30. Rumah yang Tidak Lagi Ramah

1.5K 184 13
                                    

Selesai dengan aktivitas paginya, Zaki menyiapkan buku yang harus ia bawa ke sekolah. Setelah itu, ia keluar dari kamar bersama dengan Kayna. Sebenarnya ia ingin langsung berangkat saja, tapi ketika melihat ada Ayah dan Ibu berada di meja makan, Zaki mengurungkan niatnya.

"Ayo kita sapa ayah dan ibu dulu," ajak Zaki pada Kayna.

Zaki dan Kayna lalu menghampiri Ayah dan Ibu yang tengah menikmati sarapan di sana. Sedikit sangsi sebenarnya, takut jika ia tiba-tiba diusir. Tapi ternyata perkiraannya salah besar. Ibu malah mempersilahkannya untuk sarapan bersama dalam satu meja. Tentu Zaki bahagia. Senyumnya terukir indah pagi ini. Rasanya, sudah sangat lama ia tidak melihat pemandangan semengharukan ini.

"Mau bawa bekal? Kalau mau nanti Ibu siapin." Ibu bersuara setelah keheningan beberapa menit yang lalu melanda mereka. Meskipun dengan raut wajah yang datar, tapi Zaki tetap merasa bahagia.

Zaki mengangguk dengan senyum yang tidak dapat ia sembunyikan. "Boleh," jawabnya.

Setelahnya, suasana kembali hening seperti sebelumnya. Hanya ada suara dentingan sendok yang beradu dengan piring. Tapi tak lama setelah itu pula, suara dering ponsel di atas meja, membuat suasana terasa merinding, Zaki seakan merasakan firasat yang tidak enak.

Itu ponsel milik Ayah. Laki-laki bertampang seperti bapak-bapak urakan tukang mabuk itu mengangkat panggilan telfon sembari menggumam, "pagi-pagi ganggu orang sarapan aja!" Ayah memang sangat tempramental.

Ketika sambungan ponsel Ayah tersambung, raut wajahnya terlihat tidak enak dipandang. Ada gurat marah yang begitu kentara. Lalu tak lama setelahnya, Ayah malah menggebrak meja hingga membuat Zaki, Ibu, terlebih Kayna, tersentak kaget.

"Kenapa sih?!" bentak Ibu. "Kenapa nggak bisa santai?"

Kedua mata Ayah menatap Zaki dengan tatapan tajam penuh kebencian. Laki-laki itu menggertak rahangnya, meremas erat gelas kaca berisi setengah air, lalu dengan tiba-tiba saja, Ayah melayangkan gelas kaca itu pada Zaki hingga mengenai kening pemuda itu.

Tidak mengeluarkan darah, tapi memar biru kemerahan langsung tertinggal begitu jelas. Sakit... tapi lebih sakit lagi hatinya. Apa yang ia lakukan? Ia hanya duduk manis di sana sembari menikmati sarapan, tapi kenapa ia kena lagi?

Jujur saja, Zaki lelah menjadi pelampiasan kemarahan Ayahnya. Memangnya dia kira Zaki tidak punya hati? Zaki hanya manusia biasa, ia bisa sakit hati seperti manusia lainnya jika diperlakukan tidak layak seperti ini.

"Siapa yang nelfon? Penagih hutang?" tanya Ibu dengan raut muka datar. "Jangan lampiasin kemarahan kamu ke yang lainnya. Itu masalah kamu, bukan masalah orang lain."

Ayah tak menanggapi, ia kembali melempari apa saja yang ada di sekitarnya kepada Zaki. Bodohnya Zaki sama sekali tak menghindar.

"Zaki! Kamu nggak lihat Ayah kamu lagi kayak setan?! Pergi! Jangan buat Ayah kamu jadi orang jahat!" Suara Ibu bergetar saat meneriaki Zaki.

Ayah pun juga melempar piring yang masih berisi nasi ke kepala Zaki. Nasinya berceceran dan piringnya pecah mengenai kepala Zaki. Hingga darah yang menetes dari keningnya mengotori seragamnya.

"Kamu merusak semuanya, Zaki! Kamu membuat karir Ayah hancur! Kamu membuat Ayah menderita! Kamu membuat semuanya menjadi kacau! Ayah benci kamu!" Mata Ayah memerah, laki-laki yang sangat Zaki sayangi terlihat begitu hancur karena dirinya.

Kenapa lagi? Kenapa aku lagi yang salah, Ayah?

Ibu berusaha menenangkan Ayah yang sedari tadi terus berancang-ancang untuk melukai Zaki. Padahal luka yang kemarin ia berikan saja belum sembuh, Ibu tidak ingin anak yang sebenarnya tidak salah apa-apa itu terluka.

Lembaran Luka | Jay Enhypen (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang