Chapter 9 - Bumi Berhijab Putih

11 1 0
                                    

Di dalam ruangan yang pengap. Panas. Sungguh ini sangat panas. Seorang pria menatap ku tajam. Entahlah dia siapa. Tapi lagaknya sudah yang paling atas. Tapi memang mungkin dia dari kelas atas. Dia duduk di kursi. Menggerak-gerakkan kakinya. Sahabat ku diluar, dilarang masuk. Satu guru di tengah. Aku dan si kacamata penghianat itu berdiri berhadapan. Posisi kami berdiri. Jujur Aku jijik melihat wajahnya. Sekarang dia sudah punya kacamata baru, kemarin yang patah sudah dibuang karena memang sudah rusak. Sekarang di ganti, dia memang sungguh kaya. Kaya tai.

Bukan diantara kami yang mulai pembicaraan. Tapi bapak yang di tengah. Pak Syukur. Guru BK kami. Mulai membuka ring perdebatan. Jika dilihat dari segi kemenangan. Nampaknya aku bisa berlari teriak dengan tangan mengepal tinggi ke atas. Ahh, tapi dunia tidak adil untuk orang yang tak punya. Pembicaraan itu sudah diketahui akhirnya. Seperti menonton film khas Indonesia saja. Yang pemeran nya sudah diketahui. Dan akhir dari sebuah cerita yang diketahui pula akhirnya. "Kamu Zahran? Ya Allah Kamu lagi?! Tidak capek apa buat masalah terus? Tidak capek apa bikin onar terus? Sekolah ini namanya turun, disebabkan kamu!!"
Belum sempat aku membalas.
"Tidak usah bicara kamu, jangan lancang"
"Dari kemarin-kemarin alasan mu itu-itu saja"
Kau lihatlah sekarang sobat. Betapa kita yang lemah tak bisa angkat bicara. Ketika yang punya kuasa, atau yang berkepentingan, atau yang punya otot, atau yang punya urat, atau yang merasa paling benar, yang paling berkuasa bisa saja melakukan berbagai cara. Selalu mengadakan sesuatu yang tidak ada. Membela dirinya yang salah. Mengandalkan wajah nya yang sangar. Mungkin bisa saja aku juga seperti itu. Tapi aku membela diri karena aku rasa aku memang benar.
Aku tidak tau kabar sahabat ku di depan ruang BK itu. Biasanya kalau sudah bosan dia pergi. Tapi itu tidak penting.
Sedari tadi Anak kacamata itu diam saja. Sampai jam ishoma. Baru perdebatan itu berhenti. Didalam perdebatan itu aku saja yang diserang. Orang yang duduk tadi menghampiri anak kacamata itu, mengajaknya pulang. Perdebatan telah usai. Pak Syukur juga telah kembali di tempat duduknya. Lega semangat diraut wajahnya.

Si anak itu nampak lusuh saja. Aku rasa dia sakit. Ah biarkan saja dia sakit, siapa yang peduli?
Si kacamata itu. Penghianat. Walau dulu nya kami pernah dekat.

Sepanjang lorong yang gelap, aku murung saja. Cape rasanya meladeni hari-hari yang buruk. Adzan berkumandang. Tapi sekarang rasanya hambar. Rasanya percuma Aku menghadap Tuhan. Betapa doaku bagai angin lalu. Aku rasa skenario hidup ku, yang telah diciptakan Tuhan. Berbeda dengan orang kebanyakan.
Perempuan dengan tubuh mungil berlari berlawanan dengan ku. Dengan tas kecil mukena yang dia tenteng. Dengan kudung putih yang dia kenakan, membuat hatiku mekar. Membuat aku tak mampu menelan ludah. Mungkin saja Tuhan tidak mendengar doaku. Tapi Tuhan menciptakan dia untuk mengatasi kegalauan atas doa-doa yang aku panjatkan. Rasanya semua beban itu hilang sekejap.

"Mau shalat bintang?" Tanyaku, memberhentikan ia yang berlari.

"Iya kak mau shalat"
"Kakak gak shalat?"

Menggaruk kepala, padahal tidak gatal. Hehehe.

Dia mengajak ku shalat, seorang pria seperti ku dia ajak? Menurut mu apa kira-kira gayaku? Modelku saat itu?

"Ohh iya, nnti aku nyusul, ada kerjaan sedikit yang harus aku selesaikan"

"Ohh seperti itu kak, okedeh mari aku pergi dulu"

Dia sekepap menghilang dari pandangan mataku. Aku senyum-senyum. Aku masuk ke kelas ku yang tak jauh. Dengan senyum sumringah. Orang-orang di kelas menatapku aneh. Aku tidak peduli. Perempuan itu. Si Bintang Kamala membawa perubahan di dalam hidup ku. Menjadi lentera di gelapnya jalan hidupku. Dengan hijab putihnya nya. Menjadi bumiku. Menjadi hidupku. Yang aku janji. Sampai Akhir. Dunia harus tau. Aku mencintai nya. Aku mencintaimu, Bintang Kamala.

Bumi Berhijab Putih (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang