10

1.5K 213 26
                                    

Irene mengintip dari balik dinding sebuah gedung perkantoran dan bernapas lega begitu melihat Wendy pergi. Kepalanya menunduk ke bawah, kedua tangannya meremas lengannya. Bulir-bulir mengalir di pipinya mengenang masa lalu yang membuat pribadi dan hidupnya berubah 180 derajat. Ketika dia sudah bertekad menatap lurus ke depan, waktu seolah menariknya kembali ke belakang. Dulu Irene begitu mencintainya tapi entah apa sebabnya Wendy meninggalkannya karena lebih memilih kembali pada mantan kekasihnya di saat undangan pernikahan mereka bahkan sudah tersebar.

Gerimis terus jatuh tapi Irene tidak ada niatan untuk pulang, dia khawatir Wendy kembali dan menunggunya di rumah. Irene hanya bisa berdiam seperti itu dan menggosok kedua lengannya, menandakan dia sedang kedinginan. Dalam kepalanya terus terngiang-ngiang apa yang baru saja terjadi. Wanita mungil itu bahkan berulang kali mengusap kasar bibirnya dengan punggung tangannya yang basah.

Seulgi keluar masuk dari rumahnya sejak siang tadi, memeriksa rumah Irene, barangkali wanita itu sudah pulang. Dia juga sudah menghubungi ponsel Irene tapi tidak diangkat, tentu saja, wanita itu pasti meninggalkan ponselnya saat dia pergi tadi. Ini bahkan sudah mendekati jam 11 malam tapi Irene belum juga kembali.

Rasanya seperti ada yang hilang dari pandangan. Jika biasanya sebelum tidur Seulgi akan lebih dulu menatap sosok Irene yang termenung di balkon kamarnya, namun sekarang tak didapatinya sosok itu di sana. Rumahnya bahkan gelap gulita tanpa satu penerangan lampu pun. Si anak SMA kembali merasakan sunyi dan sendirian seperti saat sang wanita dewasa belum tinggal di sini.

Seulgi menunggu Irene di jalan setapak yang memisahkan rumah mereka, dia terus menoleh ke arah belokan gang, berharap sosok itu muncul dari ujung jalan sana. Terkadang dia bersandar di pagar rumahnya, kadang di pagar rumah Irene, duduk di jalanan, berdiri, masuk ke rumahnya, keluar lagi. Rasa kantuk mulai dia rasakan dan perlahan matanya terpejam.

Irene berjalan dengan langkah gontai dan pandangan tertunduk ke bawah. Pada akhirnya, langkahnya menuntun dia kembali ke rumah.

"Seulgi?" Irene berkata dengan ekspresi terkejut saat melihat remaja itu tengah tertidur sambil memeluk kedua kaki di depan pagar rumahnya. Irene bergegas menghampiri dan menyentuh pundaknya hati-hati takut mengejutkannya. Hingga Seulgi membuka matanya diiringi senyuman lebar. "Unnie, kau sudah pulang? Dari mana saja? Aku menunggumu"

"Kamu menungguku?" Tanya Irene lemah dan Seulgi mengangguk cepat.

"Aku mengkhawatirkanmu. Tadi aku melihatmu bertengkar dengan tunanganmu. Umm... dia berlaku kasar dan membuatmu marah, sepertinya dia bukan orang baik. Aku takut terjadi sesuatu yang buruk padamu, jadi aku menunggumu"

"Berapa lama kamu menungguku?"

Seulgi mulai menggerakkan jari-jarinya dan berhitung.

"Sekitar 12 jam" Jawab Seulgi jujur.

"Kamu menungguku selama itu?" Irene menghela napas berat dan mengusap pucuk kepala Seulgi. Dia tidak percaya gadis itu menunggunya selama itu.

"Kenapa tidak menunggu di dalam rumah?"

Gadis SMA itu menggeleng tegas. "Di dalam rumah, tidak ada yang membangunkan aku kalau kau pulang"

"Maaf" Ucap Irene lirih.

"Maaf untuk apa?"

"Untuk membuatmu khawatir dan menungguku selama itu" Seulgi tersenyum lebar dan lagi-lagi Irene mengusap pucuk kepalanya.

"Unnie, apa kau baik-baik saja?" Tanya Seulgi khawatir saat baru saja menyadari wajah Irene pucat dan lesu. Bajunya juga kelihatan setengah basah. Irene menganggukkan kepala berulang kali.

"Wajah Unnie pucat banget, pusing ya? Habis hujan-hujanan?"

"Cuma sedikit gak enak badan aja" Jawabnya seperti tanpa tenaga namun tetap berusaha tersenyum dengan wajah sepucat itu. Dan ketika mencoba berdiri, Irene terhuyung.

2817 ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang