7/7

609 86 115
                                    

11. 55 AM

Jeffrey baru saja mengupas pisang. Lalu disuapkan pada Joanna yang mengeluh malas makan. Sebab sedang sakit perut karena datang bulan.

Ini saja, dia baru selesai dari kamar mandi dibantu ibunya. Guna memasang pembalut sekligus cuci wajah. Sebab sejak semalam dia tidak menyentuh air kecuali untuk diminum saja.

"Minimal makan dua sebelum minum obat."

Joanna mengangguk singkat. Saat ini mereka hanya berdua saja. Karena orang tua dan adik-adik mereka sedang ke kantin guna makan siang.

Tama dan sekeluarga? Tentu saja sudah pulang lebih cepat. Karena Jeffrey tidak kunjung beranjak dari kursi meskipun datang. Seolah tidak mengizinkan Tama dan keluarganya berlama-lama di sana.

"Kamu tidak lapar? Tadi pagi belum sarapan, kan?"

Jeffrey diam saja. Bingung ingin menjawab apa. Sebab dia tidak mau diusir dan disuruh cari makan.

"Ini sudah makan!"

Jeffrey mengambil pisang lain, lalu dimakan sendiri. Sama seperti apa Joanna lakukan saat ini. Membuat wanita itu tersenyum kecil. Lalu meraih beberpa pisang lagi agar Jeffrey makan kembali.

Mereka sama-sama makan pisang sembari tertawa. Perlahan, Jeffrey juga menyentuh tangan Joanna yang sejak semalam bengkak karena jarum infus yang terpasang di sana. Diusapnya pelan hingga membuat Joanna berhenti tertawa. Sebab tidak menyangka jika Jeffrey bisa seberani sekarang.

"Pasti sakit sekali, ya?"

Jeffrey memijat pelan tangan Joanna. Tentu saja hal itu membut Joanna merasa nyaman. Sekaligus deg-degan.

"Tidak, hanya sedikit kebas saja."

Joanna menarik tangannya. Sebab tidak mau terus merasa berdebar. Apalagi perutnya terasa semakin melilit juga.

"Cepat habiskan, setelah itu minum obat!"

Joanna lekas menghabiskan pisang kedua yang dimakan. Lalu meminum air mineral yang Jeffrey berikan. Disusul dengan obat yang sebelumnya telah disipakan.

"Sebenarnya Tama jadi melamarmu atau tidak?"

Tanya Jeffrey tiba-tiba, membuat Joanna jelas merasa bersalah juga. Sebab sebenarnya, Tama tetap nekat melamarnya di hari yang sama ketika Jeffrey datang. Pada jam dua belas ketika dia masih tidur siang.

"Jadi, tapi ditolak Ibu dan Bapak. Karena tidak enak pada keluargamu. Aku juga terkejut ketika tadi melihat mereka tiba-tiba menjengukku."

Jeffrey mengangguk singkat. Lalu kembali meraih tangan bengkak Joanna. Diusapnya pelan sembari ditatap lama. Seolah semakin berani karena mereka hanya berdua saja.

"Dia sering chat kamu juga?"

"Tidak, nomornya saja tidak punya."

Joanna tahu Jeffrey sedang cemburu sekarang. Sangat terlihat dari wajahnya. Apalagi ketika dia sengaja tidak kunjung beranjak dari kursi sejak Tama sekeluarga datang.

"Aku akan berusaha memenangkan hati orang tuamu. Aku harap kamu sabar menungguku."

Joanna mengangguk singkat. Saat ini Jeffrey masih mengusap tangannya. Lalu bangun dari duduknya. Mendekatkan wajah dan mengecup bibirnya. Hingga akhirnya pegangan pada tangannya terlepas karena dipakai untuk memegangi lehernya.

Suara decakan mulai terdengar. Apalagi Joanna mulai memejamkan mata. Seolah menikmati apa yang sedang Jeffrey lakukan. Hingga tidak sadar jika ada sepasang mata yang sedang mengintip sekarang.

"Aku tidak jadi pipis! Ayo kembali!"

Kiara yang awalnya berniat memasuki kamar Joanna langsung membalikkan badan. Menutup kembali pintu ruangan yang sebelumnya tidak tertutup rapat. Lalu menarik tangan Aruna agar menjauh dari sana.

Di kantin, orang tua Jeffrey dan Joanna makan dengan masing-masing pikiran yang memenuhi kepala. Tidak ada perbincangan diantara mereka. Karena Rendy dan Liana masih belum bisa menerima Jeffrey sekarang. Begitu pula dengan Sandi dan Jessica yang sejak tadi lelah mencari topik perbincangan.

Iya. Sandi dan Jessica masih mengusahakan agar Jeffrey bisa diterima oleh keluarga Joanna. Meskipun tadi pagi sempat bertengkar dengan si anak.

Karena sebagai orang tua, Sandi dan Jessica tidak mungkin tega melepas Jeffrey begitu saja. Membiarkan anak itu berjuang sendirian tanpa bantuan mereka. Apalagi susahnya restu yang didapat disebabkan oleh mereka.

Beberapa minggu kemudian.

Joanna sudah bisa berjalan. Ya, meskipun bekas jahitan di kaki kirinya belum pudar. Atau bahkan tidak akan pernah pudar. Karena luka yang didapat cukup dalam

"Kamu masih tidak boleh menjenguk?"

Jeffrey mengangguk singkat. Saat ini dia sedang makan malam di rumah. Bersama keluarganya.

"Kemarin Mbak Sumi bilang kalau melihat Tama keluar dari rumah Liana. Kamu yakin mereka tidak apa-apa? Jangan-jangan kamu dibohongi Joanna!"

"Aku percaya pada Joanna, dia tidak mungkin tega berbohong padaku!"

Jeffrey segera menghabiskan makan malamnya. Lalu bergegas keluar rumah. Berniat menuju rumah Joanna. Sebab dia sudah tidak tahan ingin bertemu si wanita.

Karena setiap dia datang, orang tua Joanna pasti mengatakan jika si anak sedang tidur. Sehingga mau tidak mau Jeffrey harus kembali pulang. Dengan perasaan hampa dan kecewa.

"Bu---"

"Joanna masih tidur!"

Ucap Liana ketus, bahkan sebelum Jeffrey menyelesaikan ucapannya saat itu. Karena dia memang benar-benar tidak setuju jika anaknya menikah dengan pria itu. Pria yang dianggap sebagai biang masalah di keluarga itu.

"Jeffrey?"

Liana langsung menarik nafas berat. Lalu memasuki rumah. Karena Joanna yang baru saja memberikan es buah di rumah tetangga baru sudah tiba.

"Ayo masuk!"

Jeffrey langsung melepas sandal. Memasuki rumah Joanna. Duduk di ruang tamu sendirian. Sembari menatap Joanna yang tampak sudah sehat dan bisa berjalan normal.

"Kamu sudah baikan?"

"Sudah. Aku bisa berjalan ke rumah tetangga juga. Mau minum apa?"

"Tidak usah. Syukur lah kalau kamu sudah sehat."

Joanna mengangguk kaku. Sebab bingung akan membicarakan apa lagi saat itu. Mengingat Jeffrey menolak dibuatkan minum.

"Kapan kamu kembali kerja?"

"Aku berencana resign saja, sudah ada yang menggantikanku juga. Seharusnya tidak apa-apa, kan?"

Jeffrey tampak mengadu alisnya. Antara marah dan kecewa. Karena Joanna sepertinya sedang ingin menjauh darinya. Sama seperti apa yang orang tuanya inginkan.

"Aku berencana kerja di balai desa saja. Kebetulan ada lowongan di sana. Lebih dekat dari rumah juga. Bapak trauma soalnya. Takut aku kembali mengalami kecelakaan di jalan seperti sebelumnya."

"Kamu masih bisa berangkat dan pulang bersamaku!"

Joanna menggeleng pelan. Senyum tipis di wajahnya juga mengembang. Dengan air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata.

Jeffrey juga sama. Dia tampak mengeraskan rahang dan megepalkan kedua tangan. Berusaha menahan emosi yang ingin meledak.

Karena selain marah dan kecewa, dia merasa cemburu juga. Sebab Jeffrey yakin jika hal ini pasti ada campur tangan Tama. Sebab dia dan ayahnya adalah perangkat desa.

Udah panas?

Tbc...

PESUGIHAN [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang