47. Kelas Intensif Jurusan Kedokteran

964 78 12
                                    

Malam ini, hujan datang begitu deras disertai angin kencang dan petir yang menyambar-nyambar. Di balik balkon kamarnya, Lana memandang hujan dengan perasaan yang tenang. Meskipun dadanya masih sedikit bergetar takut saat mendengar petir, tapi setidaknya ia sudah berani menatap hujan terang-terangan. Kini, ia tak begiru takut lagi pada hujan. Alih-alih rasa sakit yang membuat batinnya tertekan, yang Lana rasakan justru ketenangan yang jarang sekali ia dapatkan di hidupnya.

Sembari menyeduh coklat hangat, Lana duduk di kursi sembari memandang laptopnya, menunggu jam yang akan datang, di mana pengumuman kelulusan sang pendaftar Kelas Intensif Jurusan Kedokteran akan diumumkan sebentar lagi. Lana sangat tenang, seolah ia sudah benar-benar yakin akan hasil yang Zaki dapatkan. Lana yakin kalau Zaki akan mendapatkan posisi nomor satu pada ajang seleksi tampo hari lalu.

Ketika email masuk, mata Lana berbinar, ia mengeklik email itu dengan perasaan yang berdebar-debar. Ketika hasil sudah terpampang jelas di depan mata, Lana tersenyum lebar, namun matanya menggenangkan air mata. Saking senangnya, Lana sampai menjatuhkan air mata.

"Zaki... lo emang yang terbaik..."

****

"Kakek nggak mau tahu, kamu harus dapat posisi pertama. Selama ini kamu selalu buat onar dan buat malu kakek. Kalau kali ini kamu ngecewain kakek dan gagal buat kakek bangga sama kamu, kakek akan sita semua fasilitas yang sudah kakek kasih ke kamu! Kakek juga akan kirim kamu ke luar negri untuk sekolah bisnis di sana!"

Dafa tak menanggapi, setelah pulang dari deretan les yang ia lakukan di hari libur ini, tubuhnya sudah tak berdaya lagi. Jadi, dari pada emosinya meluap-luap, Dafa memilih untuk mengabaikan sang kakek dan masuk ke dalam kamar begitu saja. Pemuda itu membanting tubuhnya di atas kasur. Pengumuman untuk murid yang lolos di kelas intensif akan diumumkan beberapa menit lagi, tapi Dafa bahkan tak peduli sama sekali. Ia sudah pasrah akan hasil yang akan keluar nantinya.

Kalaupun pada akhirnya ia harus dilempar jauh ke luar negri untuk sekolah bisnis, ia tak masalah. Biarlah. Dafa sudah tak punya harapan apapun lagi. Di saat dirinya benar-benar lelah seperti ini, menyerah adalah salah satu jalan agar ia tak terluka lebih dalam lagi.

"Dafa?" Saat matanya hampir saja terpejam karena sangat mengantuk, suara yang memanggil dirinya membuatnya tak jadi terjatuh di alam bawah sadar. Dafa membuka matanya dan mendapati Fabi yang tengah mengelus surai lepeknya.

"Hm?"

"Capek ya?"

Dafa tak menjawab. Pertanyaan itu sangat retoris. Seharian penuh ini, ia sudah mengikuti lebih dari tujuh kelas les privat untuk mata pelajaran yang tak bisa ia kendalikam semuanya. Jadi, mungkinkan ia tak lelah?

"Hasilnya udah mau keluar, sana mandi dulu, nanti kita lihat sama-sama," kata Fabi.

"Gue pengen lihat sendiri, lo keluar aja," jawabnya.

"Tapi---"

"Gue nggak mau dibantah. Gue lihat hasilnya sendirian aja. Lo boleh keluar. Gue nggak mau ditemenin siapa-siapa."

"Tapi---"

"Gue bilang gue pengen sendiri. Keluar." Meskipun tak membentak, tapi nada bicara Dafa yang terkesan dingin, membuat Fabi merasa tak enak. Jadi, dari pada emosi Dafa akan meluap, Fabi memilih untuk keluar dari kamar keponakannya.

Sepeninggal Fabi, Dafa mengubah posisinya yang semula tertidur di atas ranjang, menjadi duduk. Pemuda itu mengambil laptopnya di dalam ransel, kemudian membuka benda kotak itu dengan hati yang berdebar-debar.

Ketika email masuk, Dafa langsung mengekliknya. Ketika hasil sudah diperlihatkan secara jelas di depan matanya, Dafa tersenyum.

Senyum yang getir.

"Oke. Sesuai harapan." Dafa menutup laptopnya. Kemudian diam beberapa saat dengan pandangan kosong. Matanya berair dan hatinya kembali terasa begitu pedih. Bohong jika Dafa tak berharap pada Kelas Intensif itu, ia sangat berharap meskipun mulutnya berkata tidak.

"Oke. Gue ngecewain lagi." Dafa berdiri, ia mengambil laptopnya, kemudian membantingnya di atas lantai sampai pecah. Tak puas akan aksinya, Dafa menginjak-injak laptopnya dengan perasaan marah yang meluap-luap dalam hatinya. Ia bahkan tak peduli pada kakinya yang terluka karena menginjak laptop hancur itu. Yang ia pedulikan adalah, bagaimana rasa sakit di hati yang membuatnya ingin mati itu bisa hilang detik ini juga. Dafa sangat tersiksa dengan rasa sakit hati yang tengah ia rasakan saat ini.

Namun, tak peduli seberapa keras Dafa meluapkan emosinya dengan melukai tubuhnya, rasa sakit di hati tetap menjadi pemenangnya. Batin Dafa sangat tertekan sampai ingin gila. Dan setelah ia merasa begitu kelelahan, pemuda itu terduduk di atas lantai sembari menjatuhkan air matanya.

"Gue ngecewain semua orang lagi!" katanya, sembari menangis tersedu-sedu dan memukuli dadanya yang terasa begitu sesak. Saking sakitnya, hati Dafa terasa begitu gundah. Kepalanya mendadak sakit.

Satu tangan Dafa digunakan untuk menepuk-nepuk dadanya, satu tangannya lagi pemuda itu gunakan untuk mencari sekotak obat penenang di dalam kotak nakas. Geraknya membabi buta karena kondisi hatinya tak dapat lagi ia kendalikan. Keringatnya panas dingin, hatinya gundah bukan main. Tapi lagi-lagi yang ia dapatkan adalah; pukulan.

Bughhh

Sang kakek memukul Dafa menggunakan laptop yang si tua bangka itu bawa, hingga mengenai kepala Dafa.

"DASAR ANAK NGGAK TAHU DIUNTUNG!" teriak kakek.

"Kakek... udah...!" Fabi berusaha menahan, tapi kakek malah menepis anak laki-lakinya itu dan berjalan mendekat ke arah Dafa. Menyeret sang cucu ke dalam kamar mandi, dan menyiksanya di sana. Kakek menjedotkan kepala Dafa pada dinding berulang kali.

"Aku udah masuk di lima teratas peringkat tes kelas intensif, kek! Kurang apa?!" Dafa memberontak. Pemuda itu berteriak, tak mempedulikan telinganya yang sudah mengeluarkan darah pun dengan keningnya yang terluka sebab kena lempar laptop.

"Kamu harus jadi nomor satu! Kenapa kamu nggak jadi nomor satu, padahal kakek udah keluar banyak uang buat biayain kamu les sana-sini. Ha?! Kamu buat malu kakek aja!" bentak kakek.

"TAPI PALING NGGAK AKU BISA KETERIMA DI NOMOR LIMA DARI RATUSAN ATAU BAHKAN RIBUAN SISWA YANG DAFTAR!" Kali ini suara teriakan Dafa sangat kencang. Pemuda itu mengeluarkan semua rasa sakitnya.

"ITU BUKAN APA-APA DIBANDINGKAN DENGAN USAHA KAKEK BUAT KIRIM KAMU LES MAHAL SANA-SINI! POKOKNYA KAKEK NGGAK MAU TAHU! KARENA KAMU GAGAL ADA DI NOMOR SATU, KAKEK KIRIM KAMU KE LUAR NEGRI MINGGU DEPAN!" bentak kakek.

"CAPEK, KEK! AKU CAPEK HARUS BERUSAHA NGELAKUIN SESUATU YANG BAHKAN NGGAK BISA AKU KUASAI. KAKEK PAKSA AKU JADI DOKTER, IYA AKU TERIMA! Tapi nggak seberlebihan ini juga, kek...
Capek... aku capek banget...."

"Terus sekarang? Kakek paksa aku buat sekolah bisnis di luar nergi di saat aku udah muak belajar buat persiapan masuk jurusan kedokteran. Mana bisa, kek? Nggak bisa. Selama ini aku cuma belajar ilmu kedokteran, terus tiba-tiba disuruh belajar tentang bisnis, ya mana bisa?! Kakek mikir dong!"

Plakkk

"Berani kamu ngomong kayak gitu sama kakek, ha?! Kakek nggak mau tahu, minggu depan kakek kirim kamu ke luar negri buat sekolah bisnis!"

"Kakek, bentar lagi udah mau lulus. Kenapa ambisi kakek kayak gini banget, sih? Kakek udah gila ya?" batin Dafa.

******

Lembaran Luka | Jay Enhypen (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang