20-an

4 1 0
                                    

Nasihat usia 20-an agar tidak menyesal saat usia 30-an.

Oleh : Anggie

ᕙ⁠(⁠ ⁠ ⁠•⁠ ⁠‿⁠ ⁠•⁠ ⁠ ⁠)⁠ᕗ

Aku berharap bisa memberi nasihat seperti ini kepada diriku sendiri ketika usianya masih di angka itu. Ketika egonya masih tinggi, masih sering moody, merasa butuh validasi, dan ketika dibayang-bayangi ‘kewajiban’ untuk nikah.

1. Berhati-hatilah dalam meletakkan value dirimu.

“When your happiness is dependent upon what is happening outside of you, constantly you live as a slave to the external situation.”

Kita baru merasa berharga ketika punya wajah rupawan? Punya saldo rekening ratusan juta? Punya gaya hidup dan circle sosialita? Bisa kuliah di kampus ternama? Hanya itu yang kita pikir bisa membuat diri kita ‘shining, shimmering, splendid’? Maka siap-siap kita akan hancur berantakan saat itu semua tidak bisa terwujud jadi kenyataan.

Di usiaku yang masih kisaran dua puluhan, aku sangat kesulitan menghargai diri sendiri, tidak mampu mengasihi dan menerimanya apa adanya. Penyebabnya karena aku meletakkan harga diriku pada hal-hal eksternal yang sifatnya impermanent semacam itu.

Di dalam pikiranku waktu itu, aku sangat malu dengan diriku sendiri yang gagal meraih prestasi. Aku benci karena jadi orang biasa. Hidup ini harus memenangkan sesuatu, mengejar sesuatu, kalau aku gagal berarti aku kalah. Setiap ditanya aku kerja di mana, bagian apa, gajinya berapa, aku cenderung minder karena tidak pernah bangga dengan pekerjaanku.

Pada kenyataannya, tidak semua hal yang telah kita upayakan mati-matian bakalan jadi kenyataan. Dari 99% usaha yang aku lakukan, tetap saja ada 1% yang menentukan semuanya. Yaitu kehendak Tuhan dan keputusan orang lain, yang kita sebut sebagai keberuntungan. Kita bisa apa kalau yang 1% itu gak dikasih ke kita? Bisa nangis, bisa ikhlas, bisa bersikap positif dalam menghadapi kenyataan yang ada.

Aku sadar bahwa upaya yang aku lakukan selama ini tidak menghasilkan apa yang aku inginkan, tapi perjalanan itu telah berhasil membentuk karakterku yang sekarang. Aku mulai bisa menghargai kesederhanaan, mensyukuri hal-hal kecil yang bahkan luput dari pengamatan orang lain. Melalui kesederhanaan itu aku jadi bisa menguasai diri, memahami arti cukup. Itulah yang kemudian jadi landasan kuat bagiku dalam menerima hal-hal yang tidak bisa aku kendalikan.

Aku tidak lagi memiliki rasa ingin menyombong, mengotot, ingin pamer ke orang lain, dan ingin dipuji. Karena pengalaman berkali-kali gagal telah mengikis ego semacam itu. Coba seandainya apa yang aku inginkan terwujud saat emosiku masih belum stabil, saat belum punya kematangan pola pikir. Itu semua bakalan menghancurkan diriku sendiri karena aku akan jadi orang yang sombong, merendahkan orang lain, dan greedy (tamak).

Sekarang, ukuran harga diriku bukan lagi berdasarkan besar saldo rekening bank atau tampilan fisik semata, itu terlalu dangkal. Kalaupun impian dan target hidupku tercapai ya, syukur. Kalau gak tercapai ya, gak rendah diri juga. Aku merasa diriku ini berharga dan bahagia ketika mampu bermurah hati kepada sesama, memiliki kebaikan dan ketulusan hati yang bisa aku bagikan kepada orang lain dan kepada diriku sendiri.

2. Kunci kepercayaan diri bukan dari skincare, tapi dari penerimaan diri.

“The quality of your life does not depend on your clothes, car, or home, but on how peaceful and joyful you are.”

Semahal apa pun skincare kita, sesempurna apa pun bentuk fisik kita, se-branded apa pun baju yang kita pakai, tidak akan ada gunanya kalau kita belum bisa menerima diri kita apa adanya. Tidak ada gunanya ketika itu semua cuma dipakai untuk mendapatkan pujian dan pengakuan dari orang lain. Menerima diri sendiri apa adanya itu gimana, sih? Yaitu saat pujian dan hinaan dari orang lain sama sekali tidak berpengaruh apa-apa di hidup kita.

SLUMPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang