1/1

2.2K 128 69
                                    


Joanna baru saja tiba di depan rumah orang tuanya yang ada di desa. Rumah sederhana khas orang desa yang lantai keramik setiap ruangannya berbeda-beda. Teras warna hitam, ruang tamu warna putih tulang, kamar warna merah bata, dapur warna hijau tua dan kamar mandi warna biru dengan permukaan kasar. Agar tidak licin ketika terkena sabun dan air banyak.

"Rumah bagus di depan itu rumah siapa, Bu?"

Tanya Joanna ketika melepas sepatu. Lalu menyalami sang ibu yang baru saja mengantar Aruna mengaji di TPQ. Sebab Joanna memang memiliki adik yang masih berusia tujuh tajun. Terpaut 21 Tahun dengan usianya saat itu.

"Bos plastik! Dia pindah di sini karena mau membangun pabrik di sini. Sudah hampir jadi. Banyak orang yang direkrut juga di sini. Kamu tidak mau melamar di sana juga? Dekat dari rumah, tidak perlu buang-buang biaya kosan dan makan."

Joanna merenggut kesal. Sebab Liana memang terus saja membujuknya untuk kerja di dekat-dekat rumah. Tidak di kota yang jauh dari rumah. Sebab Joanna memang hanya pulang setahun sekali saja. Tidak heran jika dia terkejut ketika ada rumah besar yang sudah ada di depan. Karena setahun lalu rumah itu masih belum ada atapnya.

"Ibu mau ambil rendang di rumah Bu Dhe Sonya. Bapak sedang beli kelapa muda. Nanti tolong jemput Aruna satu jam lagi, ya? Dia pasti senang melihatmu pulang. Ibu dan Bapak tidak bilang soalnya."

Joanna mengangguk cepat. Sebab dia memang sangat merindukan adiknya. Ya, meskipun terkadang nakal dan menyebalkan. Namun tetap saja, Aruna akan menjadi anak kesayanagn semua orang di rumah.

Setelah ibunya pergi, Joanna langsung mandi dan makan. Lalu istirahat sebentar. Kemudian menjemput Aruna di tempat mengaji sekarang.

Bagus sekali rumahnya. Kapan aku bisa punya rumah seperti ini, ya?

Batin Joanna sembari menatap rumah penuh kaca di depan gang. Sungguh, rumah ini sangat indah. Bak, rumah orang-orang kaya di kota. Karena bermodel sederhana namun elegan.

Ketika sedang asyik menatap rumah ini, Joanna tiba-tiba saja melihat pria tinggi dengan kemeja hitam dan jeans navy

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ketika sedang asyik menatap rumah ini, Joanna tiba-tiba saja melihat pria tinggi dengan kemeja hitam dan jeans navy. Penampilannya rapi, dia tampak ingin keluar sembari membawa amplop kecil banyak sekali. Membuat Joanna baru ingat kalau ini adalah malam terakhir puasa di tahun ini.

Ah, mau zakat kali.

Batin Joanna sembari melanjutkan jalan lagi. Lalu membalas sapaan orang-orang yang ditemui. Joanna juga sempat berhenti, membuat pria tadi sedikit melirik.

"Pasti mau jemput Aruna, ya? Dia seusia anakku sekarang, kamu kapan nikah?"

"Hehehe, nanti kalau jodohnya sudah datang. Aku permisi dulu, ya?"

Joanna langsung pergi menuju tempat Aruna mengaji. Di sana cukup ramai karena banyak anak-anak kecil. Sekaligus ibu-ibu yang menunggui anaknya pulang mengaji.

"Ya Tuhan anak ini!"

Joanna menggeleng pelan ketika melihat adiknya yang sedang memakan sosis bakar di atas ayunan. Bersama teman-temannya. Dengan tangan kanan yang memegang sosis bakar dan tangan kiri memegang es cekik warna merah muda.

"Aruna!!!"

"KAKAK!!!"

Aruna berlari setelah menuruni ayunan. Dia langsung memeluk Joanna setelah melempar tusuk sosis ke sembarang arah. Sebab dia sudah menelan semua sisa sosis yang tersisa.

Joanna terkekeh pelan. Dia jongkok sekarang. Membalas pelukan adiknya di samping pintu gerbang tempat mengaji Aruna.

"Kamu tidak puasa? Kata Ibu kamu puasa."

Aruna mulai melepas pelukan. Lalu meminum es cekiknya. Di depan Joanna yang ingin minum es juga. Ingatkan dia untuk minta ketika tiba di rumah. Sebab saat ini dia datang bulan dan tidak puasa.

"Aku puasa, dong! Puasa setengah hari!"

"Lak kok makan sampai sore?"

"Kata Ibu it's oke, tuh! Soalnya aku masih kecil! Kak, lihat deh! Ada Kak Jeffrey, dia ganteng kan? Kenalan sana! Siapa tahu aku bisa punya Kakak ipar orang kaya!"

Joanna mengikuti arah pandang adiknya. Pada pria tinggi yang sempat dilihat sebelumnya. Dia baru saja keluar dari rumah kepala desa. Sendirian. Dengan tangan kosong dan wajah datar. Serta, hanya tersenyum tipis ketika orang-orang menyapa.

"Ogah! Orangnya terlihat sombong sepertinya. Ayo pulang! Jangan habiskan esnya! Nanti Kakak minta!"

Aruna langsung terkekeh kencang. Mengejek kakaknya yang juga tidak puasa seperti dirinya. Di belakang mereka juga ada Jeffrey yang diam-diam menyimak pembicaraan mereka. Sembari menahan penasaran. Sebab selama enam bulan tinggal di sini tidak pernah melihat Joanna.

Ceklek...

Jeffrey baru saja memasuki rumah. Dia menatap Sumi yang baru sedang menyiapkan makanan untuk berbuka. Di atas meja ruang makan.

"Mbak, Pak Rendy punya anak berapa?"

"Punya empat anak, Den. Satu laki-laki dan tiga perempuan. Anak pertamanya perempuan, dia kerja di Jakarta. Anak kedua laki-laki dan kerja di Papua. Anak ketiga kuliah di Semarang dan anak terakhir yang biasa main dengan Kiara. Kenapa, Den?"

"Tidak kenapa-kenapa, aku penasaran saja. Soalnya tadi ada yang jemput teman Kiara. Sepertinya anak pertama Pak Rendy dan Bu Liana."

"Owalah, baru pulang berarti. Cantik ya, Den? Hehehe."

Godaan Sumi membuat Jeffrey mengendikkan bahu. Lalu segera berlalu. Menuju ruang tamu. Karena dia lupa jika ponselnya ada di tempat itu.

7. 50 PM

Suara takbir dan petasan sudah terdengar. Joanna, Aruna dan kedua orang tuanya sedang berada di ruang keluarga. Sebab masih melangsungkan video call dengan Adnan dan Vega.

Sebab mereka tidak bisa pulang karena ada masih terikat kontrak di tempat kerja dan magang. Andan di Papua dan Vega di Amsterdam, dia magang di sana bersama tiga temannya selama tiga bulan dan tidak bisa pulang karena sayang biaya.

"Assalamualaikum..."

Joanna langsung menuju depan. Bersama Aruna yang ingin mengambil kacang. Lalu terkejut ketika melihat Kiara datang. Anak kecil yang sebelumnya Joanna lihat bermain ayunan bersama Aruna.

"Oh iya lupa! Kak kerudungku mana? Aku mau lihat petasan di lapangan?"

"Joanna, temani adikmu! Bahaya kalau tidak ada yang mengawasi anak itu!"

Mau tidak mau Joanna mulai mengikuti Aruna yang kini sudah mamakai kerudung hitam. Sama seperti apa yang Kiara kenakan. Mereka bergandengan tangan dan membuat Joanna merenggut kesal di belakang.

Joanna menemani adiknya selama satu jam. Di sana sangat ramai ternyata. Namun hanya diisi oleh anak-anak muda. Tidak jarang juga ada yang menggoda dirinya.

"Di sini saja! Jangan maju-maju! Kiara juga, jangan mau kalau dihasut!"

Aruna merenggut kesal. Lalu menatap petasan yang baru saja dihidupkan. Namun, fokusnya terjeda ketika melihat Jeffrey yang tiba-tiba saja datang dan memanggil Kiara.

"Kiara, ayo pulang!"

"Aku pulang dulu, ya? Besok pagi jemput aku, jangan lupa!"

"Iya, dadah!!!"

Joanna dan Jeffrey sempat berpandangan. Sebelum akhirnya Jeffrey pergi bersama Kiara yang masih melambaikan tangan pada Aruna. Karena mereka memang seumuran dan sekolah di tempat yang sama. Satu bangku pula.

"Itu Bapaknya?"

"Iya."

"Lalu Ibunya?"

"Meninggal, karena jadi tumbal pesugihan!"

Joanna langsung menolehkan kepala. Menatap salah satu anak yang sejak tadi sempat menggodanya. Dia juga mulai tertawa. Seolah apa yang baru saja dikatakan bukan sesuatu yang menakutkan.

Jangan lupa tambahkan di library, yaaa!!!

Tbc...

PESUGIHAN [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang