Taehyung ada di sana. Menatap dari kejauhan di dalam sebuah rumah yang tepat berada di depan rumah putih itu. Taehyung memang sengaja membeli rumah ini jika saatnya tiba. Matanya terus menatap ketika Jennie memasuki rumah itu.
Dia tidak bisa menahankan apa yang bergejolak di benaknya dan memejamkan matanya. Akankah Jennie menyadarinya? Menyadari Taehyung yang menunggu saat-saat ini tiba? Menunggu sekian lama dalam kegelapan untuk Jennie?
Matanya menyorot tajam ketika melihat pintu rumah itu terbuka dan Jeno menggendong tubuh Jennie yang pingsan terkulai tak berdaya. Gerahamnya mengeras, menatap sosok Jeno yang lengannya melingkari tubuh Jennie.
Tidak bisa dibiarkan...memang waktunya akan segera tiba.
***
Aroma kopi yang familiar menyentuh hidung Jennie, membuatnya mengerjapkan mata dan mengernyitkan keningnya, kepalanya terasa pening seperti dihantam sesuatu, dia membuka matanya dan menyadari bahwa dia berada di dalam kamarnya sendiri.
"Kau sudah sadar? Kau ingin secangkir kopi?" ranjangnya bergemerisik ketika Jeno duduk di kaki ranjangnya, membawa secangkir kopi yang mengepul panas.
Jennie berusaha duduk pelan, dan menatap Jeno yang tersenyum penuh rasa bersalah,
"Aku tidak tahu orang yang habis pingsan boleh minum kopi atau tidak." Jeno menatap Jennie lembut, "Hanya saja aku tahu kau menyukainya."
Jennie mau tak mau membalas senyuman lembut itu, "Terima kasih." Bisiknya pelan ketika Jeno menyodorkan cangkir kopi itu ke bibirnya, dia menerimanya dan menyesapnya pelan.
Rasa pahit bercampur manis yang tajam langsung mengembalikan kesadarannya, Jennie menyerahkan kembali cangkir kopi itu kepada Jeno dan lelaki itu meletakkannya di meja kecil di dekat ranjang.
"Aku pingsan." Itu pernyataan, bukan pertanyaan.
Jeno menganggukkan kepalanya, "Langsung pingsan setelah melihat lilin berwarna biru itu, sama seperti kejadian di restoran itu."
Jennie menghela napas panjang, kelebatan ingatan itu membuat jantungnya berdenyut pelan. Lilin berwarna biru sejumlah sembilan buah yang disusun setengah melingkar di dalam kamar rumah itu memang tidak menyala, berbeda dengan yang direstoran. Tetapi efeknya sama, menghantamnya sekeras badai.
Pertanyaannya...Kenapa?
Jennie mulai merasa pening karena tidak menemukan jawaban. Dengan lembut Jeno mendorongnya kembali ke ranjang dan menyelimutinya,
"Jangan dipaksakan, kau akan ingat nanti, pelan-pelan ya, sekarang istirahatlah." Lelaki itu berdiri lalu membungkuk di atasnya, sejenak meragu, tetapi kemudian mengecup keningnya, membuat Jennie memejamkan mata.
Ketika Jeno melangkah meninggalkan kamar itu, Jennie menatap nyalang ke langit-langit kamarnya, merasa bingung.
***
"Aku tidak tega melakukan ini kepadanya, sepertinya setiap dia berusaha mengingat, dia pingsan." Jeno bergumam kepada atasannya melalui telepon.
Atasannya terdiam, tampak berpikir, kemudian berkata, "Kau harus membuatnya ingat, Jeno. Hanya ingatannyalah yang bisa membantu kita menemukan "Sang Pembunuh". Kau tahu hanya Jennie dan ayahnyalah yang pernah bertatap muka dengannya. Ayah Jennie sudah meninggal, jadi hanya Jennie satu-satunya harapan kita."
Jeno menghela napas, menyadari kebenaran kata-kata atasannya. Tetapi melihat Jennie yang pucat dan begitu rapuh itu membuat hatinya sakit. Bagaimana nanti kalau Jennie menyadari kebenarannya? Sekarang Jeno tidak boleh mengatakannya...tetapi pada saatnya nanti, Jennie akan tahu.. dan dia akan...hancur.
KAMU SEDANG MEMBACA
DATING WITH THE DARK (TAENNIE VERSION)
RomanceOriginal Story from SANTHY AGATHA's NOVEL "DATING WITH THE DARK" Tidak ada yang diubah kecuali nama cast dan beberapa nama tempat/kota/negara. Tidak mengubah alur cerita! I'M NOT OWN THIS STORY! * "Kehidupan mungkin hanyalah sebuah perjamuan dan kem...