Chapter 5.2: Malaikat dan Iblis

7 3 1
                                    


Keringat mengalir di kulit dan membasahi tubuhku di dinginnya malam. Mataku menatap tajam ke depan mencoba menangkap bayang-bayang markah jalan di tengah kegelapan. Lolongan anjing terdengar dari dalam rumah-rumah. Angin menghembus menampar-nampar, membawa pergi bulir keringatku. Otot betisku mengeras, memutar pedal sepeda dengan seluruh tenaga yang tiba-tiba bangkit. Detak jantung yang begitu cepat menggedor-gedor dadaku. Laju sepeda yang begitu cepat melaju menuju seberkas cahaya di ujung lorong.

Sahutan mesin kendaraan dan suara klakson sampai di telingaku. Cahaya yang ramai muncul di ujung sana. "Akhirnya sampai di jalan besar," legaku sembari kepala dan mataku berputar di sekitar, "sepertinya tidak ada yang mengejarku."

Nafasku masih terengah-engah. Aku turun dari jok sepeda lalu menentengnya di tepi trotoar bersama beberapa pejalan kaki. Mataku awas berjaga memperhatikan keadaan. Jari-jariku bergetar menggenggam setir sepeda. Bulir air yang keluar dari pori-pori kulitku masih tersisa. Otot betisku mengeras sekeras batu. Tapi, semua itu tidak terasa. Pikiranku terus membuat bayang-bayang seseorang di sudut-sudut kegelapan yang siap menerjangku dengan pisau di tangan.

Aku akhirnya sampai di rumah. Tanganku meraih gagang pintu. Pintunya terbuka hanya dengan satu dorongan kecil. Segera kututup pintunya dan menguncinya, aku sampai terus memastikan bahwa pintunya telah terkunci.

"Saki!" panggilku.

Suara langkah kaki yang berlari kecil mendekat. "Kenapa kak? Kenapa sampai teriak-teriak begitu?" tanya Saki.

"Kenapa pintunya tidak dikunci? Kalau ada orang yang masuk bagaimana?" resahku. Kakiku melangkah melewati Saki yang mematung mendengar keluhku. Aku menerobos masuk ke dalam kamarku dan menguncinya rapat-rapat.

Aku menjatuhkan tubuhku di atas kasur. Tanganku meraba-raba mencari guling kesayanganku. Aku mendekap guling dan menutupi wajahku. Keringatku terserap kain pelapis bantal. Dingin air keringat itu mencium kembali pipiku. Aku ditemani suara serangga yang bernyanyi dan dinginnya angin malam yang menyusup sela-sela ventilasi. Kepalaku yang terjepit di antara bantal terus berpikir.

Aku tidak bermaksud untuk ikut campur dengan hilangnya anak-anak panti itu. Tapi, aku juga tidak bisa diam jika dimintai tolong salah satu temanku.

Terdengar suara ketukan pintu. "Kak, ada apa? Kenapa langsung masuk kamar? Ayo makan dulu," panggil Saki.

Namun, aku juga tidak mau kalau Kakek dan Saki, keluargaku satu-satunya sampai terancam karena ikut campur dalam hal kriminal. Aku bukan siapa-siapa. Aku bukan seorang polisi atau detektif. Aku hanya anak remaja yang sedang berusaha menjalani kehidupan SMA yang biasa.

Terdengar ketukan pintu berkali-kali dengan keras. Aku tersentak dan tersadar dari dalamnya pikirku. "Lenan, ayo makan nanti kamu sakit!" teriak Kakek.

"Ah iya Kakek," sahutku.

Aku bangkit dari kasurku yang sudah berbau asam. Keringatku membentuk sebuah pulau di atas bantal. Aku menatap wajahku di sebuah kaca kecil. Wajahku terlihat suram dan berantakan. Aku merapikan rambutku seadanya lalu keluar dari kamar untuk makan malam.

Kami bertiga menyantap makan malam telur kecap mata sapi buatan Saki.

"Kakak kenapa baru datang sudah marah-marah, terus langsung masuk kamar?" tanya Saki.

Aku tidak menjawab. Aku menyuap nasi dengan lauk kuning telur dengan baluran kecap, tapi tidak terasa nikmat. Biasanya lidahku langsung bergoyang ketika memakan apa pun masakan Saki.

"Kak? Kenapa diam saja? Apa masakannya tidak enak?" tanya Saki dengan nada tinggi.

"Sudah Saki biarkan saja dia makan. Jangan banyak bertanya," tegas Kakek.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 29, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Orion - Bagian 1 Batu BerhargaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang