01 ✥ Kabar Duka

76 19 21
                                    

Pagi-pagi sekali, Yixing secara bergiliran menelepon ketujuh anak Kim Sangbum yang tinggal di kota dan memberitahukan kabar duka bahwa ayah mereka sudah berpulang ke sisi Tuhan tadi malam.

Ketika Yixing menelepon Kim Minseok, ini adalah jawaban anak tertua dari tujuh bersaudara itu.

“Apa kau sudah mengurus pemakaman ayah, Yixing? Segera urus dengan menggunakan uang tabungan ayah atau milikmu, aku tidak akan sempat pulang dan aku juga tidak punya uang, kau jadilah wakilku untuk mengantarkan ayah ke tempat peristirahatan terakhirnya.”

Lalu, Yixing segera menutup telepon setelah Minseok selesai berbicara dan ganti menelepon Kim Junmyeon, anak tertua kedua.

“Hahhh, dasar. Apa kau tak merawat ayah dengan benar?! Dasar sialan! Ini semua salahmu hingga ayah bisa meninggal, kau urus saja pemakamannya sendiri atau hubungi saudaraku yang lain. Sudah ya aku sibuk.”

Kemudian laki-laki dengan sepasang lesung pipi itu ganti menelepon salah satu anak perempuan Sangbum yang kini tengah hamil besar.

“Apa?! Ayah meninggal?” Terdengar isak tangis di seberang sana, selama beberapa saat, Yixing menunggu hingga tangis Yongsun mereda. Hikss, aku tidak menyangka bahwa ayah akan pergi secepat ini, aku sangat menyesal tidak ada di sisinya disaat terakhirnya, Yixing tapi maaf, kau tahu kan aku sedang hamil besar, aku tidak mungkin pergi jauh. Tolong, sampaikan permintaan maafku pada ayah.”

Kim Yongsun segera menutup sambungan teleponnya ketika sang suami menegurnya untuk tidak makan makanan pedas terlalu banyak. Yixing sempat mengernyit heran, kemudian dia kembali menghubungi anak Sangbum berikutnya, Kim Jongdae.

“Yixing? Apa sih menelepon segala, apa kau mau meminjam uang lagi? Eh, dengar, aku ini bukan bank berjalanmu, sebaiknya kau cepat pergi dari gubuk itu seperti kita dan carilah kehidupan yang bagus, jangan terus-terusan kau sia-siakan masa mudamu itu. Sudah ya, aku sibuk.”

Yixing mendengar musik disko menggema dan suara tawa orang-orang di belakang Jongdae. “Jongdae, ayahmu meninggal tadi malam.”

“Apa? Aku tak bisa dengar dengan jelas, Yixing! Sepertinya tidak penting, sudah ya, aku sibuk.”

Lalu, Yixing mengubungi anak Sangbum berikutnya yang baru saja menikah dengan pacar prianya, Kim Jongin.

“Ah astaga, aku pikir ada apa. Kau tahu tidak kau baru saja mengganggu waktu tidurku tahu! Kalau ada waktu nanti aku dan Sehun akan ke sana, urus saja sana sesukamu prosesi pemakaman ayah, kau kan anak kesayangannya, jadi berbaktilah.”

Tinggal tersisa dua anak lainnya yang harus Yixing hubungi ketika tiba-tiba orang yang bertugas menjaga telepon umum di desanya itu membuka pintu kaca tersebut dan memintanya untuk keluar sebentar karena ada ibu-ibu yang sudah mengantre sejak tadi untuk menelepon anaknya.

Yixing segera keluar dan kembali menunggu, setengah jam kemudian ibu itu pergi dan Yixing kembali masuk, dia mendeal nomor anak Sangbum lainnya yang sudah dia catat.

Namun, hingga dering kelima Kim Taehyung belum juga mengangkat teleponnya. Langit semakin terik dan Taehyung sama sekali tak mengindahkan telepon Yixing, hingga akhirnya teleponnya ditolak, Yixing ganti menelepon anak perempuan Sangbum lainnya, Kim Sohyun.

“Ohhh, meninggal. Aku pikir apa, Kak. Terus mau bagaimana?” tanya Sohyun.

“Pulanglah ke sini untuk melihat ayah untuk yang terakhir kalinya,” ucap Yixing lembut.

“Hah? Pulang? Tidak lah, kan Kak Yixing sendiri yang bilang kalau ayah sudah meninggal, buat apa pakai dijengukin segala? Kakak kan juga tahu kalau aku kuliah dan hidup di kota ini itu hasil dari tabunganku sendiri, ya aku mana bisa main ambil cuti gitu aja lah, Kak. Kalau udah mati mah ya mati aja, nggak usah ngerepotin yang masih hidup, dong.”

Setelah Sohyun menutup teleponnya sepihak, Yixing kembali berusaha menghubungi Taehyung. Laki-laki itu baru pulang ke rumah setelah matahari hampir terbenam, dia berjalan ke dapur dan melewati kamar ayah angkatnya yang terbuka, menampakkan sosok Sangbum yang sudah terbujur kaku dengan warna kulit pucat. Mata serta mulutnya memejam erat, namun bibir itu sekilas membentuk senyum. Seakan dia mati dengan damai.

“Ayah tenang saja, aku berjanji akan membawa mereka semua untuk menemui ayah dan membuat mereka tinggal di rumah ini lagi.” Dengan wajah datar hampir pucat tirusnya yang belum makan sejak kemarin, Yixing mengucap janji yang mustahil dia tepati.

Namun, sebuah keajaiban terjadi dua hari kemudian setelah kematian Sangbum.

Ketujuh anak Sangbum tiba-tiba datang berduyun-duyun bersama istri, suami, dan anak-anak mereka. Semuanya berwajah sembab dan berpakaian serba hitam, mereka berebut untuk menangis di depan jenazah Sangbum yang sudah terbujur kaku di dalam kamarnya di dalam sebuah peti mati yang terbuat dari kayu lapuk.

Dari belasan orang itu, tidak ada satu pun yang bertanya tentang bagaimana ceritanya ayah mereka bisa mati.

✥✥✥

S
C
R
O
L
L
I
N
G
↓↓↓↓↓

22.10.2022

FAMILY WARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang