"Mata lo kenapa bengkak, Ra?" Setibanya ia duduk di salah satu kursi kelas yang akan diikutinya, Lanny sudah mengajukan pertanyaan perihal kedua matanya yang agak merah dan membengkak.
"Alergi." Jawabnya, berbohong. Ia malas harus menjelaskan dengan panjang apa yang sebenarnya terjadi kemarin.
Lanny dan Raksha hanya menatapnya heran, mereka tidak percaya dengan jawaban itu. "Nggak Anggara, nggak Ananta, gue heran abang adek kenapa demen banget bikin nangis anak orang." Gerutu Raksha, ia menusukkan sedotan pada susu UHT full cream yang dibawanya dan menyodorkan itu ke arah Nara.
"Kebayang nggak kalau mereka berdua punya pacar? Bisa nangis mulu itu cewek." Sambung Lanny, seraya Nara menyuruput susu sedikit demi sedikit.
Nara tidak mau lebih lanjut berbicara, ia biarkan teman-temannya berspekulasi sendiri sekalipun ia sudah memberikan mereka jawaban. Lanny dengan pelan meraih tangan kanannya, ia membalikkan tangan tersebut dan melihat goresan-goresan berwarna kemerahan yang menjadi karya terbaru Nara. Ia menatapnya lama seakan-akan memberi nyawa pada beberapa bentuk karya yang memiliki panjang dan kedalaman berbeda itu.
"Jangan dilihat, nanti mereka hidup." Ucap Nara, tersenyum tipis. Berniat untuk bercanda. Lanny dan Raksha pun terpaksa untuk ikutan tersenyum, masih meninggalkan semburat kesedihan pada raut wajah mereka.
"Ra, lo nggak mau pikir-pikir lagi soal ide kita buat konsul ke psikiater?" Raksha lanjut berbicara.
Sudah sebulan lamanya Lanny dan Raksha memberanikan diri untuk menganjurkan Nara untuk pergi ke tenaga professional dalam mengatasi gangguan kesehatan pada jiwanya. Namun, Nara masih ragu kalau jalan itu akan membuatnya benar-benar sembuh. Ia takut kalau kegagalannya membuat Lanny dan Raksha semakin kecewa dengannya nanti. Belum lagi, keenganannya untuk membahas hal ini dengan Anggara. Meskipun ia tahu kalau lelaki itu pasti akan mendukung penuh jika keputusannya bulat untuk ingin sembuh. Tapi Nara yakin kalau ia sudah terlalu sakit dan membuat orang lain menyembuhkannya adalah bagian dari satu dari seribu keajaiban.
"Gimana hari ini kita pergi ke tempat yang kamu ajak aku kemarin?" Nara berusaha untuk mengalihkan pembicaraan, ia belum siap untuk menjawabnya.
"Boleh, kemarin nggak jadi juga gara-gara nggak ada lo." Ucap Raksha yang terlihat membiasakan diri dengan perubahan alur percakapan mereka.
"Anggara tau nggak?" Tanya Lanny, seketika Nara merasa tidak nyaman dengan pertanyaan itu. Ia hanyalah teman Anggara, ia bukan adik atau sesuatu yang perlu dijaga. Kenapa ia harus melapor dengan Anggara melulu?
"Nggak, aku juga nggak mau dia tahu." Adalah yang diucapkan Nara.
"Oke, nanti selesai kuliah kita langsung pergi." Ucap Raksha terdengar sumringah dibarengi dengan senyum lebar lesung pipitnya.
•••
Satu hari yang lalu...
Anggara membuka pintu kamar Ananta dengan cukup keras hingga membuat sang pemilik dan Saga terkejut ketika melihat sosoknya muncul. "Lo liat Nara nggak?" Tanyanya dengan nada khawatir, ia sudah lama menunggu Nara selama setengah jam di dalam kamar. Tapi gadis itu tidak kian kembali.
Ananta hanya mengangkat pundaknya sebagai gesture ia tidak tahu, meskipun pada kenyataannya ia tahu. Ia hanya berbohong saja.
"Kenapa emang, Gar?" Giliran Saga yang bertanya dengan penasaran. Ia yang tadinya tengah fokus pada layar iPad di tangannya, kini mengalihkan pandangan ke arah Anggara.
"Dia belum balik ke kamar udah setengah jam, gue cari-cari nggak ada juga." Jelasnya, Ananta melihat ekspresi adiknya yang kebingungan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Closer In Pain
RomanceSeperti kucing, Nara percaya kalau ia memiliki delapan nyawa. Empat sudah ia habiskan dan hanya tersisa setengahnya. Anggara seperti sudah lelah melihat Nara berkali-kali mati dan hidup kembali. Bagaimana melepas? Ia tidak tahu caranya. Atau mungki...