02 ✥ Bermuka Dua

47 17 7
                                    

Yang namanya keluarga itu, jika salah satu anggota keluarganya meninggal, apalagi dia adalah orang tuamu yang selama ini merawatmu. Bukankah sudah sewajarnya jika anak-anak yang ditinggalkannya menjadi sedih dan merasa kehilangan?

Yixing paham, pada akhirnya, penyesalan itu akan selalu datangan belakangan. Karena sekarang dia sedang menyaksikan itu: sebuah kehilangan.

✥✥✥

Taehyung menangis terisak-isak, “Ayah maafkan aku yang sudah menjadi anak durhaka! Maafkan aku, Yah!”

Penampilannya yang biasanya necis hari ini amat berantakan. Baju serta celana kain hitam agak kusut, rambut pendeknya acak-acakan, air mata berlinangan pada rupa tampannya.

Sementara itu, wajah Jongdae pucat pasi, dia sejak tadi berdiri mematung menyendiri di pojokan dengan mata yang tak lepas dari sosok mendiang ayahnya. Suaminya, Park Chanyeol, berusaha mengajak ngobrol suaminya itu atau menawarinya segelas air putih, tapi Jongdae mengabaikannya.

“Jongdae, minum ini sedikit saja, ya? Nanti kau bisa sakit, perjalanan kita dari rumah kita ke rumah ayahmu memakan waktu berjam-jam, kau harus makan atau istirahat dulu.” Tetapi perhatian Chanyeol hanya dianggap angin lalu oleh Jongdae.

Yongsun lebih parah lagi, dia yang sedang hamil tujuh bulan sampai pingsan ketika tiba di kediaman ayahnya dan melihat jasad Kim Sangbum yang sudah terbujur kaku. Anaknya yang diprediksi berjenis kelamin perempuan bahkan belum lahir untuk bermain dengan kakeknya, bagaimana bisa dia sebagai anak bahkan tak menjenguk ayahnya sekali pun disaat terakhirnya?!

Pada akhirnya Baekhyun—suami Yongsun— membopong perempuan itu ke dalam kamarnya yang sudah bertahun-tahun tak ditempatinya.

Sementara Minseok, Junmyeon, Sohyun, dan Jongin menangis meraung-raung sembari berebutan untuk memeluk peti mati Sangbum untuk yang terakhir kalinya sebelum dimakamkan besok pagi.

Pemakaman Sangbum memang sengaja ditunda karena Yixing mengatakan pada pendeta setempat bahwa ketujuh anak kandung ayah angkatnya itu sedang mengusahakan untuk segera pulang kampung. Awalnya pendeta yang sudah berumur lebih dari setengah abad itu ragu, terlebih selama mengenal keluarga Kim ini, dia sedikit banyak tahu tentang permasalahan mereka. Namun keajaiban datang, semua perkataan Yixing bagai mantra yang mengubah hal termustahil di dunia sekali pun menjadi nyata.

Yang lebih membuat takjub adalah bahwa ketujuh anak Kim Sangbum tak hanya sekadar datang, mereka bahkan menangis dan terlihat amat kacau. Mereka juga mengajak serta pasangan dan anak-anak mereka.

Minseok beranjak dari bersimpuh di depan peti mati Sangbum, dengan masih terisak laki-laki berbadan mungil dengan pipi tembam itu berjalan menghampiri Yixing yang sedang berdiri menyaksikan mereka bersama suami Minseok dan putra angkat mereka.

“Luhan, kepalaku pusing, aku ingin istirahat ke kamar,” ucap Minseok sembari memegangi kepalanya. “Yixing maaf, aku titipkan ayah lagi padamu.”

Yixing yang sejak tadi canggung karena sudah lama tak bertemu saudara-saudaranya langsung menegakkan tubuhnya dan mengangguk pada kakak tertuanya itu.

“Kak Minseok tenang saja, ada banyak saudara lain di sini, ayah pasti tak akan kesepian lagi sekarang,” ucap Yixing dengan suara lembutnya yang tak pernah berubah sama sekali.

Minseok mengulas senyumnya dan menepuk pundak Yixing sekilas sebelum akhirnya dia beranjak pergi meninggalkan kamar Sangbum bersama Luhan dan putra angkatnya yang baru berusia delapan tahun.

Setelah keluarga kecil itu berjalan cukup jauh dari kamar tersebut, samar-samar Yixing dapat mendengar celotehan anak kecil itu yang bertanya mengapa Minseok menangis di depan peti mati dan foto orang asing, anak laki-laki itu juga menanyakan siapa Yixing dan orang-orang banyak di sekitar mereka tadi?

Tak lama kemudian, Jisoo—istri Junmyeon—menghampiri suaminya yang masih menangis tersedu-sedu dan membisikkan sesuatu. Junmyeon lalu menghapus air matanya dan beranjak dari sana, menghampiri Yixing yang kini berdiri seorang diri.

“Yixing, apakah kau bisa membelikan makanan untuk kita semua?” tanya Junmyeon sembari mengeluarkan dompetnya, ada jutaan won di sana dan Junmyeon menarik empat lembar won berwarna hijau kekuningan. “Ini, belilah makanan untuk kami semua, biar aku yang menjaga ayah selagi kau pergi.” Junmyeon menyodorkan uang itu kepada adik angkatnya.

Untuk sesaat, Yixing hanya memandangi uang kertas itu sebelum akhirnya dia mengulas senyum manisnya yang memperlihatkan sepasang lesung pipinya, mengulurkan kedua tangannya untuk menerima uang itu.

“Aku akan segera kembali dan membawa makanan untuk kita semua,” ucapnya sembari menatap Junmyeon ramah. Namun Junmyeon hanya mengabaikannya dan fokus berbincang-bincang dengan istrinya Jisoo.

Sembari menelan salivanya, Yixing beranjak dari rumah Sangbum dan pergi ke warung terdekat untuk membeli makanan. Tidak apa-apa, lagipula Yixing sudah biasa diabaikan. Sifat seseorang tak akan berubah dalam sekejap mata bukan? Semua memerlukan proses yang panjang.

Kemudian Yixing terdiam sembari memandangi empat lembar won yang kesemuanya berjumlah empat ratus won tersebut. Kemudian dia mulia menghitung berapa jumlah mereka semua, delapan anak Sangbum termasuk dirinya dan masing-masing pasangan mereka —Sohyun yang belum menikah membawa pacar prianya ikut serta— ditambah lagi putra Minseok dan kedua putri Junmyeon.

“Semuanya berjumlah delapan belas orang.”

Ini adalah kepulangan mereka setelah sekian tahun, Sangbum pasti akan sangat senang apabila anak-anaknya betah berada di rumahnya. Diam-diam Yixing menyelinap masuk ke dalam kamarnya lewat jendela dan memecahkan uang tabungannya, dia mengambil semua uang yang dia kumpulkan dari dulu untuk membeli buku-buku dan obat-obatan ayahnya. Semuanya berjumlah dua juta.

Yixing mengambil uang-uang itu untuk membelikan saudara-saudaranya makan malam yang enak. Dia kembali pergi dengan menyelinap karena tak ingin Junmyeon atau pun Jisoo memergokinya mengambil tambahan uang untuk membeli makanan mereka, mungkin mereka bisa tersinggung karena itu, dan Yixing tidak ingin membuat Junmyeon dan kakak iparnya itu tak enak hati.

Anehnya ketika Yixing melewati kamar Sangbum, pecah tangis yang tadi didengarnya selama menemani saudara-saudaranya di dalam kamar ayah mereka itu kini tak lagi didengarnya. Semuanya tiba-tiba sunyi. Apa mereka sedang keluar dan menjelajahi rumah dan kelelahan menangis?

Padahal pecah tangis penuh sesal itu sungguh menghiburnya tadi.

Dilanda rasa penasaran tinggi, Yixing memberanikan diri mengintip kamar ayahnya dari balik jendela kamar. Dari situ, Yixing melihat bahwa saudara-saudaranya dan pasangan mereka sedang asyik dengan ponsel masing-masing.

Ketika Yixing kembali untuk memberitahukan pada Junmyeon bahwa makanan yang dipesannya sudah siap untuk makan malam mereka semua, dia kembali mendengar suara tangis itu, bahkan kali ini terdengar lebih keras suaranya.

Diam-diam Yixing tersenyum. Dugaannya memang benar bahwa mereka berhenti menangis karena kelelahan menangis, mereka pasti menyesal telah menyia-nyiakan Sangbum selama ini. Atau ... saudara-saudaranya itu memang memiliki wajah lain untuk digunakan di hadapannya?

✥✥✥

S
C
R

O
L


L
I
N
G!
↓↓↓↓↓

06.11.2022

FAMILY WARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang