Chapter 1

902 79 2
                                    

-Enam bulan sebelumnya-


Jennie baru saja pulang dari bekerja, dia hempaskan badannya ke sofa coklat di tengah ruangan apartemennya. Sulur-sulur yang merambat di depan jendela menghalangi cahaya matahari jingga yang terpekur sebelum terbenam. Dipejamkannya kedua mata, lalu menghela napas panjang, berusaha untuk santai. Biarpun memejamkan mata, Jennie masih tersenyum, teringat Jeno dan obrolan ringan mereka.


Kata Jisoo, Jeno sebenarnya sudah mengincarnya sejak lama untuk didekati. Jennie termenung dalam senyuman yang tak kunjung hilang di bibirnya. Sejak pertama dia dikenalkan dengan Jeno, salah satu karyawan baru di divisinya, dia langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Tetapi tidak disangkanya Jeno mungkin menyimpan perasaan yang sama, hingga Jisoo mengatakan kepadanya.


Siang tadi, Jeno tiba-tiba mendekatinya ketika Jennie sedang menuang air panas dari dispenser ke cangkir yang berisi kopi instan. Aroma kopi langsung menguar, memenuhi ruangan, menciptakan keharuman yang menyenangkan. Jeno menyapanya biasa-biasa saja, dan Jennie sudah salah tingkah menghadapinya. Tetapi kemudian lelaki itu bertanya apakah Jennie ada kegiatan di akhir pekan ini – yang langsung dijawab Jennie bahwa dia tidak kemana-mana – dan kemudian ajakan kencan itu datang. Jeno mengajaknya ke sebuah acara pameran komputer di sudut kota. Bukan kencan dalam arti sebenarnya memang, tetapi bukankah ketika lelaki dan perempuan memutuskan untuk keluar bersama di akhir pekan....bisa disebut sebagai kencan?


Kencan...Jennie membuka matanya dan menatap ke sekeliling ruangan rumahnya. Dia bahkan tidak pernah memikirkannya sampai akhir-akhir ini. Sejak kecelakaan yang menyebabkan ayahnya meninggal, Jennie menyibukkan diri untuk mengurus harta peninggalan ayahnya. Jennie menjual semuanya, dengan alasannya sendiri.


Sambil menghela napas panjang, Jennie berdiri. Dia lalu melangkah ke dapur, menuangkan kopi dari mesin pembuat kopi ke cangkirnya, kopi itu sudah tidak panas lagi karena sisa dari kopi yang dibuatnya di pagi hari sebelum berangkat kerja. Tetapi Jennie masih bisa merasakan rasa asam khas kopi yang nikmat di sana. Dahinya mengernyit dan dia menghela napas, dia hampir-hampir bisa disebut kecanduan kopi. Pagi, siang, dan malam...dia tidak bisa hidup tanpa menuang secangkir kopi untuk mengisi lambungnya yang kadang-kadang menolak dan berunjuk rasa dengan rasa perih yang menggigit di sana.


Tetapi Jennie butuh membuka matanya. Sejak kematian ayahnya, Jennie hampir terlalu takut untuk tidur. Benaknya dipenuhi ketakutan, ketakutan yang dia tidak tahu karena apa... ketakutan itu seperti menyimpan rahasia gelap yang mengerikan. Membuat Jennie dipenuhi kewaspadaan setiap malam, takut kalau-kalau kegelapan itu menyergapnya ketika dia memejamkan mata.


Jennie sudah menghubungi psikiater yang merawatnya sejak kejadian kecelakaan itu. Kata psikiater-nya, rasa takut tanpa alasan yang dirasakan Jennie hanyalah efek manifestasi trauma atas kecelakaan yang menyebabkan dia terluka parah, dan menewaskan ayahnya. Psikiater itu merawatnya dengan baik, session demi session, sampai kemudian Jennie merasa dirinya sudah sembuh, bebas, dan bahagia tanpa ketakutan yang menghantui.


Sekarang semuanya sudah baik-baik saja. Jennie mendesah dalam keheningan. Dia sudah bebas. Sekarang dia bisa memulai hidup yang baru, bisa mencoba membuka hati dan jatuh cinta lagi.


Rasa takut itu sudah ditinggalkannya jauh-jauh. Dia bebas sekarang, tidak akan ada lagi kegelapan yang mengintai dan berusaha menyakitinya. Mungkin memang cahaya terang sudah memasuki kehidupannya. Jennie tersenyum, membayangkan jalan indah yang mungkin akan dilaluinya bersama Jeno nanti.

DATING WITH THE DARK (TAENNIE VERSION)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang