Selama kurang lebih 6 menit kedua tangan Nara bergetar hebat. Ia tidak bisa mendengar apa-apa selain merasakan Anggara memposisikan tubuhnya untuk duduk di ujung sisi! king size bed kamar tidur lelaki itu.
Telapak tangan Anggara terasa dingin ketika menyentuh kulit wajah Nara, ia membelai halus dan berbicara menggunakan banyak kata hingga kalimat yang sayangnya tidak dapat Nara dengar.
Anggara mengganti posisi yang semula duduk di samping, menjadi berlutut sejajar dengan kaki Nara. Ia kembali menangkup wajah gadis itu dan mencoba mencari-cari sinar dari kedua mata black honey-nya.
"Nara."
Pada detik itu, tremor Nara berhenti. Ia merasa sangat lelah. Ketika matanya menemukan raut wajah khawatir yang jelas ditampilkan Anggara, ia semakin merasa bersalah. Bukan hanya terhadap diri sendiri, tapi orang-orang yang terlibat dengan dirinya.
"Kenapa nggak ngabarin aku dulu sebelum ke sini?" Tanya Anggara, bersuara sangat pelan hampir tidak terdengar jika jarak mereka tidak lebih dari 10 centimeters seperti saat ini.
"I thought you're already home." Jawabnya. Ia tidak melihat Anggara seharian di kampus dan menduga kalau lelaki itu mungkin pulang cepat karena suatu hal. Kalaupun ia tidak bertemu Anggara, ia sudah merencanakan akan menunggunya.
Mereka memiliki jadwal kuliah yang hampir sama meskipun fokus jurusan tidak sama, hanya berbeda di hari Senin dan Kamis saja. Sisanya setiap selesai mata kuliah akhir, Nara akan melihat mobil Mercedes-Benz GT63S muncul. Di beberapa waktu, memang Anggara menghabiskannya untuk bersama teman-teman ia yang lain. Sebetulnya pun, ia yang menyuruh Anggara untuk bergaul lebih sering. Ketergantungan akan satu sama lain tidak akan melulu menguntungkan, Anggara perlu orang-orang yang akan hidup lama untuk menemaninya.
Lelaki itu hanya terdiam sebentar sampai akhirnya ia melingkarkan kedua lengan tangannya untuk memeluk tubuh mungil Nara dan menghirup aroma shampoo yang menguar dari helaian rambutnya. Pelukan itu berlangsung tidak lebih dari sepuluh detik.
Anggara kemudian melepaskan tas ransel yang masih dipakai Nara. Ia menaruh tas itu di atas kursi meja belajarnya. Lalu, tangannya menjangkau kulkas berukuran sedang yang sengaja ia letakkan di kamar. Ia mengambil sekarton susu cair low fat dan menuangkannya ke dalam gelas pendek bersih yang biasa ia gunakan untuk minum scotch ataupun whiskey.
Ia memberikan gelas itu kepada Nara dan melihatnya meneguk habis isinya.
"Mau makan?" Tanya Anggara, lantas gadis itu mendongkakkan kepala. Tapi bukannya jawaban yang ia terima, Nara justru melemparkan pertanyaan.
"Kamu pacaran?" Tangan yang semula membelai lembut puncak kepala Nara tiba-tiba saja terhenti.
Anggara tidak pernah memiliki niat untuk berkomitmen jangka panjang dengan siapapun. Ia yang paling tahu bagaimana sebuah hubungan hanya akan menghasilkan ingatan dan luka. Kalaupun kata orang itu juga yang membuat seseorang dapat hidup dengan bahagia, Anggara lebih percaya kalau ukurannya tidak sebanyak pengorbanan yang harus diperjuangkan.
Namun, ia senang melampiaskan kefrustasian seksual kepada siapapun yang setuju tanpa ikatan. Hook-up culture adalah sebutan yang biasa orang gunakan. Berhubungan intim dengan wanita atau pria manapun yang kita sukai, tanpa perlu khawatir akan adanya komitmen ataupun pengorbanan.
Ia mengeluarkan sebungkus rokok yang ia simpan di kantong depan bagian kanan celana jeans hitam yang dipakainya. Sambil membuka pintu yang terhubung dengan balkon kamar, Anggara menyalakan ujung rokok dengan korek api. Ia bersandar pada pembatas teras balkon dan mulai menyesap manis dan sensasi mentol dari rokok Camel purple mint yang disukainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Closer In Pain
RomanceSeperti kucing, Nara percaya kalau ia memiliki delapan nyawa. Empat sudah ia habiskan dan hanya tersisa setengahnya. Anggara seperti sudah lelah melihat Nara berkali-kali mati dan hidup kembali. Bagaimana melepas? Ia tidak tahu caranya. Atau mungki...