Dare

5 1 0
                                    


#asyakrmh #

"Kau harus mencoba wahana terjun bebas!"

Bora itu sahabat Aera. Sepenuhnya tahu apa yang ia suka. Dan apa yang tak ia suka. Padahal mereka berteman sejak umur sepuluh tahun. Belum lagi keduanya tumbuh bersama di lingkungan yang sama. Satu sekolah dan satu komplek yang sama dengannya. Tapi mengapa...?

"Kau memilih dare bukan?"

Bora menyeru pasti. Sambil menuding dirinya dengan jari telunjuk yang menunjuk tepat pada dadanya. Aera meneguk ludah berat. Jujur Aera takut akan ketinggian. Ia phobia akut pada ketinggian. Sangat sangat menakutkan. Ia punya traumatik yang kelam pada ketinggian. Dan sebisa mungkin ia akan sangat sangat menjaga jarak dengan ketakutannya yang satu itu.

"Apa aku bisa mendapatkan dare yang yang lain."

Bora tersenyum jail. "No! Dan tidak akan pernah!"

Sungguh Aera ingin benar benar pergi saja saat itu juga. Ia lantas menyesali permintaan Bora ikut dalam permainan ini. Bora seperti puas dengan apa yang Aera dapatkan dari pilihannya. Merugikan bagi Aera. Dan dua orang di antara pemain lainnya yang jumlah anggota sekitar dua puluh tiga orang menaruh rasa puas.

"Sana! Pergilah!"

Aera membeku di atas pijakannya. Ia mendongak pada tempat yang menjadi tujuannya sebentar lagi. Tangannya mengepal kalut. Bibirnya di gigit ragu. Takut dan sedih sedang berbaur dalam hatinya. Haruskah ia melakukannya? Apa dia boleh pergi?

"Jangan lupa berdoa."

Bora terus saja menggodanya. Sambil mendorong-dorong tubuh untuk segera menyelesaikan misi sebelum akhirnya kembali lagi dalam kumpulan orientasi mahasiswi baru yang tengah berada di bawah tanggung jawabnya.

Ini perminaan terakhir kalinya. Ia berseru pasti dalam hatinya. Aera berbalik badan. Ia memelas pada Beomgyu dengan penuh pilu dan memohon penuh harap. Agar dare yang ia terima di alihkan pada tantangan yang baru. Sayangnya...

"Tidak, akan pernah, kuganti!"

Aera mendesah pilu. Mengusak frustasi wajahnya sambil berjongkok pasrah. Ia merengek panjang dengan suara yang cukup kecil. Ia ingin lari saja rasanya. Sungguh.

Berat hati ia langkahkan kakinya menuju tujuan yang Bora harapkan. Ada sepasang mata yang menggiring kepergiannya. Ada pula satu mahasiswa yang ikut membuntutinya pergi. Kata Bora sebagai pedamping serta penjaganya. Katanya sih.

"Saya hanya mengantar sampai disini." Langkah keduanya berhenti tepat di depan lift yang akan membawa Bora naik. Ia menghela napas lagi. Kalut? Tentu! Siapa yang tidak kalut. Ini adalah ketakutan terbesarnya. Dan kini ia berhadapan untuk kedua kalinya bersamanya.

"Terima kasih banyak."

Anak baru tadi menghilang kemudian. Aera sudah mulai bergerak naik. Dibawa menuju final tantangannya. Aera memejam mata erat erat. Takut menghantui dirinya. Sangat sangat mencekik hidup serta napasnya.

Walau sampai di atas dan mulai di bantu memasang alat alatnya. Aera terus merapalkan doa doanya pada Tuhan serta ibu ayahnya di rumah. Ia takut. Dan ia butuh Ayah dan Ibunya kini.

"Seonbae!"

Sebuah suara tak asing menyapa indera pendengarannya. Ia cukup terkejut saat mendapati seorang mahasiswa baru yang semalam pun terlibat permainan juga dengannya. Lebih tepatnya mungkin Aera yang terseret masuk dalam permainan itu semalam.

Ia mendekat. Menatap sepasang mata yang sebulat kereleng penuh ketakutan. Ada genangan air mata di pelupuk matanya Aera yang mungkin akan bobol jika ia terlambat datang.

"Mau saya temani"

Aera cengo. Di temani? Ke..?

"Saya akan terjun bebas dengan anda."

Aera memekik kaget. Sungguh? "Kau.."

Anda sepertinya begitu tertekan. Dan saya mengajukan diri untuk ada di sisi anda saat terjun lepas." Aera masih membisu. "Saya akan menjaga anda dari rasa takut anda sendiri."

Aera mengulum bibirnya. "Sungguh?"

Ia berguman. "Sungguh!" Sirat ucapannya memang terkesan dingin. Namun Aera merasa bahwa ada kesungguhan dia sirat ucapannya. Ia sepintas teringat ayahnya. Kepercayaan yang disalurkan seperti ketika sang ayah menyakinkannya akan sesuatu hal.

"Anda berkenan?"

Aera mengangguk patuh. Ia tak tahu pasti namanya. Ia hanya sekilas tahu bahwa dirinya adalah orang yang menebak dengan benar teka teki yang di lemparkan seorang tentang diri Aera.

"Kemari."

Aera diminta mendekat. Tangannya di genggam begitu erat. Sampai Aera sendiri tertegun dengan reaksi itu.

Pemandu mulai membawa jarak kedua semakin menuju ujung. Dimana diujung sana ia Aera akan terjun bebas. Aera menatap lama pada adik tingkatnya. Wajahnya rupawan. Garis rahang tegas. Dan ia punya senyuman yang begitu manis di kesan pertama Aera malam itu.

Aera tersadar saat pinggangnya di tarik dan membuat jarak keduanya tak berbatas. Kepala Aera ditarik sampai tenggelam di ceruk lehernya. Ada suara bisikan yang menyelam padanya.

"Tutup mata anda erat-erat." Tangan Aera reflek melingkar erat di lehernya. Seperti apa yang dimintanya. Aera memejamkan matanya saat tubuh keduanya di dorong jatuh.

Aera memang merasakan takut. Hanya persentasi tujuh puluh lima persen. Sebab sisanya telah diobati olehnya. Aera ingat suara dan kata kata itu. Aera bisa mendengar jelas ucapan itu.

"Percayalah padaku." Walau hanya sebatas dua kata. Tapi itu bernilai banyak dalam diri Aera. Begitu besar pengaruhnya.

Dan ia benar benar mempercayai bahwa dirinya. Telah menguatkannya.

"Namaku, Heeseung Yoon. Jangan lupakan aku bersama momen ini, Ji Aera."




END_

⌗ Bambieyes ⟩Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang