Chapter 1
Your Parent’s House
Ini Sabtu pagi yang cerah. Ibu dan ayah sudah merencanakan liburan sampai seminggu ke depan. Mereka mengambil cuti dari kantor. Sayangnya, nenek yang rencananya datang untuk menjagaku di rumah malah kena encok dan harus berbaring di tempat tidur. Aku sudah bilang bahwa aku akan baik-baik saja sendirian kalaupun Mark akan pulang larut sepanjang akhir pekan, ibu tidak percaya. Usiaku sudah delapan belas tahun, tapi mereka tetap saja menganggapku seperti anak-anak.
Ibu sedang membujuk Mark supaya tinggal di rumah dan tidak datang ke pesta apapun selama mereka bepergian. Tentu saja, Mark memutuskan bersandiwara. Seperti yang sudah-sudah, dia akan berpura-pura malas bertanggung jawab atasku, padahal kami sudah membicarakan rencana bercinta sepanjang minggu ini. Apalagi saat nenek mengabari tentang sakit pinggangnya, Mark bilang dia tidak akan membiarkanku mengenakan baju dan akan menyetubuhiku sepanjang waktu. Aku sudah menanti saat-saat itu. Setiap kali membicarakannya lewat chat dari kamar masing-masing, celana dalamku pasti cepat basah. Mark diam-diam akan menyelinap ke kamarku untuk mengeceknya. Setelah itu… tentu kalian bisa tahu apa yang kami lakukan.
“Ayolah, Mark. Jangan bersikap menyebalkan begitu! Kau bisa pergi berkemah kapan saja kau mau, aku dan ayahmu hanya bisa mendapat satu kali cuti tahun ini. Okay… dengar… bagaimana kalau kau tidak melakukannya secara gratis? Kami akan membayarmu lima puluh dolar untuk menjaga Kim sepanjang akhir pekan. Hanya sepanjang akhir pekan, Mark….”
“Seratus dolar.”
Aku meringis mendengar lengking pekikan ibu yang terdengar jelas sampai ke ruang makan. Bibirku menyunggingkan senyum. Mark meminta seratus dolar untuk menjadi baby sitter-ku? Ironis sekali. Dialah yang akan jadi bayiku selama akhir pekan ini kalau ibu dan ayah jadi pergi ke New York menghadiri festival seni. Jangankan meminta bayaran, dia rela membayar berapapun supaya bisa berduaan denganku.
Beberapa saat kemudian, ibu tergopoh-gopoh menuruni anak tangga, melintasi dapur, ruang makan, ruang keluarga, lalu meraung di kamar tidurnya. Sementara itu, aku yang sedang menikmati sereal di sisa hari-hari libur sambil berselancar di internet terpaksa harus menutup jendela browser untuk melihat pesan masuk dari Mark.
Kalau aku punya seratus dolar, kau mau apa?
Tak sampai semenit berselang setelah ibu mengadu, ayah keluar dari kamar dengan handuk terlilit di pinggang. Pria tinggi besar itu melangkah lebar-lebar dengan muka merah dan kedua tangan mengepal di sisi-sisi pinggangnya. Dia menaiki anak-anak tangga menuju kamar Mark. Aku memberinya pesan peringatan.
Awas. Beruangnya datang. Aku mau makan seafood di Red Lobster.
Mark membalas.
Bagaimana kalau pakaian dalam seksi? Aku akan memilihkan yang paling kecil untukmu, Kim.
Sebelum jariku mengetik sesuatu, pintu kamar Mark keburu dijeblak terbuka dengan kasar oleh ayah, disusul suara hardikan yang menggema ke seluruh sudut rumah. Aku terpingkal-pingkal sambil menghabiskan sereal. Akhirnya, Mark harus pura-pura tunduk dengan imbalan lima puluh dolar untuk menjagaku sepanjang akhir pekan. Kepalaku dipenuhi rencana-rencana seru menghabiskan waktu bercinta dengan Mark di setiap bagian rumah. Sudah lama kami tidak melakukannya. Terakhir kali ayah dan ibu pergi agak lama sewaktu aku berulang tahun dan Mark mengundang Peter untuk bercinta bertiga denganku.
Omong-omong soal Peter, kami masih sering bertukar kabar lewat surel. Aku memang tidak cerita pada Mark karena dia bisa sangat cemburu, tapi toh aku tidak membicarakan sesuatu yang pribadi atau rahasia dengan Peter. Ini murni persahabatan. Alasanku menyembunyikannya hanya supaya tak terjadi kekacauan.
“Cepat turun sarapan. Aku dan ibumu akan menjelaskan peraturan selama kami tidak ada di rumah. Kim… kau juga… jangan naik ke kamar dulu setelah sarapan,” kata ayah Mark yang selalu mengubah nada bicaranya menjadi sangat lembut kalau bicara denganku. Dia ayah tiri yang amat manis. Aku beruntung ibuku menikahinya. Sandra, temanku di sekolah, sering mendapat perlakuan kasar dari ayah barunya. Itu mengerikan.
“Okay,” jawabku patuh.
Sementara ayah dan ibu berada di kamar, Mark turun dengan malas-malasan menuruni anak-anak tangga. Dia belum mandi dan tampangnya acak-acakan. Meski begitu, dia tetap tampan dan gagah seperti biasa. Rambut tebalnya sudah agak panjang, tubuhnya juga lebih kekar karena akhir-akhir ini dia sering menghabiskan waktu di gym. Dia bilang, berolah raga akan menambah staminanya saat bercinta. Itu benar. Aku sudah membuktikannya. Mark sering membuatku kelelahan. Kadang dia bahkan menyetubuhiku saat aku sudah setengah tidur.
Pagi ini, dia masih mengenakan boxer dan kaus oblong putih yang sering dipakainya tidur. Batang kejantanannya yang keras sehabis bangun pagi belum sepenuhnya lunak. Dia tidak mengenakan celana dalam, aku bisa melihat kepala tumpul penisnya tercetak di bagian bawah karet celananya. Dadaku masih berdebar setiap kali membayangkan penis Mark. Aku berpaling malu-malu saat Mark mengerling dan mengedipkan sebelah matanya padaku. Sambil mengusap-usap perutnya yang kotak-kotak presisi, Mark membuka lemari pendingin.
“Di mana mereka?” tanyanya.
Aku yang sudah selesai sarapan mengangkat mangkuk bekas makanku dan akan kucuci di dapur. Ibu akan mengomel kalau aku tidak melakukannya. Aku menjawab pertanyaan Mark, “Sedang bersiap-siap.”
Mark meneguk susu langsung dari kotaknya setelah dia yakin ibu tak akan memergokinya.
“Jangan begitu, Mark. Jorok,” kataku memperingatkannya. “Minum pakai gelas.”
Mark tidak menjawab. Dia membersihkan mulutnya dengan punggung tangan dan mengembalikan kotak susu kembali ke kulkas. Setelah itu, dari ekor mataku saat aku sedang sibuk mencuci piring, kulihat Mark mengintip ke arah kamar orang tua kami. Baru kemudian dia mendekat dan merapatkan dadanya di punggungku.
“Kim…,” bisiknya di telingaku, membuat tubuhku nyaris mengejang. Mark sudah menyentuhku ribuan kali, hampir setiap hari kami berciuman, berpelukan dan bercinta, tapi dia masih selalu bisa membuat tubuhku bereaksi seperti ini. “Celanamu pendek sekali, Kim,” katanya sambil mengulum lembut cuping telingaku. Aku mengangkat bahu menghindar, tapi juga mendesah kegelian meningkahi ulah Mark. Di tanganku, mangkuk yang kucuci masih licin berbusa. “Ingin cepat-cepat menelanjangimu lagi, Kim….”
“Mmmh… Mark… jangan. Sabar sedikit… nanti ketahuan.”
“Hssst… jangan menggeliat-geliat, kau bikin kelaminku mengencang,” erang Mark sambil menggigit samar bahuku, membuatku menggelinjang lebih hebat. Mark mengocok kedua belah payudaraku dengan gemas. Dia lalu membelai lekuk-lekuk tubuhku dengan sentuhan samar dan menyentuh karet hot pants-ku.
“Mark!” seruku memperingatkannya.
Kayak biasa, lanjut baca di KaryaKarsa gue.
Link di bio wattpad.
Jangan lu search akun gue via aplikasi. Nggak akan ketemu. Akun gue di-restrict karena muatannya dewasa. Jadi lu hanya akan bisa akses lewat link/ browser.Cek di karya gue kategori Step Sister. Cover sama kayak di wattpad.
Udah sampai chapter 3.
Akan ada 40an chapter. Langsung langganan lebih hemat. Hanya 100k. Kalau lu suka Step Brother, ini akan bikin kangen lu ke kegilaan Mark dan Kim terobati.