Ini kali keempat Nara kembali hidup.
Ia masih punya delapan nyawa lagi yang tersisa, sama halnya seperti kucing.
Apakah Nara seekor kucing? Bukan. Ia manusia, tapi ia mempunyai satu keyakinan kalau kehidupan yang ia miliki bisajadi sangat panjang. Satu nyawa tidak akan cukup untuk menghidupi jiwa Nara yang berumur tua.
Punggungnya yang semula merasakan permukaan konkrit, keras, dan dingin, kini empuk dan cukup hangat. Namun, ia tetap merasakan aliran udara sejuk pada seluruh permukaan kulitnya. Berbagai aroma pahit juga mulai tercium sensor-sensor dalam hidungnya. Ia sepertinya tidak tertidur di atas rerumputan, karena terik matahari tidak menyakiti kedua mata yang tertutup. Justru, kegelapan sangatlah total sama seperti ketika ia hendak ingin tidur. Kemudian, serangkaian suara-suara parau perlahan mengisi penuh isi kepala.
Yang benar saja.
Selama ini ia hanya ingin menghentikan banyak macam riuh distraksi yang memenuhi tiap inci ruang kepala. Semakin lama ia ada, semakin tidak merasa cukup ia untuk tetap terus melanjuti hidup.
Sekarang, ia harus memenuhi eksistensinya lagi?
27 hari sebelum Nara mati suri...
"Adek gue lagi keluar." Ucap singkat Ananta, dengan acuh tidak acuh seraya berfokus pada lembaran buku yang ada pada kedua tangannya.Ia tengah duduk di sofa ruang tengah ketika Nara masuk ke dalam rumah Anggara. Bukannya makhluk tinggi berkulit sawo matang pucat dengan kedua doe eyes hitam yang ia temui, malah si kakak yang sebelas dua belas menyebalkan dan dingin seperti Prof. Tanoe dari kelas English Grammar—yang harus ia hadapi mau tidak mau.
"Oh." Jujur saja, Nara tidak tahu harus merespon seperti apa. Ia tidak begitu dekat dengan Ananta, walaupun lama jangka waktu mereka mengenal satu sama lain itu tidak berbeda dengan ia mengenal Anggara.
Ia pun hanya berdiri kikuk tidak jauh dari pintu rumah dan posisi salah satu lukisan abstrak karya pelukis terkemuka Mark Rothko yang menempel kokoh juga simetris pada dinding.
Setiap kali Nara melihat lukisan ini, selain emosi yang tiba-tiba menguap di udara, ia juga memikirkan betapa harga dari karya ini bisa membeli sebuah pulau kecil tak berpenghuni di antah berantah. Ananta memang tertarik dengan seni dari Nara mengenal manusia itu sejak masih berumur 2 tahun. Tipe kakak yang cuek dan lebih banyak menghabiskan waktu sendiri daripada bergabung bermain dengannya ataupun Anggara. Meskipun memori kepala Nara seringkali mengabur, ia tetap bisa mengingat cukup banyak hal tentang masa lalu. Seperti ada setengah bagian jiwanya yang tertinggal di sana.
Tanpa berbicara apapun, ia melangkahkan kaki pelan-pelan menaiki tangga menuju lantai dua dimana kamar tidur Anggara terletak. Ia lebih baik menunggu sendiri dibandingkan terbungkus suasana canggung di satu ruangan bersama Ananta.
Belum sampai kakinya selesai menaiki tangga, lengan tangan kanannya sudah dihentikan dulu oleh genggaman tangan Ananta yang anehnya terasa hangat. Kontak fisik dengan Ananta menempati urutan pertama dalam list suatu keajaiban dalam hidup milik Nara. Hanya sedikit momentum yang dapat dihitung dari berapa banyak mereka bersentuhan. Bahkan tidak sampai jumlah perkalian lima kali lima.
Ia mengalihkan perhatiannya ke belakang dan langsung bertemu dengan sepasang bola mata berwarna almond paling terang yang pernah Nara temui.
Buru-buru ia melepaskan tangannya dari genggaman Ananta. Ia tidak marah, hanya tidak terbiasa saja.
"Adek gue pacaran?" Ucapnya langsung dengan raut wajah serius. Ini bukan pertanyaan yang Nara harapkan muncul.
Sejak kapan pula Anggara mulai pacaran? Kenapa ia tidak tahu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Closer In Pain
RomanceSeperti kucing, Nara percaya kalau ia memiliki delapan nyawa. Empat sudah ia habiskan dan hanya tersisa setengahnya. Anggara seperti sudah lelah melihat Nara berkali-kali mati dan hidup kembali. Bagaimana melepas? Ia tidak tahu caranya. Atau mungki...