14. Si Iblis

326 47 22
                                    

“Sampai kapan kalian mau diem-dieman?” Rigel sudah mulai jengkel dengan kedua sahabatnya yang sejak kemarin tak saling bicara. Padahal ia sengaja reservasi di restoran terkenal yang eksklusif ini karena ingin menyediakan tempat yang nyaman untuk Jena dan Leon bicara dari hati ke hati, tapi masih saja dua sahabatnya itu saling mendiamkan. “Udah pada tua tapi kelakuan kayak bocah. Sadar lo berdua.”

Jena mendelik sewot karena omelannya. “Bukan gue ya, yang kayak bocah. Tapi temen lo itu tuh!” tukas wanita itu sambil menunjuk Leon.

Leon seketika bereaksi mendengar sindiran Jena. “Gel, bilang ke temen lo itu, gue udah berusaha minta maaf ke dia waktu di lobby tadi. Tapi dianya yang nggak mau maafin gue. Lalu sekarang dia bilang gue kayak bocah? Padahal yang kayak bocah itu jelas-jelas dia!”

“Mana ada orang yang minta maaf sambil rangkul-rangkul dan cengengesan? Dikira gue marahnya cuma main-main? Bilang ke temen lo itu Gel, gue nggak butuh maaf dari dia. Yang gue butuhkan itu sikap dewasa!” Jena menyembur lagi.

“Gue kurang dewasa apa? Temen lo itu Gel, nuduh gue nggak dewasa hanya karena satu artikel nggak jelas, padahal dia nggak tahu yang sebenarnya terjadi. Sekarang siapa menurut lo yang nggak dewasa di sini?” lawan Leon sengit.

“Kalau gitu coba tanya ke temen lo itu Gel, apa yang sebenarnya terjadi? Suruh dia cerita kalau berani!” Jena kembali melemparkan serangannya.

Kali ini Leon tak berkutik. Mulutnya terkunci, tak mampu menjawab Jena.

Jena tertawa sinis. “Tuh! Lo lihat sendiri kan? Dia nggak bisa jawab. Jadi apa bedanya sekarang dengan masalah-masalah yang dulu pernah dia timbulkan? Kayak gitu gue malah dibilang nuduh. Padahal gue nggak nuduh, tapi kenyataan! Temen lo itu Gel, kalau berbuat suka seenaknya aja. Nggak dipikir dulu!”

“Temen lo itu juga kalau ngomong suka seenaknya! Gue bosen lihat dia bersikap seperti Emak gue. Ngatur-ngatur seakan dia paling tahu yang terbaik buat gue!” Leon berseru tajam.

“Apa lo bilang???” Jena sudah naik pitam.

'TRANG!!!!'

Suara pisau dan garpu yang diletakkan dengan keras terdengar nyaring karena beradu dengan piring beling.

Jena yang tadinya sudah membuka mulut hendak membalas ejekan Leon, langsung menutup mulutnya kembali. Dengan takut-takut ia melirik Rigel dari ujung mata.

Rigel menatap kedua sahabatnya bergantian dengan wajah terlipat. Kedua sahabatnya yang sama-sama keras kepala ini memang sering sekali menguji kesabarannya.

“Gue sengaja ngajak kalian makan di sini bukan buat nyediain tempat berantem. Susah-susah gue reservasi di sini, tapi kalian sama sekali nggak menghargai gue.”

Leon menunduk begitu mendengar nada bicara Rigel yang dingin.

“Kalau gini caranya, gue nggak nyaman makan sama kalian. Kalian kira, cuma kalian aja di dunia ini yang berhak marah? Mendingan gue balik.” Rigel berdiri dengan cepat hingga kursinya terdorong ke belakang menimbulkan derit tajam, lalu pergi meninggalkan Leon dan Jena yang tak berani membantah kemarahannya. Mereka berdua hanya memandang kepergian Rigel dalam diam.

Ketika hampir sampai di pintu keluar, tiba-tiba saja Rigel berbalik dan kembali.

“Gel ....” Jena sudah membuka mulut, menyambut dengan penuh kelegaan, tetapi Rigel memotong perkataannya.

Lunatic Love [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang