Lima bulan kemudian.Joanna sudah kerja di perusahaan plastik yang baru saja beroperasi pada empat bulan terakhir. Sebagai manajer sumber daya manusia. Membuatnya tidak bisa bersantai sehari saja. Karena pasti akan ada saja masalah yang ditimbulkan oleh para karyawan.
Mengingat pabrik plastik ini memiliki kurang lebih 600 karyawan. Sehingga banyak pula manusia yang harus diurus dirinya. Sebab perusahaan ini memang anak cabang yang pertama.
Mau tidak mau Joanna harus memperhatikan kesejahteraan karyawan lebih ekstra supaya perusahaan ini dapat berjalan secama maksimal. Agar kelak dapat tercipta cabang-cabang yang lainnya.
"Ada apa lagi anak ini?"
"Besok Ibu dan Bapak tidak bisa ambil raport Aruna. Kamu bisa izin sebentar?"
Joanna yang baru saja pulang langsung menatap Aruna kesal. Meskipun sebenarnya hal ini bukan sesuatu yang berat baginya. Mengingat dia belum pernah izin sebelumnya.
"Iya, awas saja kalau tidak ranking satu!"
Seru Joanna sembari memasuki kamar. Melepas pakaian dan berniat mandi sekarang. Sebab matahari hampir tenggelam dan dia sudah lapar.
Ketika makan malam, Aruna tampak ceria. Tidak seperti sebelumnya yang menekuk wajah ketika Joanna pulang. Sebab dia memang sangat suka merajuk jika menghadapi sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan.
"Bapak dengar tadi ada yang kecelakaan lagi. Siapa kali ini?"
"Oh, tadi. Dini, anak desa sebelah. Dia melamun waktu kerja. Tapi tadi langsung dibawa ke rumah sakit terdekat. Keadaannya juga tidak parah dan bisa langsung pulang."
"Kamu yang hati-hati! Hampir setiap hari pasti ada yang sakit! Ada juga yang meninggal setiap dua bulan sekali."
Joanna mengangguk singkat. Tidak ingin mendebat ucapan ibunya. Sebab dia sedang lapar.
"Kata Sumi, kamu sering pulang dengan Jeffrey. Kalian tidak ada apa-apa kan, selama ini?"
Tanya Rendy khawatir. Sebab dia memang bisa melihat hal-hal ghaib. Sehingga dia dapat merasakan aura negatif dari tubuh Jeffrey.
"Tidak ada. Aku pulang dengan dia karena searah saja. Tidak ada apa-apa."
"Ya sudah! Awas saja kalau kamu sampai ada apa-apa! Ibu dan Bapak tidak akan setuju, ya!!! Mau sekaya apapun dia!"
Joanna tidak bereaksi apa-apa. Membut Rendy langsung bersuara. Hingga Joanna merengggut kesal padanya.
"Mulai besok Bapak jemput sekalian! Setengah jam sebelum pulang telepon saja."
Joanna yang tidak mau membuat orang tuanya khawatir hanya bisa mengiyakan. Sebab dia sudah terlampau lelah dan tidak ingin berdebat. Karena dia memang tidak memiliki rasa pada bosnya meskipun pria itu sering mengantarnya pulang.
7. 30 AM
Besoknya, Joanna diantar Rendy seperti biasa. Naik motor ke tempat kerja. Ketika melewati depan rumah Jeffrey, Joanna sempat tersenyum kecil. Karena dia melihat Jeffrey baru saja akan memasuki mobil.
Jeffrey menatap Joanna lama sekali. Wajahnya agak menyiratkan kecewa meskipun sedikit. Sebab dia sudah memiliki rasa pada wanita ini. Karena mereka memiliki kesamaan yang tidak dimiliki orang lain. Yaitu sama-sama harus mengurus anak kecil yang seharusnya menjadi anak sendiri.
"Nanti minta antar Joanna saja, adiknya juga sekolah di sana. Biar sekalian dia ambil raport Aruna."
Jeffrey mengangguk singkat. Dengan wajah kesal. Sebab lagi-lagi harus dijadikan tumbal ibunya.