Chapter 2

535 65 1
                                    


Setelah insiden itu, Jeno mengantarkan Jennie pulang, dan pada akhirnya setelah Jennie memaksanya dan meyakinkan bahwa dia baik-baik saja, lelaki itu mau meninggalkannya dan pulang.

Malam itu Jennie berbaring di dalam kegelapan, berusaha tidur tetapi matanya nyalang. Dia lalu duduk dan membuka laci di samping ranjangnya, di sana ada obat pil kecil di dalam botol kaca, obat penenang dari psikiaternya, dengan dosis kecil, hanya diminum kalau Jennie mengalami serangan panik akibat trauma kecelakaannya.

Dia sudah lama sekali tidak meminum pil itu....

Apakah sekarang dia harus meminumnya lagi? Ingatan akan kejadian di restoran tadi masih membuatnya mual. Rasanya begitu menyiksa ketika merasa ketakutan tetapi tidak tahu kenapa.

Jennie menghela napas panjang, menutup kembali laci itu dan berusaha melupakan niat untuk meminumnya. Dia sudah sembuh, dia tidak akan kembali lagi menjadi Jennie yang depresi dan didera ketakutan. Mungkin lilin itu hanya mengingatkannya pada sesuatu di masa lalunya, sesuatu yang mungkin sudah tenggelam dalam ingatannya sehingga tidak bisa dipikirkannya lagi.

Jennie akan berusaha supaya tidak dikalahkan oleh ketakutannya. Dia pasti bisa. Apalagi dengan hadirnya Jeno dalam hidupnya yang membawa secercah cahaya baru bagi kehidupan Jennie.

Jeno...

Tanpa sadar bibir Jennie mengurai seulas senyuman ketika mengingat makan malam mereka yang indah, yang diselingi dengan percakapan yang mengasyikkan, semuanya sempurna dengan Jeno dan Jennie berharap akan selalu sempurna..

***

Pagi hari ketika Jennie memasak sarapannya, telur dan roti panggang, ponselnya berdering dan dia langsung mengangkatnya ketika melihat ada nama Jeno di sana,

"Halo?" Jennie bahkan tidak bisa menyembunyikan senyumnya yang terurai yang terpantul dalam suaranya.

"Jennie, bagaimana keadaanmu?" Suara Jeno tampak renyah di seberang sana, membuat senyum Jennie melebar.

"Aku baik-baik saja, maafkan aku ya kemarin membuatmu cemas."

"Aku senang kau baik-baik saja." Jeno berdehem sejenak, lalu berkata, "Aku mampir ke sana ya, kebetulan sekarang sedang di dekat rumahmu, kita berangkat kantor bersama."

Senyum Jennie melebar tanpa dapat ditahannya, "Iya, aku tunggu ya."

***

Setelah mematikan teleponnya, Jeno menyetir mobilnya dengan sedikit lebih kencang, menuju ke arah rumah Jennie, impulsif memang. Tetapi reaksi Jennie kemarin membuatnya cemas, ada sesuatu di sana, Jennie sudah jelas-jelas ketakutan meskipun perempuan itu mungkin tidak menyadari kenapa.

Sudah tugas Jeno untuk menjaga Jennie.

Dulu dia melakukannya karena memang pekerjaan, tetapi sekarang dia sadar. Ada perasaan yang terlibat, dan perasaan itu ingin memastikan bahwa Jennie akan selalu baik-baik saja.

Ponselnya berkedip-kedip lagi, membuat Jeno meliriknya. Dia mengangkatnya dan berdehem lagi, mencoba menenangkan suaranya.

"Apakah ada tanda-tandanya?" suara di seberang sana tanpa basa-basi langsung bertanya. Tetapi memang tidak perlu ada basa-basi lagi, mereka harus mengatur percakapan seefektif dan sesingkat mungkin untuk menghindari bocornya informasi.

Jeno tanpa sadar menganggukkan kepalanya meskipun menyadari bahwa orang di seberang sana tidak mungkin melihatnya, "Kemarin dia sangat shock, ada sesuatu aku yakin.... aku akan berusaha mencari informasi."

"Bagus." Suara di seberang sana terdengar tegas, "Dan pastikan dia tetap aman. Kita sudah mengusahakan segala cara untuk menyembunyikannya, jangan sampai apa yang sudah kita lakukan ini gagal seluruhnya."

DATING WITH THE DARK (TAENNIE VERSION)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang