Yang mau baca lengkap bisa di Karyakarsa ya, link ada di bio.
Selamat Membaca
Setelah berjalan-jalan mengitari kebun binatang, Wira mengajak kedua orangtua Liana untuk makan bersama di salah satu restoran ternama. Awalnya Liana menolak, ia tidak mau kedua orangtuanya membuatnya berhutang budi kepada Wira.
"Nggak usah Ma, makan di rumah saja." Liana bisa memasak, tetapi Lira berbeda pandangan dengan Liana. "Nggak papa sekali-sekali."
Dan berakhirlah mereka disini, di sebuah bilik restoran yang sudah direservasi oleh Wira.
"Kapan kamu mau ngajak nikah Liana, Wira?" Tanya Papa Liana lugas, Liana yang mendengar hal itu sontak menatap wajah Papanya dengan raut wajah penuh kecewa. "Jangan bicara kaya gitu Pa, Ana belum mau nikah."
Netra tua itu menatap Liana dengan sorot mata yang redub. "Kamu sudah dewasa Na, kamu cari apa lagi? Papa juga akan semakin tua."
"Tua bukan batasan Pa." Liana masih berpegang teguh akan prinsipnya untuk tidak menikah.
Hembusan napas panjang keluar dari bibir Papa, ia tidak tahu bahwa putrinya ini keras kepala. "Wira pria baik, kamu cari yang bagaimana?"
Baik bagaiamana jika disaat menjalin hubungan bisa menikah dengan orang lain?
Liana mencoba untuk tetap tenang, ia tidak akan terjebak dalam keinginan keluarganya itu.
"Papa Mama, Liana sudah memilih bahwa Liana tidak akan menikah. Dan mungkin Liana akan mengadopsi anak."
Semua orang yang mendengar ucapan Liana terdiam mematung, bahkan Wira yang mendengar hal itu hanya bisa terdiam. Ia tidak bisa mengubah prinsip orang lain.
"Liana... "
"Maaf Pa, tapi ini sudah pilihan Liana. " Menikah bagi Liana adalah sebuah momok yang menakutkan, ia hanya menjaga sisa hatinya dari peluang kekecewaan. Cukup dulu ia kecewa, "Tapi kamu akan kesepian besok kalau sudah tua. Percaya sama Mama."
Semua orang memang akan melalui fase itu, dan Liana juga sudah berencana. "Ma, Liana sudah memikirkan hal itu. Jadi Mama nggak usah khawatir."
"Ya Tuhan... "
Setelah pembicaraan itu, mereka terdiam dan tetap melanjutkan acara makan-makannya. Bahkan sampai di rumahpun Liana dan kedua orangtuanya tetap mengunci mulutnya.
***
"Gue nggak salahkan kalau gue nggak mau nikah?" Ujar Liana kepada Tasya dan Edo. Mereka sekarang tengah duduk di lantai menikmati waktu bersama, Edo hanya mengangguk, sedangkan Tasya memilih untuk menyesap minumannya.
"Nggak ada yang salah, itu semua pilihan lo. Yang akan jalani hidup juga lo, dan yang pasti lo juga sudah memikirkan dampaknya juga." Ujar Tasya, ia tidak mau menjadi orang yang cenderung kolot dengan pilihan orang lain. Ia akan menerima semua pilihan itu, tidak memaksa atau bahkan menganjurkan.
"Kalau lo Do?"
"Gue?" Tunjuknya ke dadanya, Edo mencoba berpendapat. "Em... Gimana ya, kalau gue personality gue tipe orang yang nggak mau terikat. Karena gue yakin kalau keterikatan itulah yang bisa memicu banyak hal. Tapi penilaian gue ini bersifat sementara, karena gue juga nggak tahu ini akan berlaku dua atau tiga tahun kedepan."
"Jadi lo pingin menikah?"
"Maybe, karena gue yakin pasti gue butuh pasangan hidup. Tapi untuk sekarang kayaknya enggak." Tangan Edo mengambil snack yang terletak di hadapannya.
Sedangkan Liana terdiam mencerna penilaian kedua sahabatnya itu.
"Nggak usah bingung Na, lo ada kita yang akan ada buat lo." Sedikit banyak Liana sudah bercerita akan keinginan kedua orangtuanya yang menginginkan pernikahan.
"Ya."
Memilih untuk menikah atau tidak itu ada di tangan masing-masing, karena hakikatnya menikah itu sebuah tanggung jawab. Bukan hanya masalah cinta saja.
Liana menjalani hidupnya seperti biasa, ia berangkat ke kampus dan sorenya akan pulang ke kos. Tidak ada yang berubah, yang berubah hanya sosok yang mengantarkannya kembali ojol. Sejak pertemuan itu Wira memilih untuk menjauhi Liana, bukan tanpa sebab.
"Dua nama mahasiswa yang akan PKL di bank BUMN sudah siap?"
"Sudah Bu."
"Baiklah, besok Bu Liana antar mereka ke kantor. Karena Ibu sebagai penanggung jawabnya."
Liana menuruti perintah atasanya, ia tidak bisa menolak atau pura-pura tidak hadir karena ia harus profesional. Dan disinilah Liana sekarang, duduk di sebuah ruangan yang nampak seperti ruangan meeting.
"Bu nanti kalau saya butuh bantuan, Ibu bisa bantu, kan?" Ujar Elsa salah satu mahasiswa yang terpilih, Liana menoleh dan mengangguk. "Tapi lebih baik kamu tanya dulu ke pembimbing disini, karena merekalah yang menjadi mentor kamu."
"Baik Bu."
Suasana kembali sunyi, Liana tengah menunggu perwakilan bank BUMN untuk serah terima mahasiswa yang akan melakukan PKL selama tiga bulan.
Tidak berapa lama hadir perwakilan, dan diantara perwakilan itu ada Wira. Wira sebagai kepala cabang menjelaskan aturan-aturan yang harus ditaati oleh mahasiswa bahkan Wira juga menjelaskan hukuman apa jika melanggar.
"Jadi kami mohon kerjasamanya. Kita sebagai bagian dari lapangan pekerjaan dan kalian sebagai institusi kependidikan." Ucap Wira dengan tatapan tegas. Liana yang melihat itu hanya bisa mengangguk, sosok yang ada dihadapannya ini sangat berbeda dengan sosok yang mengejarnya belakangan ini.
"Baiklah saya undur diri sekarang, mengenai Pertanyaan-pertanyaan kalian bisa tanyakan ke Budi atau Wilona." Dua orang yang ikut masuk ke ruangan meeting ini. Selesai mengatakan hal itu Wira pergi, sedangkan Liana sebagai dosen beramah-tamah dan bertanya banyak hal agar mahasiswanya tahu aturan disini.
"Jadi saya mohon bimbingannya, Bu, Pak untuk mahasiswa saya." Pungkas Liana lugas.
Budi yang mendengarkan mengangguk, "Iya Bu, kami juga akan membimbing mahasiswa anda. Dan semoga kerjasama ini akan tetap berjalan lancar."
Selesai mengatakan hal itu, Liana memilih untuk undur diri karena tugasnya sudah selesai. Ia berjalan keluar dan akan kembali ke kampus.
Saat tubuhnya sampai di pintu keluar, netra Liana menangkap tubuh Wira. Tapi Liana mencoba mengacuhkannya. Ia berjalan kembali untuk mendekati ojol yang sudah ia pesan lima menit yang lalu.
"Huft, selesai juga." Menyandarkan tubuhnya Liana mencoba merileksasikan. Sekarang ia memesan ojol mobil, entahlah ia ingin sedikit memanjakan tubuhnya saja.
"Pak ke kampus ya."
"Baik Bu."
Di sisi lain Lira dikagetkan dengan suara terjatuh, suara yang berasal dari kamar tidurnya. Lira langsung berjalan masuk dan menemukan suaminya sudah jatuh pingsan. Otaknya yang kalut mencoba menghubungi salah satu perawat yang sudah menjadi langganannya namun nihil tidak ada jawaban.
Terlintas satu nama yang mungkin saja bisa membantunya.
"Hallo, nak. Kamu bisa kemari? Papa, nak, Papa jatuh pingsan." Ucap Lira dengan suara yang terbata-bata akibat takut dan khawatir. Wira yang mendengar suara Lira sontak keluar dari kantor dan mengemudikan mobilnya ke rumah Liana.
Wira tetap mencoba tenang, meskipun ia juga dirundung rasa khawatir yang berlebihan. Bahkan ia mengemudikan mobil layaknya pembalap, syukurnya ia selamat sampai tujuan.
Tubuh Wira berlari masuk ke rumah, dan mendapati tubuh Papa tergolek tak berdaya. "Ayo Ma, Wira bantu." Dibantu dengan salah satu tetangga, akhirnya tubuh Papa bisa terbaring di jok belakang disusul Lira.
"Kita ke rumah sakit sekarang."
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
How Are You? ✔ (KARYAKARSA Dan KBM)
JugendliteraturTerkadang kita harus merasakan luka sebelum merasakan bahagia. Tapi apa dengan kembali ke mantan kita akan mendapatkan bahagia?