PROLOGUE

220 36 38
                                    

Sebutir peluh ia usap dengan lengan kaosnya yang sedikit lusuh. Jemarinya yang lentik dengan telaten mengelap beberapa meja basah dan kotor. Sedangkan pikirannya sedikit rumit, memikirkan banyak hal yang sesuatu yang ia pun tidak mengerti. Lelaki akhir dua puluh tahun itu tampak lelah dengan pekerjaannya. Akan tetapi, dengan gesit masih terus menggerakkan tangan dan kakinya ke sana ke mari. Rambut hitam legam, kulit bersih sedikit pucat, dengan pakaian yang sederhana-atau lebih tepat disebut seadanya, dan celemek yang setia menggantung di lehernya sehingga membungkus badannya yang kurus.

Terlalu fokus bekerja, sampai ia tidak sadar akan kehadiran seorang wanita yang penampilannya berbeda 180 derajat dengan dirinya. Begitu mewah dan megah. Pakaian yang diyakini dari Brand dunia ternama berwarna hitam dan dipadukan dengan merah Maroon. Perhiasan yang tak kalah berkilauan: anting, kalung, cincin dan jam tangan mewah yang melingkar indah di pergelangan tangan kanannya. Jangan lupakan sepatu dengan heels setinggi tujuh sentimeter dan berwarna merah menyala. Ditambah dua orang lelaki bertubuh tegap menyeramkan berdiri di belakangnya dengan siaga.

Butuh lima detik untuk Bayu menyadari kehadiran wanita tersebut.

"Selamat datang," sapa Bayu ramah pada calon pembelinya. Meskipun sedikit ragu disebut sebagai calon pembeli, sebab tiga orang yang hadir di depannya lebih terlihat seperti penagih utang. Namun, seingat Bayu, biarpun dirinya memiliki utang pada rentenir, dirinya tidak pernah berurusan dengan wanita cantik yang ada di depannya. Maka dari itu, Bayu berani mengklaimnya sebagai calon pembeli.

"Bayu Erlangga." Senyum ramah Bayu luntur seketika saat sang wanita menyebutkan nama lengkapnya dengan wajah angkuh. Seketika pertanyaan memenuhi benaknya.

"Ah, maksud saya ini benar dengan kedai nasi goreng Bayu Erlangga?" Seketika wanita itu menyadari raut keterkejutan dari Bayu.

"Ya benar. Ada yang ingin dipesan?" tanya Bayu sebisa mungkin tetap ramah. Kendati telah diberikan kesan kurang baik oleh wanita di depannya.

Wanita itu meraih selebaran yang tergeletak di aras meja. Memindai dengan seksama deretan menu yang tersaji di sana. Namun, beberapa detik kemudian, ia sedikit membanting selebaran itu. Memilih untuk menopang dagu dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya mengetuk meja dengan teratur sampai menghasilkan bunyi.

"Malam ini kebetulan saya baru pulang dari perjalanan bisnis. Bosan juga makanan mewah di restoran sekitaran sini." Dengan nada yang penuh kesombongan, wanita itu berucap.

"Jadi, untuk mengganjal lapar, saya ingin coba makanan pinggiran." Wanita itu tidak lagi menopang dagu. Sekarang menyandarkan tubuhnya dengan kaki yang ia angkat sebelah. Memberikan kesan anggun dan kejam secara bersamaan. Apalagi melihat bagaimana sorot mata yang tajam dan kelam.

"Kebetulan sekali kedai ini sepertinya yang paling sepi pembeli," pungkas wanita itu.

Rahang Bayu mengeras. Tanpa sadar tangannya pun ikut mengepal menahan kesal. Memang benar apa yang diucapkan wanita itu. Hanya baru beberapa orang yang datang ke kedainya, bahkan di saat malam mulai larut sekali pun. Akan tetapi, pantaskah wanita itu berucap demikian?

Melihat keterdiaman Bayu, wanita itu tidaklah merasa bersalah barang sedikit pun. Justru terkekeh sampai suara kekehan itu berubah menjadi tawa kecil. Dengan repleks, wanita itu menutup mulutnya dengan sebelah tangan. Tetap tidak meninggalkan keanggunannya di tengah kesombongannya.

"Sarankan menu paling enak dan mahal dari kedaimu. Apa pun itu, akan saya habiskan."

"Baik, bisa ditunggu, ya, pesanannya. Menu paling enak dan mahal di sini adalah nasi goreng seafood." Bayu sengaja menekankan kata enak dan mahal, lalu segera beralih untuk melakukan tugasnya.

Apa setiap orang kaya itu seperti itu? Hanya bisa menghina orang miskin seperti dirinya. Satu sisi ia bersyukur karena setidaknya bertambah jumlah pembeli dagangannya. Namun, satu sisi dirinya merasa kesal karena dihina seperti tadi.

Akan tetapi, orang miskin seperti dirinya tidak pantas merasa seperti itu bukan?

"Kenapa malah ngelamun, Mas?" suara wanita menyapa indra pendengarannya. Bukan suara dengan aura mencekam dan nada angkuh, tetapi suara halus nan lembut penuh pengertian.

Bayu tersentak kecil, kemudian tersenyum teduh saat menyadari siapa gerangan wanita menyapanya. "Ini ... Mas mau bikin pesanan," jawab Bayu sambil memulai memasak pesanan wanita angkuh tadi. Dengan cekatan tangannya memasukan beberapa bahan ke dalam wajan.

"Kamu kenapa ke sini? Kan sudah Mas bilang tunggu di rumah aja. Kamu belum sembuh bener lho, San," ucap Bayu penuh perhatian. Namun, fokusnya masih tetap pada masakan yang sedang digelutinya.

Yang ditegur hanya terkekeh, kemudian memilih untuk membantu Bayu dan menyiapkan bahan-bahan lainnya.

"Aku antar teh manisnya dulu ke meja mereka, ya." Tanpa menunggu persetujuan, Sandra-wanita yang baru saja bertegur sapa dengan Bayu, membawa satu gelas teh manis di atas nampan pada seorang perempuan yang duduk sendiri di meja nomor tiga. Tentu saja dengan dua lelaki kekar yang berdiri setia di belakangnya.

"Silahkan," ucap Sandran menyodorkan teh manis dengan sopan. Wanita yang sedang fokus mengoprasikan tab itu segera mendonggak. Menatap Sandra dari ujung kepala sampai ke bawah. Tanpa ekspresi, tanpa bisa ditebak pikirannya.

Tentu saja hal itu membuat Sandra tidak nyaman, tetapi tetap mempertahankan senyumannya.

Merasa tidak mendapat respon dari pembelinya. Sandra dengan segera mengundurkan diri dari sana. Memilih untuk kembali kepada Bayu yang nyaris selesai menyiapkan pesanan.

"Mas ke sana dulu, ya." Kalimat pamit itu dibalas dengan senyuman oleh Sandra.

Kurang dari satu menit, Bayu sampai di meja wanita itu. Menata satu piring nasi goreng yang tadi dipesan, lalu berbenah diri untuk kembali ke tempat masak.

"Perempuan tadi, kekasihmu?" Namun, suara dengan nada sombong itu mampu menghentikan langkahnya. Bertanya dengan wajah tenang sembari mulai menyendok makanannya.

"Ah, itu tadi istri saya," jawab Bayu dengan bangga. Tidak lupa senyum terpatri di wajahnya yang tiba-tiba berseri. Sangat berbeda dengan senyum yang tadi ia berikan pada wanita angkuh itu.

Pergerakan wanita itu terhenti saat mendengar jawaban Bayu, bahkan cengkeramannya mengeras pada ujung sendok dan garpu. Akan tetapi, sebisa mungkin tidak ia tunjukan dengan jelas. Tetap mempertahankan benteng elegannya. "Menjijikan," desisnya tanpa sadar.

"Maaf?" ucap Bayu memvalidasi, takut-takut salah dengar kalimat hina itu.

"Ah, forget it! Hanya ingin bilang, kalau kamu lebih tampan dilihat dari dekat," ucapnya berusaha menggoda

Tak ingin memikirkan lebih jauh, tak minat juga menanggapi ocehan tudak jelas itu. Bayu memilih untuk kembali mengayunkan langkah. Kemudian, terdengar suara Sandra dari tempatnya memasak.

"Mas Bayu! Ada pesanan lagi buat Pak Rama!" serunya sedikit berteriak.

"Iya, Say. Mas segera meluncur."

Dan ucapan tersebut, bukan hanya memberikan efek kupu-kupu untuk Sandra, tetapi memberikan efek kemarahan bagi wanita yang kini sudah benar-benar hampir mematahkan sendok dalam genggamannya.

Elinor Chloe

"Tunggu sampai kalian merasa hidup di neraka dan kau memohon ampunanku, Sayang."

***

Love TragedyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang