7. Harus Lebih Mandiri

164 37 8
                                    

Sekarang sarapan pagi di rumah keluarga Geya, kalau dulu Aydin selalu berada di sana sebagai seorang ponakan, kalau sekarang dia berada di sana karena dia adalah menantu. Situasi menjadi sangat canggung, membuat Aydin yang biasanya selengekan menjadi diam seribu bahasa, dia agak takut salah bicara apalagi salah bertindak. Menikahi Geya saja sepertinya sudah salah di hadapan keluarga, jadi Aydin harus pandai-pandai bersikap mulai sekarang. Dia bandal, kurang lebih sama seperti Andra, walaupun dia yakin kalau Andra jauh lebih buruk, tapi pasti di mata keluarga Geya dia sama saja.

Mereka sarapan pagi dengan tenang, hari ini mungkin akan ada pembicaraan perihal hubungan Aydin dan Geya ke depannya, padahal Aydin akan berangkat sekolah sekarang ini, hidup memang selucu itu, Aydin baru mau berangkat sekolah, di sisi lain dia adalah seorang suami.

Mereka semua selesai makan, Rafif menatap Aydin dengan pandangan penuh keyakinan kemudian cukup mampu membuat Aydin merinding, tapi Aydin sama sekali tidak ketakutan karena apa itu takut?

"Kebetulan om nggak suka kamu menjadi menantu om, karena situasi ini benar-benar aneh di antara kita." Rafif mengatakan semua itu dengan sangat gamblang, Aydin menghela napasnya mendengar itu, wajar sih kecewa, karena memang biasanya Aydin berada di sana tanpa adanya kecanggungan seperti ini di antara mereka.

Geya sendiri menelan ludahnya dengan susah payah, dia sudah berhenti sekolah, jadi benar-benar tidak tahu apa yang akan menjadi tujuan hidupnya.

"Jadi, kalian akan tinggal di rumah oma kalian dan bertanggung jawab dengan diri kalian sendiri." Rafif membuat keputusan, Aydin menghela napas karena ya pasti akan kesal terus-terusan jika mereka berada di bawah naungan yang sama, satu-satunya cara untuk mencegah pergaduhan yang lebih jauh lagi adalah mengambil jeda sejenak.

Tapi, apa Geya bisa?

"Papa nggak sayang sama Geya?" tanya Geya.

"Kamu bikin papa kecewa." Dan itu cukup menjadi jawaban bahwa keputusan papanya sudah final.

Geya seperti dihadapkan pada kenyataan hidup yang harus dia hadapi mau tidak mau.

Karena kelihatannya Geya takut, maka Aydin yang akan ambil peran. "Nggak masalah, Aydin akan bertanggung jawab secara penuh untuk Geya."

Aydin mungkin masih duduk di bangku sekolah, tapi kalau memang perlu dia bisa usahakan banyak hal untuk Geya, dia bisa berjuang lebih lagi untuk apa yang sudah dia ambil. Langkah yang dia ambil untuk hidupnya dan Geya bukan sesuatu yang bercanda.

Geya menatap Aydin tidak percaya, mau seberapa banyak lagi Aydin berkorban?

"Siang ini kalian bisa langsung pindah!" punhkas papa Geya dan seolah Geya merasa kalau dirinya diusir dari rumah.

***

Karena hanya punya motor, jadi Aydin membawa Geya pindah rumah naik motor. Rumah oma mereka memang sudah lama kosong, sepertinya memang orang tua mereka merencanakan semua ini agar rumah tersebut tidak rusak. Geya mau marah pada Aydin, tapi cowok satu ini juga berkorban banyak untuk Geya, dia memberikan semua yang terbaik bahkan untuk kesalahan yang sama sekali tidak dia lakukan, dia berusaha memberikan yang terbaik untuk Geya dengan semua usahanya.

Geya menatap punggung Aydin, tempat yang mulai sekarang akan menjadi tempatnya bersandar, banyak hal yang memang terasa baik-baik saja bersamanya.

Mereka sampai, rumah itu besar sekali, memiliki dua lantai dan kelihatan sudah lama sekali tidak ada yang menempati.

"Serem banget." Geya tidak mengerti kenapa papanya membuang mereka ke tempat seperti ini.

"Kakak udah bilang sama teman-teman buat bantuin beresin, kamu tenang aja." Karena Geya sedang hamil dan dia pasti sensitif sekali dengan debu, Aydin tidak mau anak yang ada di dalam kandungan Geya kenapa-napa.

Keduanya turun dari atas motor dan berjalan menuju ke dalam rumah, memang semenjak oma opa meninggal, kumpul keluarga dilakukan di rumah kakak tertua yang itu adalah rumah Aydin, jadi wajar rumah besar ini kosong cukup lama. Sekarang adalah kesempatan orang tua mereka untuk membuang mereka ke sana dan membereskan tempat itu.

Sampai di dalam ternyata debunya sudah sangat tebal.

"Kayaknya kita tempati yang lantai satu aja, nanti kalau anaknya udah lahir dan ngerasa butuh space lebih pelan-pelan kita bersihkan lantai dua." Aydin menjelaskan.

Geya menganggukkan kepalanya, dia sendiri merasa tidak masalah dengan semua itu, tapi agak kagum karena pada akhirnya Aydin punya keputusan untuk kehidupan mereka ke depannya.

Aydin menahan Geya saat Geya mau melangkah. "Banyak debu," ingatkan Aydin.

"Terus gimana? Kita harus beresin, kak!"

"Ya udah, aku aja, kamu tunggu di luar."

Bahkan sejak sebelum hamil Aydin sudah sangat peduli dengannya, apalagi sekarang ini, tentu saja dia masih dan akan terus peduli dengan Geya.

Aydin mengelus perut Geya sejenak sebelum akhirnya mengangguk dan meminta Geya keluar dari rumah, sama sekali tidak masalah bahkan jika Geya hanya mau bersantai-santai.

***

Aydin benar-benar meminta tolong teman gengnya dan Geya hanya menjadi penonton mereka semua yang bekerja keras untuk hari ini. Geya benar-benar hanya memantau, Aydin tidak memberinya kesempatan untuk menyentuh apa pun, sampai akhirnya seluruh ruangan sudah kembali bersih dan Aydin terkapar di paha Geya, kalau sebelumnya hal semacam ini lumrah terjadi karena memang seolah tidak ada batasan di antara mereka, kalau sekarang Geya sedikit deg-degan, perasaan ketika Aydin sepupunya dan sekarang adalah suaminya benar-benar berbeda.

Dari posisi ini Geya bisa melihat wajah Aydin dengan jelas dari atas.

"Padahal nggak harus semuanya selesai hari ini, Kak."

Aydin dengan mata terpejamnya menjelaskan, "Aku mau kamu nyaman, kamu lagi hamil dan kita harus hati-hati." Karena Aydin menikahi Geya karena dia mau yang terbaik untuk Geya, jadi sampai kapan pun dia hanya akan memberikan yang terbaik untuk Geya apa pun yang terjadi.

Geya mengulurkan tangannya untuk mengelus kepala Aydin, membuat teman-teman yang lain yang sama-sama istirahat di sana langsung membuang pandang. Aydin sendiri menyamankan dirinya di pangkuan Geya, sejenak menikmati kehidupan yang ada.

"Makasih karena udah selalu mau yang terbaik untuk Geya."

Aydin hanya diam, dia sayang Geya dan itu cukup.

"Aku nggak tau gimana hidup yang aku jalani kalau nggak ada kamu, Kak."

Aydin kemudian membuka matanya, sejenak keduanya saling menatap. Tapi kemudian Aydin melingkarkang tangannya di pinggang Geya, menyembunyikan wajahnya di perut Geya, dia lelah dan hanya butuh peluk.

***

Yok bisa yok dukungannya biar semangat wkwkwk

Kalau sepi berasa kayak nggak ada yang nungguin nih cerita, jadi akunya agak males-malesan.

Oke deh, semoga selalu suka ya!

Kisah SempurnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang