45. Deduksi

251 34 26
                                    

"Kenapa harus Ve??"

Rigel menatap sahabatnya yang bertanya padanya dengan begitu berapi-api. Baru juga hari ini dimulai, tapi ia sudah diserang banyak pertanyaan oleh Leon.

"Sebelum lo tanya begini dan begitu, seharusnya lo cerita dulu ke gue detil kejadiannya."

Leon tak segera menjawab. Telinganya menangkap beberapa desis obrolan anak buah Rigel di sekitar mereka. Di sini terlalu ramai. Akan beresiko jika mereka membahasnya sekarang.

"Oke. Gue ceritain sekalian makan siang. Di Starbucks."

"Nggak bosen ke situ terus?" sahut Rigel hingga membuat Leon jadi batal berjalan ke arah lift.

"Emang lo pernah bosen sama kopi?" balas Leon dengan kening berkernyit. Rigel yang caffeine addict bosan dengan kopi? Whoa. Tak biasanya.

"Bukan masalah kopinya. Gue lagi pingin makan makanan berat."

"Nasi Padang Uda?"

Dan ketika sahabatnya itu mengangguk, Leon tersenyum puas. "Siip! Nanti siang kalau gitu!" serunya.

***

"Uda!!!!" seru Leon yang sedetik kemudian buru-buru membekap mulutnya sendiri. Akibat ulahnya, beberapa pengunjung yang sedang makan serempak menoleh ke arahnya.

"Maaf." Leon meminta maaf sembari menganggukkan kepala. Tak lupa memasang senyum agar permintaan maafnya terlihat lebih tulus. Setelah itu ia kembali berbisik kepada pria paruh baya yang sedang berjalan menghampirinya dan Rigel. Lengkap dengan serbet tersampir di pundak kiri. "Udaaaaa ...."

"Eh, Tuan Muda sama Paduka. Mari, silahkan duduk. Tumben cuma berdua, Non Jen mana?"

"Nggak ikut. Katanya mau makan di sekitar kantor aja biar nggak terlambat meeting. Lagi sibuk-sibuknya dia," jawab Leon. Tangannya menarik sebuah kursi untuk ia duduki.

Seperti biasa, mereka memilih meja yang terletak di bawah kipas angin karena makan masakan Padang tak pernah bisa membuatmu tak berkeringat karena nikmatnya.

"Non Jen udah nggak berantem lagi sama pacarnya?"

"Berantem sih udah nggak, tapi ya nggak mesra juga. Ah, udahlah. Emang tuh dua manusia hubungannya rumit kayak pelajaran Matematika."

"Matematika sih, gampang." Rigel menyusul duduk di hadapan Leon. "Semua kurikulum di Matematika mempunyai rumus. Soal di Matematika itu, mau dibolak-balik kayak gimana juga pasti ada jawabannya. Karena Matematika adalah ilmu pasti."

Leon dan Uda menatap Rigel bengong.

"Yang paling rumit itu justru kurikulum tentang hubungan antara cewek sama cowok. Isinya cuma cinta dan benci abadi. Sedih dan saling menghibur, bertengkar lalu berbaikan, saling nyuekin tapi habis itu kangen. Bener-bener hubungan dengan level kesulitan yang paling tinggi."

Mulut Leon dan Uda kini membuka perlahan-lahan.

Rigel menyadari keduanya yang menatapnya dengan mulut terbuka.

"Kenapa kalian? Kok ngelihatin gue sampai melongo?"

"Gel ...," desis Leon.

"Apa?"

"Lo serius amat jawabnya. Kan gue tadi cuma bercanda ...."

"Kapan gue serius? Gue juga barusan bercanda."

"Yang kayak gitu bercanda?" Leon memastikan jika ia tak salah dengar.

"Iya."

Uda pun menggeleng takjub.

Lunatic Love [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang