Bab 10

527 16 1
                                    

Bab 10.

POV Ezran

“Biar kuantar ke dokter supaya bisa diobati,” ajakku berniat memberikan bantuan.

“Maaf, bisa antar aku ke Rumah Sakit saja? Aku ingin di visum,” ujar Sinta dan aku mengangguk menyanggupinya.

Setelah kejadian itu, kuantar Sinta untuk menjalani pengobatan serta melakukan visum untuk luka-luka yang telah dia terima. Hatiku berdenyut nyeri melihat keadaannya yang memprihatinkan. Sebagai seorang pria, rasa ingin melindungi Sinta berkembang begitu saja. Apalagi, ketika mengantarkan dia pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan, dirinya lebih banyak diam. Hanya air mata yang terus berurai tanda hatinya kini sedang tak baik-baik saja.

Kuhentikan mobil di bahu jalan yang terlihat cukup lengang sambil mengambil sapu tangan yang ada di saku celana milikku. Lalu, kuberikan benda tersebut ke arahnya, membuat Sinta yang sejak tadi hanya memandang jalanan dari kaca mobil di sampingnya menoleh.

“Ambillah. Susut air matamu. Jangan siksa diri hanya demi laki-laki sepertinya. Maafkan aku, kalau terlalu ikut campur dengan rumah tangga kalian. Hanya saja, aku hanya ingin mengatakan kalau kamu itu berharga. Bukan hanya karena dia, lantas kamu menyia-nyiakan hidupmu sendiri, bukan? Kamu tak pantas hancur begini. Bangkitlah! Bukankah Sinta yang kudengar dari Rasti itu hebat? Bahkan, dia sering menyanjungmu di depanku. Dan aku percaya kamu memang mengagumkan dan wanita yang luar biasa,” nasihatku. Mendengar ucapanku matanya yang telah disusut sapu tangan kembali berkaca-kaca, membuat diri ini seketika tak enak hati.

Apa aku salah bicara?

“Maaf kalau aku salah bicara. Aku tak bermaksud membuatmu tersinggung,” sesalku.

Namun, Sinta menggeleng dan memaksakan tersenyum meski masih terlihat kaku.

“Tidak, Mas. Aku sama sekali tidak tersinggung. Hanya saja, jujur aku sangat terharu mendengar ucapan Mas Ezran. Selama hidupku, baru kali ini ada orang asing memperhatikanku. Biasanya, aku hanya bisa memendam masalah sendiri. Bahkan, orang tuaku pun dulu tak pernah seperhatian ini. Makasih banyak, Mas.”

“Lain kali, jangan menganggapku orang asing lagi. Jujur, aku tak suka mendengarnya. Sahabat Rasti, adalah temanku juga. Jadi, jangan sungkan untuk berbagi beban kepada kami,” terangku membuat Sinta melengkungkan senyum manisnya.

Aku terpaku, menikmati keindahan yang terpancar dari senyum indah dari Sinta, laksana pelangi yang terbit selepas hujan. Sangat indah!

Kenapa aku merasa Sinta semakin hari semakin cantik di mataku. Cerminan istri sempurna yang pernah kutemui.

Kuantarkan dia ke rumahnya. Kali ini, kuantar Sinta sampai ke pintu masuk. Dia memang mempersilahkanku mampir. Hanya saja, aku tak bisa berlama-lama karena akan ada temu janji dengan salah satu investor. Akan tetapi, melihat raut wajah dari Sinta yang terlihat seperti meredup membuat hati ini bertanya-tanya. Apa dia kecewa karena aku tak mampir ke rumahnya?

Ah! Sudahlah. Mungkin itu hanya perasaanku saja.

**

Hari ini, aku dikejutkan dengan kedatangan seseorang yang kukenal, katanya ia ingin menginvestasikan uangnya untuk modal membuka cabang terbaru supermarket di luar kota. Aku memang memiliki usaha di bidang ritel. Sudah terdapat beberapa pusat perbelanjaan dan minimarket yang dikelola di bawah kepemimpinan manajemen perusahaan yang dibangun olehku.

“Sinta, sedang apa kamu di sini?” tanyaku masih belum tahu maksudnya datang menghampiriku bersama sekretarisku.

“Nyonya ini orang yang sedang anda tunggu, Pak. Seseorang yang akan berinvestasi di perusahaan kita,” ujar Pak Hendri salah satu direktur di perusahaan, pun sebagai bawahan.

Lebih Baik TanpamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang