hati-hati hati

16 1 0
                                    

Nara tidak lagi takut. Ia tidak lagi sedih. Ia tidak lagi marah. Kejadian ini pasti terjadi, ia tahu itu.

Punggungnya menempel lekat pada badan empuk kasur, ia melihat ribuan bintang kecil pada langit-langit kamar tidurnya, tiba-tiba berimajinasi bagaimana kalau ia menjadi salah satu ciptaan yang hidup di langit saja? Kehadiran mereka hanya jelas ketika malam, namun siapapun pasti akan menyadari dan menemukan dengan jelas posisi mereka. Hidup hanya untuk ditunggu dan dikagumi.

Suatu hal yang tidak pernah Nara rasakan.

Mungkin ayah-nya sendiri lah yang membuat ia buta atau menyulapnya menjadi ia yang sekarang. Nara tak tahu pasti, tapi ayah memang banyak salah. Kepadanya. Kepada bunda. Kepada keluarga mereka.

Ia melihat lelaki itu masuk ke dalam mobil dengan langkah cepat seakan-akan berdiri di atas permukaan rumah yang pernah ia tinggali ini membakar kulit kedua kakinya. Ia tidak membalikkan kepala ke belakang. Tidak ada kalimat lain. Tidak ada tatapan lain. Ia tidak meninggalkan apa-apa selain 'gelar' sebagai ayah.

Tapi, entah mengapa ia merasakan dadanya ditimpa sesuatu yang berat. Yang ia tahu tidak akan bisa terasa ringan meskipun ia mencoba menahan rasa sakitnya.

Ia hendak mengambil alat lukisnya yang baru dan masih terbungkus di dalam kertas merah, sampai kemudian ringtone ponselnya berdering.

"Nara, gue sama Gani ada di Amorous. Kerjainnya di sini aja, bawa laptop lo sekalian."

Belum sempat Nara menjawab, Caressa mematikan sambungan teleponnya. Gadis itu hanya menghela napas pendek. Hari ini terlalu melelahkan bahkan untuk kesal terhadap seseorang. Ia memutuskan untuk pergi ke sana, meninggalkan lukisan yang tidak jadi ia gambar.

•••

Amorous Café and Bar

Ia menemukan plang berwarna keemasan itu setelah bertanya sekiranya delapan kali dengan beberapa orang. Ini semua hanya karena Caressa tidak membalas pesan whatsapp dimana ia bertanya titik lokasi Amorous. Meskipun ia sudah mencoba menggunakan Google Maps, tetap saja aplikasi itu tidak membantu banyak. Mengingat tempat yang dihadapannya sekarang ini juga terlihat tidak begitu besar sekalipun gedungnya terdiri dari 4 lantai dan berada di dalam gang sempit.

Ia tidak akan mengira kalau aroma dari tempat ini akan seperti lobby hotel pada umumnya. Semua furniture yang didominasi warna monokrom di dalamnya tertata sangat rapih dan pas. Nara semakin bingung tempat semacam apa ini? Tidak ada satupun customer yang ia lihat. Satu-satunya manusia yang ada di lantai dasar ini adalah cashier, laki-laki berperawakan tinggi dan berpakaian modis. Nara bahkan bisa mengenali brand dari sepatu hingga pakaian yang dikenakannya.

"Name?" Tanya lelaki itu dengan gegas, terlihat serius dan santai secara bersamaan.

"Uh... Caressa? Gani?" Nara agak nervous pada awalnya, tapi itu tidak sebanding dengan kebingungan yang ia alami.

"Third floor. Room 7." Ucapnya datar, tanpa memberikan Nara apapun.

Ia tidak berniat untuk menelpon Caressa, karena tahu pasti wanita itu tidak akan mengangkatnya. Jadi, Nara berjalan menaiki satu-satunya tangga yang ada dan menuju ke lantai tiga. Ia menduga akan ada setidaknya lima ruangan pada lantai ini, tapi ternyata ia hanya melihat satu ruangan dan yep, Room 7.

Caressa dan Gani terduduk di atas sofa dengan keadaan setengah sadar, Nara hendak berbicara sampai sosok lain yang duduk berdekatan dengan pintu mendongkak ke arahnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 12 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Closer In PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang