Chapter 6 - Bapak?

55 12 4
                                    

Tertunduk lesu pada papan kayu. Tak ada jalan untuk maju. Di balik dinding atas berwarna hitam, yang membuat hati menjadi pilu.

Sudah 30 menit bapak tidak pulang-pulang. Aku khawatir terjadi apa-apa. Ku tarik nafas ku agar sedikit lega. Tapi nafas melarang aku untuk menarik dan melakukan nya. Denyut jantung masih terus berdebar. Debaran ombak air ikut bergandengan tangan dengannya. Apakah sudah pupus harapan? Ataukah sebuah penghidupan yang lebih layak untuk didapat?

Bapak, sudah dapatkah barang yang engkau cari?

Bapak. Sudah. Pulanglah engkau. Kami semua disini menunggu. Menunggu engkau kembali.

Jangan engkau hiraukan barang yang tersapu ombak. Jangan engkau hiraukan barang yang sudah kuyu basah hancur porak poranda. Bapak, pikirkan kami. Pikirkan kami. Apakah engkau tak sayang akan kami? Atau, engkau terlalu sayang kepada kami? Hingga engkau rela mempertaruhkan nyawamu demi kepentingan kami? Sungguh. Bapak, kehadiran mu lebih kami butuhkan daripada hadirnya barang yang tak ada gunanya untuk dunia yang fana.

Nampaknya waktu sudah menunjukkan malam sekali. Seperti biasa. Aku sandarkan tubuhku di dinding kayu. Melihat langit-langit tanpa tujuan. Melihat dengan menyapu, melihat entah kemana. Hanya bayang-bayang yang menguap tak dapat disapu oleh apapun.

Prakk

"Enggak tidur lu? Menghayal lelen malabbana"  tidak tidur lu, menghayal terus lebay banget. Sambar Idham menyadarkan ku dari lamunan. Walau dia terus menguap tak henti-henti. Matanya sudah kuyu. Badannya lemas bukan main. Kulihat tambah parasnya tambah mirip monyet kelihatannya.

"Enggak, dam. Lagi mikirin sesuatu."

"Hufttt kalau lagi mikirin sesuatu itu jangan terlalu dipikirin. Kalau kita terlalu banyak angan-angan akan membuat mu malas, ran. Tapi, perbanyak tujuan. Biar kamu terus maju tak jalan di tempat. Dan juga banyakin doa." Hebat betul manusia satu ini. Kali ini pernyataan teman ku benar. Mungkin kelebihan nya terlihat ketika ngantuknya. Mempercepat cara berpikirnya. Mungkin.

"Betul juga yah, dam. Makasih yah. Karena elu gua mau usaha untuk berubah."

"Iya, iya. Ambil noh selimut 'tidur."

"Belum ngantuk, dam. Kamu tidur aja dulu. Nanti kalau aku ngantuk aku tidur kok."

"Yaudah yah. Aku tidur dulu. Huaaa" sambil menguap lebar-lebar dia langsung tidur manis. Tanpa bantal tanpa apapun. hanya menumpuk tangannya menyandarkan kepalanya di balik tumpukan tangan.

Malam itu. Angin malam menyeruak membawa hembusan menaikkan bulu tangan.  Membawa angin kemalangan atau kehilangan, atau pun sekalipun yaitu kemenangan. Aku pandang manusia-manusia ini. Mereka tidur diatas karpet yang tipis. Mereka tidur dengan selimut mereka yang robek menipis. Suara-suara dengkuran mereka tak terdengar karena melawan dengkuran deras hujan malam. Mata-mata sudah terpecam. Mimpi-mimpi membungbung tinggi naik, menghilangkan sedikit beban yang menempel pada tiap-tiap insan.

Suara gelombang air bergeser membelah jalan. Terus masuk melewati gagang pintu. Melangkah naik sampai ke tiap tangga. Terus, sampai ke bibirnya.

Mataku yang sembari tadi belum terpejam dalam angan-angan. Bahkan sudah berapa gaya tidur yang aku atraksikan. Selimut ku yang kusut menjadi saksi gelisah batin tubuh ku ini.  Kulihat ke arah depan. Dengan pandangan yang samar-samar. Pria yang berdiri itu tak asing. Tubuhnya, dikata tinggi tidak, dikata pendek juga tidak. Baju kuyu basahnya... Sebentar? Bapak? Alhamdulillah bapak pulang.

Aku yang beralaskan selimut tipis. Langsung terbang menerbangkan selimut ku itu. Aku bagai punya kekuatan tambahan saat melihat bapak.

Aku bangunkan emak dan kedua adikku yang sudah larut nikmat dalam embun mimpi yang indah. Akhirnya telah ku hapus embun itu, keluar dari mimpi indah itu.

Bumi Berhijab Putih (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang