Menyetujui

151 7 0
                                    

°
°
°
°
°
°
°
°
°
°
KAFKA ° ° ° ° ° ° °07

*****

Diluar ruangan Tenaja sibuk mencari kertas yang diberi Agra. Namun ada saja kesialan, kertas itu hilang walaupun Tenaja sudah mengeluarkan semua barangnya.

"Kenapa tidak ada? Apa kemarin aku tidak sengaja menjatuhkannya?" monolong Tenaja yang masih gelisah mencari kertas tersebut.

"Kenapa disaat dibutuhkan benda itu hilang. Ya Tuhan bagaimana ini? Pasti Ayah kecewa sama aku."

Ia berjalan menyusuri koridor tanpa berpikir keras. Tak sengaja ia menabrak seseorang karena tidak terlalu fokus melihat jalan.

Bruukkk...

"Apa aku harus berkali-kali mengalami kesialan." umpat Tenaja.

Tenaja mendongak, betapa shocknya melihat bahwa orang yang dibutuhkannya ada dihadapannya.

"Tu-tuan."

"Eh kamu!"

Tenaja dengan sopan meraih tangan pria dihadapannya.
"Tuan aku menerima lamaran itu, demi Ayahku kumohon. Berlangsungkan lah segera."

Agra tersenyum, lantas ia meraih rambut Tenaja lalu mengelusnya."Baiklah gadis manis. Ayahmu pasti bangga putrinya mengambil keputusan yang tepat."

Tak berlama-lama Agra menuju ketempat Kafka. Disepanjang jalan ia terus tersenyum. Betapa bahagianya dia.

"Maaf Pak Kafka terus menolak."

Agra menarik rambutnya frustasi. Pasalnya ini waktu yang tepat untuk membentuk kebahagiaan Kafka, tapi anak itu belum sembuh juga.

"Kaf kumohon kali ini penuhilah keinginan Ayah. Ayah janji tidak akan berbuat kasar lagi, kembali lah nak."
Teriak Agra dibalik ruangan Kafka.

Dapat dilihat Kafka menyungking senyumnya. Inilah yang ia tunggu-tunggu.

Kafka mengangguk, Agra terharu melihatnya lalu masuk menggenggam tangan Kafka.
"Ayo nak sekarang kita pulang. Ayah akan memberimu kejutan."

Setelah pamit pada dokter Katrika dan petugas yang telah merawat Kafka selama ini, akhirnya keduanya sudah ada dirumah. Satpam membuka gerbang lalu tersenyum kearah sang Tuan.

Mata Kafka celengak-celenguk melihat sekitaran rumah. Rumah yang dulunya memiliki pekarangan kecil dengan dihiasi bunga matahari kini berubah dengan air mancur dan kolam ikan, rumah ini juga sudah terlihat luas dari sebelumnya.

"Kenapa Kaf? Ayah sudah memenuhi rumah impianmu. Bukan kah ini mau mu?"

Kafka terdiam, ini bukan lagi impiannya. Iya sudah punya mansion sendiri yang lebih luas dan mewah dari ini.

Agra keluar lalu membukakan Kafka pintu. Di depan sana sudah ada Alda dan ibunya yang menunggu kedatangan mereka.
"Kak Kafka!"

Kafka hampir saja terjatuh jika ia tak bisa menyeimbangi adik nakalnya itu.

Kafka melihat wajah riang Alda sedangkan wajah ibu tirinya nampak suram.
"Apa aku bisa masuk?" ucap Kafka.

Agra tersenyum ia menuntun anaknya itu kekamar.
"Maaf jika sedikit berdebu, kamar ini biasanya ditempati oleh Alda tapi semenjak Alda punya kamar sendiri kamar ini sudah jarang dibersihkan."

Kafka mengangguk. Iya menunggu Agra keluar tapi pria durjana itu belum juga keluar. Kafka merasa jika pria itu akan menyampaikan sesuatu.

"Kaf, ayah mohon jangan marah. Ayah hanya ingin kau bahagia." tiba-tiba Agra mengangkat pembicaraan.

K A F K ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang