Satu Suara

68 9 2
                                    

Lee Heeseung » Mahesa

asyakrmh

OC » Aira

⌗⌗⌗

Malam akhir tahun, menuju tahun baru. Pukul 23.10 daerah Jakarta. Mahesa. Laki laki dengan postur tinggi, yang mengaku sebagai kakak laki laki dua tahun di atasnya, malah sebaliknya, tengah berjalan memimpi dirinya di tengah pasar malam.

Pasar malam yang sejak lalu dibicarakannya tiada henti. Akhir malam tahun bersama... seseorang? Entah siapa yang harus ia sebut tentang posisi Mahesa dalam hidupnya.

Satu suara.

Tentang bagaimana perasaannya menganggap keberadaan laki laki ini di dalam hidup Aira. Telah lama mengenal, namun melihat bagaimana populer anak satu ini dari pada reputasinya.. itu menggelikan.

"Kakak tahu, kalau naik bianglala, katanya bisa bikin pusing."

Aira merengut. "Terus?" Aira menuntut jawaban. Anak itu tersenyum lebar. "Aku pengen naik, Kak." Ujarnya, "tapi takut bikin pusing. Ntar kalau aku pusing yang bawa kakak pulang siapa?"

Aira tersenyum kecut. "Kamu mabuk?"

Kepala Heeseung mengangguk. "Mabuk darat kak. Bukan laut."

Aira meringis geli. "Dih. Bukan mabuk yang kayak gitu, maksudku, Mahesa."

Mahesa meraih tangan Aira tiba tiba saat tubuh besar menyela paksa diantara keduanya. Mahesa seperti melihat Aira tenggelam hilang. Mahesa sadar, harusnya malam tahun baru, Aira ia ajak pergi bersantai di alun alun. Alih-alih diajak ke pamerasan pasar malam yang penuh hiruk-piruk manusia. Bisa saja hilang, bisa saja diculik orang yang memaksa untuk dijadikan pasangan.

Aira tidak dapat dihilangkan dalam hidup Mahesa. Sepenting air dalam hidup Mahesa. Jadi kalau tidak air, selain udara nomor satu yang terpenting. Mahesa akan mati. Mati riwayat, bukan mati nyawa.

"Kakak kayak ditelan ombak." Celetuk Mahesa setelahh berhasil menarik Aira dalam dekapannya. "Gimana kalau ilang. Sulit buatnya. Aku ga bisa buat gantinya kakak buat tante Maria. Hasilnya bakalan beda nanti."

Aira yang baru mencerna ucapan Mahesa melayangkan cubitan, pukulan, serta memisuh tiada tara. Dikira, apa? Ga taunya, apa!

"Kan benar, Kak." Mahesa tidak mau kalah, "kalau kakak ilang, aku ga bisa buat gantian yang mirip kakak. Adanya beda kak."

Satu suara.

Aira tersenyum menahan geli. Iya, paham maksudnya. Terdengar menggelikan, namun Aira suka. "Kakak naik bianglala, yuk."

Aira mendengar Mahesa secara halus memohon. "Katanya takut pusing. Nanti mabuk darat," Aira mengulang ucapan Mahesa tadi, "katanya nanti takut ga bisa bawa aku pulang."

Mahesa menahan senyum. "Tapi kakak ga ada pengen naik, gitu?"

Aira menimang. Mendongak untuk melihat beberapa manusia mengisi di setiap bilik kecil warna warni. "Pengen kali, ya." Aira bergumam. Mahesa antusias menunggu. "Mau ga kak?"

Aira menatap. Melihat bagaimana wajah yang terkadang menggemaskan bak anjing periharaan yang memohon makanan, terkadang berubah bak serigala liar di hutan hijau yang hidup bebas. Aira menentukan pilihan.

"Ya udah, ayo." Bergantian Aira yang menarik tangan itu pergi. Tangan yang jauh lebih lebar dan besar saat mampu menangkup penuh wajahnya kala Aira sedih. Mahesa membalas genggamannya. Meremat lembut tangannya, seakan akan tangan kecilnya bisa saja tak mampu menggenggam dan menarik Mahesa untuk terus berada di sisinya.

"Nanti kalau aku mabuk, kakak yang nyetir ya."

Aira terbelalak tak percaya, "Ya ampun, Mahesa!"

Satu suara. Tentang bagaimana keputusannya untuk menyimpan rasa yang Aira miliki untuk Mahesa sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Menyanyangi Mahesa, secara diam-diam.





END

⌗ Bambieyes ⟩Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang