Brak!
Suara pintu mobil saat menutupnya tak bisa kuhindari. Walau aku bisa menghindar agar tidak terlihat oleh Ridhaan, tapi yang satu ini sangat tidak bisa.
Sebelum dia menyadarinya, aku harus sudah melaju menjauh darinya. Kalau saja aku mempunyai kemampuan untuk bisa menghilang, sudah pasti kugunakan kali ini.
Ciiitttt....
Sial. Aku harus mengerem mendadak karena Ridhaan berdiri di depan mobilku dengan tenangnya. Niat hati ingin menggas habis mobil malah terhalang tubuh sempurna itu. Aku masih waras dan tidak ingin masuk penjara karena menabrak seseorang, makanya aku menghentikannya. Oh, bukan hanya itu saja. Hatiku juga akan hilang kalau saja pria itu pergi meninggalkan bumi ini. Mungkin ini memang terdengar kekanakan, tapi demi mendapatkan keseriusan.
Tanpa mengatakan apa-apa, Ridhaan masuk ke dalam mobilku. Gila, apa yang dia lakukan sekarang? Mau membuatku terlambat masuk kantor?
"Kamu mau apa? Aku buru-buru," tanyaku dengan nada ketus tanpa menolehnya.
"Nganterin kamu," balasnya dengan sangat santai.
Aku memutar bola mataku. Dia banyak akal sekali. "Aku kan udah bilang, aku bisa pergi sendiri. Kamu nggak usah ngerepotin diri sendiri dengan mengantarku. Aku bukan cewek manja kamu."
"Ya, kamu memang wanita mandiri milikku, Ai. Tapi kali ini aku memang benar-benar ingin mengantarkanmu. Berikan satu kesempatan, Ai."
"Turun dari mobilku sekarang! Aku buru-buru." Aku menaikkan nada suaraku. Semoga saja dia menurutinya kali ini. Aku masih harus bertemu dengan salah seorang teman sebelum ke kantor. Sudah janjian dengannya kemarin sebelum kejadian mendengar kalau pria ini kembali dan bertemu dengannya langsung.
"Biar aku yang antar, Ai. Kalau kamu memang buru-buru, bukannya lebih baik aku yang menyetir?"
See, dia akan menggunakan segala cara. Tapi tidak akan mudah, Ri. Biar kamu ngerasain yang namanya berjuang.
"Kalau tidak mau keluar, tidak apa. Mungkin lebih baik aku naik taksi. Oh, atau ojek saja. Sepertinya akan lebih cepat nyampe." Aku membuka pintu ingin keluar, tapi Ridhaan menahan lenganku.
"Ya, sudah. Aku keluar. Tapi kamu jangan sampai naik taksi apalagi ojek. Aku akan ikut di belakang kamu. Mastiin kalau kamu aman. Hati-hati, Ai."
Sedetik setelah dia keluar, aku melajukan mobilku meninggalkan halaman rumah yang masih menampung mobil Ridhaan dan papa di sana. Menelusuri jalanan ibukota di pagi hari yang dipenuhi para pekerja. Kulihat dari spionku, kalau salah satu mobil yang tadi diparkir di depan rumahku sedang mengikutiku. Aku bisa mengenalinya. Ternyata dia serius dengan kata-katanya. Terserah sajalah.
Belum beberapa langkah aku memasuki salah satu restoran tempat aku janjian dengan temanku. Ridhaan sudah menghadang langkahku lagi. Kali ini apa yang ingin dia katakan lagi? Aku memutar bola mataku malas.
"Kenapa bukan ke kantor, Ai? Bukannya kamu bilang kamu buru-buru ke kantor?"
"Aku masih ada janji. Awas, aku sudah ditunggu."
"Janji sama siapa? Kamu nggak janjian sama cowok lain kan?"
"Terserah aku dong mau janjian sama siapa. Udah ah, aku udah ditunggu nih, nggak enak ditungguin lama."
Dengan wajah tidak ikhlas, dia menyingkir dari hadapanku. Memberiku jalan memasuki restoran. Temanku memang sudah menunggu di dalam. Dia sudah mengirimiku pesan singkat sejak sepuluh menit yang lalu kalau dia sudah menunggu di dalam. Aku sudah telat dari jam janjian yang kami tentuin.
"Aku tunggu di sini, Ai. Atau perlu aku temani ke dalam?"
"Nggak perlu berlebihan. Aku mungkin akan lama di sini. Dan aku dengar dari Anggun, kamu akan bekerja di kantor kak Jac mulai hari ini. Kamu ingin terlambat masuk di hari pertamamu?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
KaiRidhaan (COMPLETED)
Teen FictionAku mengenalnya sejak usiaku masih enam tahun. Entah bagaimana istri sepupuku itu bisa mengenalnya dan membuat kami bertemu tanpa sengaja. Setelah perpisahan selama sepuluh tahun, dia kembali dengan wajah tidak berdosanya. Di tempat dulu pertama ka...