"Hallo, Ai. Aku mau ketemu sama kamu. Ada yang mau aku omongin. Kita ketemu di taman yah."
"Memangnya mau ngomongin apa sampai ke taman segala?"
"Ada deh, Ai. Sepuluh menit lagi aku jemput kamu ya. Bye."
Sambungan telepon itu terputus begitu saja. Apa yang mau dia bahas sampai ke taman segala? Kenapa hatiku jadi merasa sedih tiba-tiba? Hal burukkah? Atau hubungan kami yang sudah sangat baik selama tiga tahun ini, sudah harus selesai?
Benar katanya, dalam sepuluh menit dia sudah sampai di depan rumah. Tenang saja, dia sudah sering ketemu mama dan papa. Sudah sangat biasa main ke rumah. Bahkan mama dan papa juga sudah menganggapnya sebagai anak mereka sendiri.
"Hai, Ai. Sudah siap, yuk." Sosoknya terlihat biasa saja, senyum seperti biasanya. Ya, semalam kami baru saja merayakan tiga tahunan kami. Tidak terasa secepat itu. Kami sekarang bukan lagi anak sma yang labil. Bahkan aku sudah diterima menjadi calon mahasiswa di salah satu universitas terbaik negeri ini. Tinggal menunggu tanggal masuknya saja. Rasanya waktu berjalan sangat cepat.
Aku mengangguki perkataannya. Aku sudah siap untuk berangkat, tapi hatiku terasa tidak siap sama sekali dengan apa yang akan aku dengar darinya. Hatiku seperti menolak ingin mendengarnya. Tapi aku tidak akan egois. Bukankah pasangan itu harus saling mendengarkan satu sama lain? Begitu juga denganku.
Setelah berpamitan pada mama dan papa yang kebetulan ada di rumah, kami berdua berangkat. Mengendarai mobil swift putih miliknya yang tidak pernah sekalipun dia bawa ke sekolah, dulu. Bahkan aku sendiri baru tahu akhir-akhir ini kalau dia punya mobil dan bisa mengendarainya. Dia tampan ada di kemudi itu.
"Sebenarnya kamu mau ngomongin apa?" tanyaku setelah beberapa menit kami di taman, tapi dia masih diam saja. Tumben sekali dia tidak bawel seperti biasa.
Sambil terus melangkahkan kedua kaki perlahan menyusuri jalanan taman, dia menundukkan kepala masih tidak menjawabku. Padahal tangannya selalu menggandenku. Apakah memang sesuatu yang sangat berat dan tidak mudah untuk diungkapkan? Atau sesuatu yang akan membuat kami bisa terluka?
Aku menghentikan langkahku membuat dia mau tak mau harus berhenti juga. Aku menatapnya dan dia mengangkat wajahnya untuk membalasku. "Sebenarnya ada apa?" tanyaku lagi mengulang pertanyaanku sebelumnya yang belum terjawab.
Dia melangkah mendekat, hingga tubuh kami hampir bersentuhan. "Aku harus ke London, Ai. Kak Rehaan mengajukan beasiswa atas diriku dan ternyata diterima. Jurusannya memang adalah keinginanku. Dan kamu tau sendiri kalau ayahku sudah tidak punya penghasilan besar lagi sekarang untuk membiayai kuliahku. Jadi aku menerimanya, Ai. Kamu tidak marah kan?" katanya dengan penuh hati-hati.
Detik itu juga aku melepaskan tanganku dari genggamannya. Menyembunyikan di belakang punggungku saat dia berusaha meraihnya kembali. Dengan dia yang ada sangat dekat denganku, dia berhasil mendapatkanna kembali dan digenggam erat. Mataku sudah terasa panas ingin menumpahkan yang terkumpul di pelupuk mata.
Aku memang tidak menyalahkan orang tuanya, yang aku tau memang sudah pensiun dari pekerjaannya. Kak Rehaan sendiri sudah mempunyai tiga anak yang harus dia hidupi walau pekerjaannya sudah sangat baik.
"Tapi aku akan tetap cinta sama kamu, Ai. Kita akan terus bersama sampai selamanya. Kamu hanya perlu menungguku beberapa tahun saja, mungkin tiga sampai empat tahun. Setelah itu, kita akan bersama-sama lagi di sini."
"Tapi aku nggak bisa jauh-jauh, Ri. Kamu tau, London itu sangat jauh. Papa juga pasti tidak akan mengizinkanku kesana kalau aku ingin bertemu denganmu. Lalu bagaimana kalau aku merindukanmu? Apa yang harus aku lakukan? Aku nggak bisa jauh, Ri. Aku nggak bisa." Aku terisak. Ternyata memang hal yang mengejutkan.
"Kalau begitu, kamu ikut denganku saja kuliahnya. Kita sama-sama di sana."
Aku terdiam sejenak. Itu memang ide yang baik, tapi aku juga tidak bisa jauh dari mama dan papa. "Kamu pergilah, aku tidak ingin menghalangi mimpimu."
Dia terdiam menatapku tidak percaya. "Aku benci kamu, Ri," kataku hanya ingin membuat hatiku ikhlas untuk melepaskannya, membiarkannya meraih mimpinya.
Dia meraihku dalam pelukannya hanya dengan satu sentakan. Pelukan yang sangat menenangkanku. "Aku juga cinta kamu, Ai. Sangat," balasnya. Dia melepas pelukannya dan meraih daguku, memberikan ciuman di bibir. Ciuman pertamaku!
KAMU SEDANG MEMBACA
KaiRidhaan (COMPLETED)
Fiksi RemajaAku mengenalnya sejak usiaku masih enam tahun. Entah bagaimana istri sepupuku itu bisa mengenalnya dan membuat kami bertemu tanpa sengaja. Setelah perpisahan selama sepuluh tahun, dia kembali dengan wajah tidak berdosanya. Di tempat dulu pertama ka...