreskan.

“Bagus, Mas. Sebelum menikah lagi pun kamu memilih membela Sinta dari pada mengerti perasaanku. Lantas, apa aku harus percaya dengan janjimu untuk bisa adil? Jangan pernah bermimpi akan mendapatkan restu dariku, Mas.

“Ah, iya. Mas Ezran bilang kalau pria tidak butuh restu dari istri untuk menikah lagi? Lakukanlah! Jika, itu terjadi. Detik itu juga Mas akan kehilangan aku sebagai istrimu!” murkaku membuat suamiku memandang bengis. Matanya melotot sarat akan keterkejutan, dengan tangan yang mulai mengepal seolah menahan amarah.

Priaku itu langsung mengacak rambutnya kasar dan berteriak seperti putus asa. Berkali-kali meninju dinding sampai tangannya memerah dan cairan berwarna merah menempel di tembok. Tanpa memandangku lagi, Mas Ezran pergi keluar kamar dan kudengar ia masuk ke dalam ruang kerjanya yang ada di samping kamar kami. Menutup pintu dengan keras. Bahkan, terdengar jelas dari kamar ini.

Untunglah, kamar Laras ada di lantai bawah, pun rumah ini begitu luas sehingga mungkin keributan di antara Mas Ezran dan aku takkan terlalu terdengar oleh Laras. Membuatku bisa bernapas dengan tenang dan tak terlalu khawatir.

Mengingat putriku, bahuku kembali merosot. Pecah sudah kesedihan yang dari tadi siang kutahan. Air mata mulai melesak membanjiri pipi. Ya Allah, berdosakah aku bila memilih berpisah dengan Mas Ezran kalau suamiku tak ingin melepaskan Sinta? Bagaimana nasib putriku jika itu terjadi?







Lebih Baik TanpamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang