"Kamu udah makan?" Tanya Anggara ketika mereka berdua berjalan masuk ke dalam rumah megahnya.
Nara tiba-tiba menjadi sangat aware dengan sekitar dan ia memanjangkan lengan cardigan hitam yang dipakainya. Entah mengapa ia takut bertemu dengan Ananta semenjak kejadian seminggu lalu.
Anggara yang daritadi memperhatikannya tanpa lama menggenggam telapak tangan kiri Nara dan menarik pelan sambil membawa ia ke bagian dapur rumah. Belum sampai masuk ke dalam, Nara mendengar sayup-sayup suara dua orang tengah mengobrol. Ia segera melepaskan tangannya dari Anggara dan membuat lelaki itu agak kebingungan.
"Aku nunggu di kamar aja." Ucap Nara singkat, dalam hitungan detik dua figur berbadan tinggi muncul di hadapannya juga Anggara diikuti aroma kuat cinnamon yang menguar di udara. Ananta dan sahabat dekatnya, Saga—membawa sepiring cinnamon roll masing-masing.
Nara sudah sangat lama tidak bertemu Saga. Dulu hampir setiap hari ia melihat mereka berdua menempel seperti layaknya prangko dan kertas. Namun, sudah sekitar empat tahun lamanya Nara tidak melihat dari jauh apalagi berhadapan langsung seperti ini dengan Saga. Laki-laki itu kini terlihat lebih kurus daripada terakhir kali ia melihatnya, kedua bawah mata Saga juga menampilkan semburat hitam yang tidak berbeda jauh dengan yang dimiliki Nara, dan kulitnya juga tampak pucat seperti orang yang tengah sakit atau semacamnya.
"Halo, Nara." Sapa Saga ramah, suaranya mengalun lembut. Ia tersenyum kepada Nara.
Gadis itu menyapanya kembali agak kikuk, "Halo, kak Saga." Ia bermain-main dengan jari-jemari tangan kirinya, merasa nervous.
"Wah udah lama nggak lihat lo, kak." Anggara ikut menyambung percakapan mereka berdua, ia menepuk agak keras sisi lengan kanan Saga. "Bosen ya temenan sama Ananta?" Guraunya dan reaksi Ananta langsung menatap adik satu-satunya itu dengan tatapan jengah, ia sudah terbiasa dengan tingkah jenaka Anggara.
"Biasa.. kuliah, Gar." Jawab Saga dengan senyuman tipis, perhatiannya kembali kepada Nara yang saat itu berfokus melihat lantai marmer cream area luar dapur. "Kangen juga sama Nara." Secara spontan, Saga langsung mendekap tubuh Nara dengan perlahan dan kepalanya ia turunkan pada pundak gadis itu.
Anggara dan Ananta yang melihat kejadian tersebut hanya melihat dengan heran, mereka bertanya-tanya: sejak kapan Saga bisa sedekat ini dengan Nara? Bagaimana bisa Saga dengan mudahnya memeluk Nara? Banyak sekali macam pertanyaan berdatangan memenuhi kepala keduanya.
Setelah Saga melepas pelukan spontan tersebut, ia langsung melihat ke arah kedua tangan Nara yang seluruhnya tertutup. Seolah-olah ia mengerti apa yang tersembunyi dibaliknya dan ia hanya membelai rambut kepala Nara dua kali, kemudian berjalan pergi dari hadapan gadis itu dan Anggara. Sementara Ananta ikut mengekor, ia memperhatikan punggung Saga seperti tengah melihat papan tulis dengan banyak macam soal tanpa siapapun berani menulis jawabannya.
•••
"Tapi kenapa harus aku sih yang sekelompok sama dia." Ucap Nara masih mengobrol via telepon dengan Raksha setelah ia melangkah masuk ke dalam kamar Anggara.
"I really have no idea, Ra. Apa mau gue bilang sama prof biar lo pindah kelompok?" Anggara mendengar suara Raksha dengan jelas, Nara sengaja menyalakan speaker ponselnya karena ia tengah mengambil laptop dari tas ransel miliknya untuk kemudian di taruh di tengah-tengah kasur tidur Anggara.
"Nggak, nggak perlu... Aku takut prof jadi kesel lagi. Nanti malah IP ku bermasalah." Nara memang tidak mau sekelompok dengan Caressa, tapi ia juga tidak enak membuat Raksha harus terlibat dalam urusan kecil seperti ini. Mau tidak mau ia harus mengorbankan waktu selama satu semester untuk bertemu dan berdiskusi—itupun kalau perempuan itu mau berbicara dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Closer In Pain
RomanceSeperti kucing, Nara percaya kalau ia memiliki delapan nyawa. Empat sudah ia habiskan dan hanya tersisa setengahnya. Anggara seperti sudah lelah melihat Nara berkali-kali mati dan hidup kembali. Bagaimana melepas? Ia tidak tahu caranya. Atau mungki...