4/4

706 99 123
                                    

100 comments for next chapter, ya!!!

Aruna dan Kiara sedang makan es krim di dalam mobil yang sudah terparkir di pantai dekat minimarket tempat mereka membeli es krim. Sembari menerka-nerka apa yang sedang kakak mereka bicarakan saat ini. Sebab sebelumnya, Jeffrey tidak pernah seperti ini.

"Jangan-jangan Kak Jeffrey mau nembak Kakakku!"

Seru Aruna tiba-tiba. Saat ini pipinya sudah banyak noda coklat. Membuat Kiara terkekeh pelan dan langsung mengambil tisu untuk menyeka.

"Sepertinya sih iya. Kata Mama dan Papa, eh---"

"Tidak apa-apa, aku udah tahu kali kalau Mama dan Papamu adalah Om Sandi dan Tante Jessica. Mereka bukan kakek dan nenekmu seperti apa yang telah orang-orang kira. Lanjut saja! Tadi mau bicara apa?"

"Tunggu dulu, kamu tahu dari mana? Ini, ini sebenarnya rahasia. Aku dilarang bilang-bilang."

"Kakakku. Dia diberi tahu Kak Jeffrey, sebenarnya hanya aku yang diberi tahu Kakak. Ibu dan Bapak tidak. Kiara, aku bingung tahu! Kenapa sih identitasmu harus disembunyikan seperti itu?"

Kiara mengendikkan bahu. Lalu membuka jendela dan membuat angin laut menerpa wajah mereka saat itu. Sebab dia juga tidak tahu apa alasan pasti orang tuanya ketika merahasiakan identitasnya yang merupakan anak kedua di keluarga itu.

"Aku tidak tahu. Tapi kamu serius Kak Jeffrey yang bilang pada Kakakmu?"

"Iya! Sebenarnya aku sedikit kecewa padamu, tapi tidak jadi karena aku bisa makan es krim banyak karenamu!"

Aruna memeluk kresek yang berisi sekitar 20 es krim. Sebab Jeffrey yang membayar tadi. Sebagai sogokan agar dia tutup mulut dan tidak mengadukan pertemuan ini pada orang lain.

Berbeda dengan Aruna dan Kiara yang sedang menikmati es krim, berbeda pula dengan Joanna dan Jeffrey yang sedang sama-sama tegang saat ini. Sebab Jeffrey tidak kunjung berbicara dan membuat Joanna sedikit panik.

Karena awalnya, Joanna mengira jika Jeffrey hanya ingin membicarakan terkait pekerjaan saja. Bukan hal yang lainnya. Sampai-sampai membawanya ke pantai yang cukup sepi sebenarnya.

Namun jika ditelisik lebih dalam, akan ada banyak motor yang terparkir di sana. Sebab ini malam minggu dan banyak muda-mudi yang berkencan juga.

"Ada apa, Pak? Sepertinya ada masalah yang urgent sekali, ya?"

Tanya Joanna hati-hati. Sebab dia memang tidak mau kegeeran di sini. Mengingat dia juga selalu memasang batasan dengan memanggil Pak seperti ini. Meskipun sebenarnya, Jeffrey pernah melarang jika mereka tidak di area kantor lagi. Namun Joanna menolak karena mengatakan jika jiwa profesionalismenya tinggi.

Jantung Jeffrey berdebar-debar. Dia bingung ingin memulai dari mana. Pasalnya, dia dan Joanna memang tidak begitu dekat. Hanya sedikit juga. Karena urusan pekerjaan dan mereka bertetangga. Selain itu, mereka tidak pernah membahas urusan pribadi kecuali soal adik-adik mereka.

"Kamu punya pacar?"

Joanna mulai menatap Jeffrey. Kedua alisnya bertaut saat ini. Sebab tahu di mana arah pembicaraan Jeffrey.

"Tidak ada. Saya sedang fokus dengan karir sekarang. Tidak ingin pacaran dalam kurun waktu dekat. Pusing dan pasti banyak aturan."

Joanna langsung memalingkan wajah. Menatap depan setelah berkata demikian. Karena dia mengingat hubungan terakhirnya yang kandas karena masalah cemburu buta. Iya, karena pacarnya sering menuduh dia selingkuh padahal tidak. Hanya karena dia jarang bisa diajak berkencan sebab harus lembur setiap malam.

"Kalau langsung menikah, kamu tidak mau?"

Joanna tertawa, lalu menatap Jeffrey yang kini sudah menatap serius dirinya. Tidak ada raut candaan apalagi yang lainnya. Karena pria itu memang terkenal selalu serius dan tegas. Agak kaku juga, sehingga Joanna masih belum sadar jika ucapan Jeffrey bukan candaan. Namun sebuah pancingan.

"Hahaha! Langsung menikah? Mau, asal orangnya mapan, dewasa dan sabar seperti anda!"

Candaan Joanna membuat Jeffrey salah tingkah. Pipi dan telinganya memerah. Tubuhnya juga terasa panas. Padahal, angin masih berhembus kencang.

Joanna sebenarnya serius ketika memasukkan Jeffrey ke dalam kategori mapan, dewasa dan sabar. Sebab selama lima bulan ini dia tahu jika Jeffrey memang berkepribadian baik dan tidak menyebalkan. Pokoknya hampir sempurna kalau saja dia tidak memiliki keluarga yang tertutup dan mencurigakan.

Namun, Joanna mana berani memimpikan Jeffrey sebagai suaminya. Selain karena dia tahu batasan, ini juga karena orang tuanya yang setiap hari selalu mewanti-wanti agar dia hati-hati pada Jeffrey sekeluarga.

"Bercanda, Pak! Jangan tegang begitu! Saya tidak mungkin berani---"

"Aku akan menikahimu jika kamu mau dan keluargamu setuju. Lagi pula, orang tuaku juga sudah mendukung. Kamu tidak perlu khawatir jika itu yang membuatmu takut."

Joanna menatap Jeffrey tidak percaya. Mulutnya refleks terbuka dan langsung ditutup dengan telapak tangan. Pupilnya juga membesar. Sebab terkejut dengan apa yang baru saja didengar.

"Pak Jeffrey---"

"Jangan panggil aku seperti itu! Aku tidak suka dipanggil Pak olehmu! Memannya aku setua itu? Bagaimana? Kamu mau? Kalau iya, aku akan berbicara pada orang tuamu."

Joanna langsung menggelengkan kepala. Bukan, bukan karena menolak. Dia masih waras dan tidak mungkin mau menyia-nyiakan kesempatan emas.

Menikahi pria baik, tampan dan kaya? Siapa yang akan menolak? Tidak ada! Apalagi Joanna masih belum ada pasangan.

Namun, Joanna ingat kata orang tuanya yang tidak suka jika dia berhubungan dengan Jeffrey. Dalam artian lebih dari bos dan pegawai seperti ini. Sebab mereka takut jika dia menjadi tumbal pesugihan keluarga ini. Padahal, belum terbukti juga jika keluarga Jeffrey melakukan hal seperti ini.

"Kamu menolak? Kenapa? Apa ada yang membutamu tidak nyaman? Katakan! Aku akan coba perbaiki sekarang!"

Jeffrey mendekatkan duduknya. Sembari menunjuk dirinya sendiri sekarang. Seolah ada yang salah pada dirinya.

"Bukan seperti itu, saya hanya terkejut!"

Joanna langsung berdiri dari duduknya. Menatap adiknya dan Kiara yang masih di dalam mobil sekarang. Sembari menyanyi cukup kencang.

"Aku tahu kamu pasti terkejut. Tapi aku benar-benar serius dengan ucapanku. Aku ingin menikahimu, karena aku sudah suka padamu sejak awal bertemu. Tapi baru berani kukatakan sekarang setelah tahu jika besok anak Pak Kades akan melamarmu."

Joanna kembali dibuat terkejut. Sebab heran dengan Jeffrey yang bisa tahu berita itu. Padahal, dia tidak mendengar apapun. Namun dia sudah agak curiga karena ibunya membeli banyak camilan dan disusun rapi di ruang tamu.

"Aku tidak tahu soal itu. Aku---"

"Kamu berani menolaknya, kan? Kalau tidak, besok pagi aku yang akan datang ke rumah. Kalau nanti malam sepertinya tidak bisa, karena belum ada persiapan. Tidak mungkin juga aku datang tanpa membawa apa-apa, meskipun kita bertetangga."

Joanna bingung ingin menjawab apa. Lidahnya kelu karena merasa ini masih begitu cepat. Apalagi selama ini dia tidak pernah sekalipun membayangkan akan menjadi istri Jeffrey Iskandar, anak dari pemilik pabrik plastik di desanya.

Next chapter udah mulai panas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Next chapter udah mulai panas. Kalian mau request scene apa?

Tbc...




PESUGIHAN [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang