32. Celah Antara Luka dan Cinta

1.4K 154 7
                                    

Dalam sepi yang sudah berteman baik dengannya, Zaki menatap ruang ICU dengan pandangan kosong. Ruangan di mana Ayahnya sedang memerlukan bantuan secepatnya di sana, bertaruh antara hidup dan mati. Tapi ia justru tidak bisa melakukan apa-apa. Semuanya terasa fana hanya dalam hitungan detik. Begitu mendengar sang Ayah mengalami pendarahan yang cukup parah di bagian kepala hingga memerlukan transfusi darah, ia seakan tidak bisa berpikir jernih lagi. Pikirannya terlalu kacau.

Lucu sekali, ia merasa sangat khawatir hingga kondisi tubuhnya melemah, padahal saat dirinya terluka dan memerlukan perawatan medis, mereka sama sekali tidak peduli. Zaki tidak masalah, karena mereka bisa saja hidup tanpa Zaki, tapi Zaki tidak bisa hidup tanpa mereka.

Sudah wira-wiri Zaki mencari dan meminta surat keterangan dokter untuk menjadi pengantar kebutuhan permintaan darah untuk Ayahnya di PMI, tapi hingga detik ini, ia belum mendapatkannya sebab stok darah dengan golongan AB sudah habis.

Seakan sudah diajarkan untuk mengatakan, "aku yang salah." Dalam kondisi seperti ini pun Zaki selalu disalahkan. Ia lagi-lagi mendapat caci-maki bahkan sumpah serapah yang menyakitkan dari Ibu, hanya karena ia tidak bisa mendapatkan donor darah untuk Ayah.

"Kamu bisanya apa sih selain nyusahin?" Perkataan yang bahkan Zaki sendiri sudah bosan mendengarnya.

Selalu terluka, selalu terasingkan. Merasa kecewa pun merasa tak berguna. Sebuah ketidakadilan, di mana ia harus berusaha tetap tegar meski terlahir di keluarga tidak sempurna dan dibesarkan dengan harga diri yang begitu rendah. Meskipun begitu, untuk membenci kedua orang tuanya, Zaki tidak bisa. Antara cinta dan luka, semuanya terasa begitu semu dalam dunianya yang telah fana.

"Kenapa kamu harus penyakitan? Kenapa kamu harus beralasan nggak bisa transfusi darah ke Ayah karena sakit? Kenapa? Kamu benci Ayah? Kamu mau Ayah mati? Harusnya kamu nggak sakit, harusnya kamu bisa transfusi darah ke Ayah," gerutu Ibu panjang lebar.

"Zaki juga tidak mau ditakdirkan menjadi orang yang penyakitan seperti ini. Maaf."

"Apa maaf bisa merubah semuanya?"

"Lalu Zaki harus bagaimana?"

"Kamu pulang aja, jangan muncul di hadapan Ibu dulu." Lalu perempuan itu pergi meninggalkan Zaki entah kemana. Dan yang bisa Zaki lalukan hanya menghela napas pasrah.

"Ibu sangat sayang dengan Ayah, ya? Sebegitu khawatirnya. Tapi kenapa selalu bertengkar? Kenapa tidak berdamai pelan-pelan saja? Sebenarnya apa sih masalah mereka?" Zaki menyandarkan tubuh lelahnya pada kursi tunggu. Ia memijat kepalanya yang terasa sangat pening.

"Ibu, Zaki lelah. Bolehkah Zaki menyerah?" Manakala Zaki masih menginjakkan kaki dijenjang SMP, ia berkata demikian pada Ibu sebab merasa dunia lagi-lagi mempermainkannya.

"Nggak ada yang meminta kamu bertahan," jawab Ibu. Yang membuat Zaki merasa bahwa dirinya memang tidak diharapkan. Namun hebatnya, Zaki masih bertahan hingga detik ini, tak mempedulikan orang-orang di sekitarnya yang selalu jahat kepadanya.

Tapi, ada kalanya juga ia merasa ingin berhenti berada di sini. Ini terlalu menyakitkan untuk ia hadapi sendirian.

Banyak sekali yang ingin Zaki pertanyakan pada Tuhan, tentang rasa sakit yang nyatanya belum kunjung pergi, tentang do'a di setiap malamnya yang tak kunjung terjawab.

Lembaran Luka | Jay Enhypen (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang